Rabu, 28 September 2011

Pandangan Islam Terhadap Pekerjaan Seorang Wanita

BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa ini, wanita bekerja menjadi budaya yang diterima. Kebanyakan isteri bekerja. Tidak salah, tetapi jika suami sudah mempunyai pendapatan yang sudah mencukupi, sebaiknya isteri berhenti bekerja dan bertugas sepenuhnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Seorang ibu mempunyai tugas besar yaitu mendidik anak agar bertaqwa dan berakhlaq mulia. Kesibukkan seorang ibu akan menjejaskan proses pedidikan anak-anak. Seandainya suami dan isteri sibuk mencari rezeki padahal pendapatan sudah mencukupi, maka itu tidak baik dan akan mengorbankan masa emas bersama keluarga.
Rasulullah SAW pernah bersabda
“Perempuan itu aurat. Maka apabila ia keluar, mendongaklah syaitan memandang akan dia” (Riwayat Tirmizi). Abdullah Bin Ma’sud dalam menjelaskan hadith ini, syaitan itu adalah syaitan manusia yaitu orang fasiq dalam kalangan manusia. Mata lelaki akan tergoda dengan wanita.
Begitu juga gadis-gadis yang bekerja, pengaulan dengan lelaki atas nama urusan kerja akan membawa kepada fitnah. Ini tidak termasuk dengan gejala pemakaian yang menyalahi prinsip menutup aurat walaupun seseorang itu telah memakai jilbab dan jilbabnya bagus tetapi bajunya masih ketat menampakkan lekuk badannya. Ini pun melanggari prinsip menutup aurat.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam Terhadap Pekerjaan Seorang Wanita

      •      •             •    •         
           •      •                          •    • 

Artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang terdahulu dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi) sesungguhnya Allah adalah Maha lembut laga Maha Mengetahui” [Al-Ahzab : 33-34].

 •                      
Artinya : “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 59].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : “Hindarilah bercampur dengan wanita” (maksudnya selain mahram), dikatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar?” Beliau menjawab : “Saudara ipar bagaikan kematian”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang untuk bedua-duaan dengan wanita selain mahram secara umum seraya berkata. “Artinya: “Sesungguhnya setan adalah orang ketiganya”. Dan melarang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya untuk menutup jalan kerusakan, menutup pintu dosa, mencegah sebab-sebab kejahatan dan mencegah dua macam tipu daya setan berdasarkan ini, maka betul apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : “Takutlah akan dunia dan wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israil adalah dari wanita”.
Seraya beliau bersabda. Artinya : “Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas adalah dalil-dalil yang menjelaskan kewajiban menjauhi ikhtilath yang menyebabkan rusaknya keluarga dan hancurnya masyarakat. Dan ketika anda melihat kedudukan wanita di beberapa negara Islam, maka anda akan dapati mereka telah menjadi hina dan tercela karena keluar rumahnya yang menjadikannya mengerjakan hal-hal yang sebenarnya bukan tugasnya.
Sebenarnya lahan pekerjaan wanita di rumah atau di bidang pengajaran dan lainnya yang berhubungan dengan wanita sudah cukup bagi wanita tanpa harus memasuki pekerjaan yang menjadi tugas para laki-laki.
Kaum wanita tak diragukan lagi memiliki kedudukan khusus dalam tatanan masyarakat Islam. Kedudukan itu amat mulia tidak mengurangi hak-hak mereka juga tidak menjadikan nilai kemanusiaannya rapuh. Wanita muslimah di tengah masya-rakatnya ditempatkan dalam posisi yg amat mulia. Islam memandang wanita lewat kesadaran terhadap tabi’atnya, hakekat, risalahnya, serta pemahaman terhadap konsekwensi logis dari sepesial kodrat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
Karena itu wanita dalam masyarakat Islam memiliki peranan yg sangat penting tetapi sesuai dengan bingkai yang telah digariskan oleh Islam. Dalam kata lain peranan itu tidak bertentangan dengan kodratnya sebagi wanita yang dalam susunan biologis dan nilai-nilai kejiwaannya berbeda dengan laki-laki.
Jika tanpa memandang sisi tersebut tentu tidak akan tampak perbedaan mencolok yang ada antara pria dengan wanita. Dan dengan demikian wanita serta merta kehilangan kodrat kewanitaannya. Pada tingkat selanjutnya wanita tak lagi menempati kedudukan khusus dan mulia dipandang dari sisi kodratnya. Sebaliknya nilai-nilai kewanitaannya akan dicibir dan dihinakan. Bahkan banyak yang malah dieksploitir laki-laki tak jarang pula yg dengan sukarela melakukannya sendiri- melalui pemanfaatan susunan biologisnya yg membakar nafsu.
Memuliakan wanita secara hakiki hanyalah dengan mengembangkan potensinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Jika tidak maka ukuran itu akan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Jangan heran jika nanti kekuasaan berada di tangan kaum hawa atau mereka menolak untuk mengandung dan menyusui anaknya sendiri sebagai bentuk pertunjukan kejantanan kepada sang suami. Serta akan menjadi wajar pula seperti saat ini banyak kita temui jika laki-laki hanya menjadi penunggu rumah mengatur dan membersihkannya serta menyediakan makanan sambil menunggu isterinya pulang kerja.
Kenyataan di atas akan semakin membudaya jika masyarakat membiarkan wanita tanpa kendali berbuat sekehendaknya sesuai dengan panggilan hawa nafsu. Sehingga kodrat kewanitaannya tidak lagi membatasi. Ketentuan-ketentuan syara’ yang memposisikannya dalam kedudukan mulia dan terhormat juga tidak menjadi norma yang dita’ati.

B. Ukuran Norma-Norma Masyarakat Barat
Tak diragukan lagi masyarakat barat telah menjungkirbalikkan ukuran norma dan nilai-nilai kewanitaan. Kaum wanita diposisikan sejajar dengan laki-laki dalam segala hal dari masalah yang besar hingga soal-soal yang terkecil. Seruan pembebasan wanita itu telah dipetik hasilnya sejak lama. Masyarakat barat yang mengibarkan bendera pembebasan wanita itu lalu menebarkan racun emansipasi di tengah umat Islam. Para penyeru itu lupa lebih tepat dikatakan pura-pura lupa terhadap masing-masing kodrat dua jenis makhluk tersebut. Secara biologis dan kejiwaan keduanya diciptakan Allah Ta’ala secara berbeda.
Tapi sungguh tidak mengherankan karena apa yang mereka inginkan lebih dari sekedar persamaan. Persamaan yang mereka serukan hanyalah sarana pemuasan nafsu mereka secara bebas. Mereka tidak lagi menjadikan agama sebagai rujukan masalah. Mereka ragu bahkan ingkar terhadap kepercayaan agama. Sebelum dan sesudahnya mereka telah menginginkan supaya kemungkaran merajalela di tengah masyarakat muslim.
Mereka menginginkan kehancuran Islam. Dan mereka tahu kuncinya berada di tangan wanita. Karena itu pula Nabi tidak mewasiatkan tentang fitnah yang lebih berbahaya atas kaum lelaki selain dari wanita. dan jalan menuju kerusakan suatu kaum tidak lain adl melalui kaum wanita.
C. fakta sejarah
sejarah bersaksi bahwa faktor kehancuran budaya yunani yang paling menonjol adalah karena keluarnya para wanita secara bebas di berbagai lapangan pekerjaan. jalanan dipenuhi oleh para wanita yang keluar rumah berdesak-desakan dan berkompetisi dengan kaum lelaki. dari sini kemudian timbul fitnah. kaum lelaki lantas kehilangan kendali, akhlaknya dipertaruhkan. padahal jika akhlak sebuah masyarakat lenyap maka lenyap pula eksistensi masyarakat itu. kehancuran merajalela karena akhlak tak lagi menjadi pengendali jiwa. tak ada lagi kebaikan di tengah manusia. dari sini kembalilah masyarakat tersebut kepada bentuk masyarakat hewani. masyarakat yang melampiaskan semua nafsu dan keinginan tanpa memperhatikan norma dan nilai-nilai yang ada.

D. Kondisi Masyarakat Muslim Sekarang Ini
Masyarakat muslim saat ini telah berada di bibir jurang dari kenyataan yang menyakitkan tersebut. Penyeru-penyeru pembebasan wanita tentu telah gembira melihat fenonena umum di tengah masyarakat muslim. Wanita bekerja di luar rumah pakaian yang tidak menutup aurat dan hancurnya akhlak serta nilai-nilai Islam. Dan memang itulah tujuan yang mereka canangkan. Dengan kenyataaan tersebut serta merta masyarakat muslim menjadi masyarakat yg terhina terbelakang dan senantiasa ketinggalan dalam segala bidang kehidupan.

E. Kedok Para Penyeru Emansipasi
Hal yang sungguh menyakitkan adalah para musuh Islam tersebut berupaya mengaitkan seruan mereka dengan nilai-nilai Islam. Mereka berargumentasi bahwa pada zaman Rasulullah kaum hawa juga ikut keluar berjihad menyertai beliau.
Untuk membantah apa yang mereka katakan dan inginkan lewat argunentasi di atas hendaknya kita memandang beberapa hal berikut ini (Pertama) pada zaman kegemilangan itu kepergian wanita ke medan perang bukan suatu faktor kekuatan penting. Di samping keikutsertaan mereka di dalam berperang adalah atas nama pribadi tidak atas nama kelompok. (Kedua) para wanita itu tidak ikut serta keluar ke medan jihad kecuali dengan izin Rasulullah dan atas desakan dari mereka sendiri. (Ketiga) keperanan wanita di medan perang disesuaikan dengan kodrat kewanitaannya. Mereka tidak ikut latihan berkuda sebagaimana yang dilakukan kaum lelaki juga tidak bersenjatakan pedang atau perisai. Kecuali karena situasi yang sangat mendesak dan gawat seperti yang dilakukan oleh Nusaibah binti Ka’b yang membela Rasulullah dengan pedangnya pada perang Uhud juga sahabat wanita yang lain seperti Rumaisha’ yang dengan golok merobek perut tiap kaum musyrikin yg melewatinya. (Keempat) dan ini yang terpenting para wanita yang pergi ke medan jihad tidak berangkat kecuali dengan mahram yang senantiasa menyertainya.
Dari sini jelaslah bahwa para wanita Islam sesuai fakta sejarah tidak ikut serta membentuk pasukan militer seperti yang dilakukan kaum lelaki di medan jihad. Dan secara hukum mereka tidak diwajibkan memenuhi panggilan jihad sebagaimana kaum lelaki. Dan kalau misalnya ikut serta maka keperanannya di medan jihad adalah sebatas kodrat kewanitaannya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah
“Aku ikut berperang bersama Nabi sebanyak tujuh kali aku menggantikan mereka dalam menjaga perbekalan aku buatkaan mereka makanan aku obati mereka yang terluka dan aku menjaga mereka yang sakit.”
Membuat makanan mengobati orang terluka dan menjaga orang sakit adalah pekerjaan yang memang sesuai dengan kodrat wanita. Di masyarakat manapun memang itulah peranan yang seyogyanya di perankan oleh wanita. Dan perlu digarisbawahi keikutsertaan wanita dalam melakukan hal-hal di atas dalam suasana perang hanyalah sunnah tidak wajib.

F. Seruan Persamaan Hak Di Era Rasulullah
Pada masa Nabi kaum hawa pernah menuntut agar diberi kesempatan melakukan jihad secara kelompok dan terorganisir sebagaiman mereka juga menuntut agar diberi pahala jihad yang sama dengan kaum lelaki. Salah seorang dari sahabat wanita atas nama segenap kaum wanita pada waktu itu mengadu kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah aku adalah delegasi segenap kaum muslimah kepadamu. Jihad telah diwajibkan oleh Allah atas kaum lelaki. Jika mereka menang mereka mendapatkan balasan pahala dan jika mereka terbunuh maka mereka tetap hidup di sisi Allah dan diberi rizki. Lalu apa bagian kami dari itu semua?” Nabi menjawab “Sampaikanlah kepada segenap kaum muslimah yang engkau temui bahwa keta’atan kepada suami dan memenuhi hak-haknya adalan sama dengan itu . Tetapi sedikit sekali dari kalian yg melakukannya.”
Jadi keta’atan kepada suami dan memenuhi hak-haknya adalah senilai dengan pahala jihad fisabililllah. Karena itu arena jihad wanita muslimah adalah di rumah melayani suaminya dengan baik dan memenuhi hak-haknya. Tidak dengan keluar secara terorganisir memanggul senjata sebagaimana yang diinginkan oleh para penyeru emansipasi.
Sebenarnya yang mereka inginkan adalah pergaulan bebas antara kaum adam dan hawa tanpa batas di tiap lapangan kehidupan bahkan hingga di medan perang. Mereka ingin meni’mati tubuh wanita yang tidak menutup auratnya. Di samping itu seakan-akan mereka menuduh kaum pria begitu lemah dan telah kehilangan kekuatan-nya. Seakan medan perang telah hilang pilar penyangganya sehingga harus diisi oleh kaum wanita yang secara struktural biologis lebih lemah dari pria. Sungguh suatu pemutarbalikan kebenaran dan membungkus kebatilan dengan baju kebenaran.
Karena itu hendaknya para penyeru emansipasi utamanya dari kalangan umat Islam memahami bahwa jihad wanita berdasarkan hadits adalah keberangkatannya melaksanakan haji dan umrah. Sedangkan shalatnya yang lima waktu, keta’atannya kepada suami, serta puasanya di bulan Ramadhan pahalanya menyamai pahala jihad. Jika tidak mau memahami juga hendaknya para wanita muslimah menyadari bahwa seruan emansipasi pria wanita itu tak lain hanyalah salah satu upaya penghancuran Islam dari dalam. Agar mereka tak lagi mematuhi ajaran-ajaran agama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar