Senin, 11 Januari 2010

Tokoh2 Tasawuf Akhlaqi

BAB II
PEMBAHASAN

A. HASAN AL-BASHRI

1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohaniawan senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan hasan Al-Bashri dumulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh disana.
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang tang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadapa aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.

2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena mengingat Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Lebih jauh Hamkah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut .
b. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuak dan beberapa kali ditinggalkan matyi suaminya.
e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh.

Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat Islam, menyataka kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan berkuran dan kelalaian dirinya mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itusenada dengan sabda Nabi yang berbunyui, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senatiasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.

B. AL-MUHASIBI
Al-Harits bi Asad Al-Muhasibi, menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-mazdhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniawian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.

1. Pandangan Al-Muhasibi Tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi mengatakan ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasarkan pada kitab dan sunnah. Selaras dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan tentang dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya”. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a. Taat : awal kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan keciitaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebaguian orang. Mengekpresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’. Menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelasa berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut :






Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Q.S. Adz-Dzariyyat, :5).
Raja’dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat:




Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Baqarah, : 218)


C. AL-QUSYAIRI

1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri mejelis gurunya dan dari gurunyalah Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), da mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farouq (wafat tahun 406 H). selain ityu ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayani (wafat tahun 418 H) dan menelaah karya-karya Al-Baqillani

2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalilkan tasawuf keatas landasan doktrin ahlus sunnah, sebagaimana pernyataannya :
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip trasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus-sunnah, yang tak tertandingi dan tak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat ssuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatkan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Abu Muhammad Al-Jariri mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir kedalam jurang kehancuran”.
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan bathin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian lahiriyah.
Karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanya sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Dari uraian ini tampak jelasbahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin ahlus sunnah wal jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.

D. AL-GHAZALI
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sutu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu, seraya berkata dalam wasiatnya :
“Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menuis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kuperoleh itu melalui kedua putraku ini”.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Di madrasah inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia belajar kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan retorika perdebatan.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempak diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdeeebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran mnimbulkan pergolakan dalam diri Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan bathinnya. Ia pun memutuskan melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran . setelah menemukan kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak meninggalkan karya tulisnya

2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlus sunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan As-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam kerya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin a, Ayyuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segalasesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, ytang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan adan di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taklid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di dalam rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah di bangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzaug rohani dan kasyf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawas auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sdangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah
menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat Allah. Di dalam kitab kimiya nya ‘As’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-Nya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terlatak pada mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang.

ZUHUD

A. PENDAHULUAN

Peranan sufisme/tasauf dalam dunia Islam seringkali tidak difahami dan tidak diakui oleh sebahagian umat Islam sendiri. Bahkan seringkali muncul isu yang dilontarkan oleh sebahagian umat Islam yang melecehkan ajaran Tasauf, dengan menuduhnya sebagai ajaran yang kaya dengan mistik, dan menganggapnya sebagai penyebab pengangguran, kemalasan dan kejumudan, serta dikatakan tasauf sebagai suatu tindakan melarikan diri dari kenyataan hidup. Ada juga yang menghentamnya sebagai sesat. Suara suara seperti ini jelas tidak mempunyai landasan yang benar lagi boleh menyesatkan.
Bukankah tokoh tokoh sufi seperti Amir Abdul Qadur Al Jazairy, Sayid Ahmad Syarif As Sanusy dan Syaikh Abdus Samad Al Palimbani dan ribuan sufi lainnya merupakan guru tareqat, dan telah berperanan sebagai pejuang pejuang bangsanya? Sesungguhnya, sikap hidup kesufian amatlah kaya dengan nilai nilai perjuangan dan diperkaya dengan contoh contoh teladan yang harum tentang keberanian, keikhlasan, dan keredhaan tokoh tokoh sufinya. Misalnya, Syaikh Abdul Qadir Al Jilani telah mampu terus menerus melakukan dakwah dan jihad selama lebih dari setengah abad dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan kemunafikan dan ketidak adilan. Kehidupan para penguasa waktu itu yang diwarnai dengan gaya hidup mewah dan bersenang senang dikritik tajam secara terang terangan oleh wali yang kaya dengan lagenda ini. Tasauf, Dulu dan Sekarang
Dalam sejarah gerakan tasauf yang marak dengan organisasi tarikatnya itu, diketahui bahawa kewujudan tasauf sebagai ilmu dan suatu jalan kerohanian mula dikenali pada penghujung abad ke 4H/10M. Sejumlah tokoh tasaif seperti Al Junaid, As Sirri As Saqathi dan Al Kharraz mempunyai ramai murid, di mana murid mengikuti pelajaran dasar dasar tasauf secara formal iaitu melalui didikan mereka untuk mempelajari ajaran ajaran tasauf, sama ada ilmu ataupun amalannya. Hasil asuhan mereka ini muncullah pemikir pemikir sufi yang pintar dan kreatif seperti Abu Bakar al Syibli (wafat 334H/946M) murid Al Junaid Al Baghdadi.
Selama abad ini pewarisan ajaran ajaran guru sufi terus berkembang, di mana ajaran sufisme itu digali lebih lanjut dan dimanifestasikan kembali melalui mulut tokoh tokoh sufinya. Kemudian pada abad ke 5H/11M organisasi tasauf berdiri tegak dan tersebar luas ke segenap penjuru dunia Islam, sehinggakan abad ini menurut catatan sejarah, merupakan zaman terpenting dalam organisasi dan pembangunan gerakan tasauf. Pada abad kelima Hijriyah pula muncul Imam Al Ghazali, yang berusaha meluruskan tasauf sesuai dengan dasar dasar al Quran dan as Sunnah, di mana pengetahuan tentang tasauf dikajinya dengan mendalam, dan berhasil meneguhkan prinsip prinsip tasauf yang seiring dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Kemudian pada abad ke 6H/12M, setelah ajaran tasauf mengalami perkembangan pemikiran metafiziknya, muncullah organisasi organisasi tarikat pertama yang diterapkan oleh para sufi kenamaan sebagai suluk (perjalanan) atau metod metod menuju kepada Tuhan dengan cara mensucikan batin dengan menerapkan disiplin. Saat itu pengaruh Al Ghazali dengan tasauf sunninya telah tersebar luas ke seluruh dunia, lebih lebih lagi dengan kemunculan tokoh lagenda Muhyiddin Abdul Qadir Al Jilani (lahir 470H/1077M-1078M di Parsi) yang mempelopori pendirian tarikat tarikat sufi. Dia berhasil mendirikan tarikat sufi pertama yang besar jumlah pengikutnya. Para sufi dalam tarikat ini menamakan diri mereka Qadiriah sesuai dengan nama pendirinya. Tarikat Qadiriah memperolehi ramai pengikut di seluruh pelosok dunia Islam, terutama di India. Ajaran dan latihan latihan keagamaan yang diberikan dilandaskan secara kukuh pada Al Quran dan Hadis.
Kebesaran tarikat Qadiriyah ini segera diikuti dengan berdirinya tarikat tarikat lain. Paling terkenal di antaranya ialah tarikat Syadziliyyah, pembangunnya Syaikh Abu Hasan As Syadzili (wafat 656H) dan muridnya, Abu Al Abbas Al Mursi (Wafat 686H) dan murid angkatan keduanya, Ibn Athaillah Al Syakandari (Wafat 709H). Muncul juga tarikat besar lainnya yang ramai pengikutnya iaitu tarikat Suhrawardiyah, yang diambil dari nama pendirinya Syihabuddin Umar bin Abdullah As Suhrawardi (539-632H/1144M). Pada zaman itu juga muncul sebuah tarikat besar di Turki yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi (Wafat 672H/1273M), penyair sufi terkemuka dari Parsi yang bergelar Maulana. Tarikat ini dikenali dengan nama Mualawiyah, yang pernah mencapai puncak kebesarannya di Turki, di bawah kekuasaan Daulah Usmaniyah. Ritual khusus Maulawiyah ialah sebuah tarian spiritual tari putar. Selain tarikat tarikat besar ini muncul juga banyak tarikat lain, yang tersebar di seluruh dunia muslim dalam beberapa generasi. Pernah pada masa keemasan tasauf jumlahnya mencapai ratusan, dengan ratusan juga pengikut.
Semuanya mengamalkan pola yang secara umumnya sama. Hamzah Fansuri di Aceh, Wali Songo di Jawa dan Syaikh Nuruddin Ar Raniri merupakan tokoh tokoh sufi yang sentiasa lekat di hati kaum muslimin Indonesia. Ketika ini pun di Indonesia terdapat pelbagai tarikat, misalnya tarikat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, Tijaniyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Rifaiyah dan lain lainnya.
Pada awalnya tarekat Syatariyah mendominasi di bumi Indonesia. Kedatangan tarikat Naqsyabandiyah yang juga saingannya telah mengubah pola tersebut dan tarekat Naqsyabandiah merupakan tarikat yang paling besar dan pengikutnya di Indonesia selepas itu selain Qadiriyah. Tarikat Naqsyabandiyah lahir di Bukhara pada abad ke 8H/14M, oleh Syaikh Bahauddin (Wafat 971H), dan tersebar ke seluruh penjuru dunia terutama di dunia Islam wilayah timur sehingga ke Indonesia, Malaysia dan berkembang hingga sekarang bersama sama tarikat besar lainnya yang sehingga kini tetap diikuti oleh berjuta juta umat.
B. Konsep Zuhud Dalam Tasauf
Dalam kehidupana zaman moden ini tentu masalahan kezuhudan menjadikan ramai orang bertanya; tidakkah perilaku zuhud itu bertentangan dengan ajaran Islam tentang etika kerja, tentang anjuran mencari rezeki dan membebaskan kemiskininan? Sehubungan ini, perlu diketahui bahawa keadaan kaum zahid, hidup dengan kezuhudan itu ternyata tidak berbeza dengan golongan masyarakat lainnya. Mereka ada yang kaya, harta berlimpah utk dikeluarkan zakat dan infaq, ada yang mempunyai kedudukan dan jawatan, dan ada yang miskin, dan memang ada di antara mereka yang menjauhi harta kekayaan.
Contohnya seorang zahid, Abu Hasan As Syadzili, merupakan tokoh sufi terkenal yang memiliki banyak ladang, ternakan dan perniagaan dengan sejumlah karyawan. Akan tetapi perilaku kezuhudannya tetap mendasari ibadahnya kepada ALLAH SWT. Hal ini terungkap melalui doa doanya yang terkenal:
"Ya ALLAH, lapangkanlah rezekiku di dunia ini, dan jangan Engkau jadikan penghalang untuk akhirat"
"Ya ALLAH, jadikanlah dunia (harta) itu di tangan tangan kami, janglah Engkau jadikannya di hati kami"
Kemudian perlu difahami pula perbezaan antara kaum zahid dengan golongan lain. Orang yang berzuhud tidak pernah diperhamba oleh harta. Mereka tidak sekali kali menyerahkan hidup kepada yang lain selain ALLAH SWT. Sedikitpun mereka tidak tunduk kepada harta, kedudukan, pangkat atau apa jua yang selalu didambakan oleh ahli hubbud dunya (cinta dunia). Menurut mereka, kezuhudan adalah kedudukan yang mulia dan merupakan martabat yang tinggi, dan ia merupakan langkah bagi seorang hamba yang ingin menuju kepada keredhaan ALLAH SWT.
Sesungguhnya, berpaling dari kesenangan dunia merupakan suatu kebiasaan yang telah lama diamalkan oleh sebahagian manusia sebagai usaha utk memperoleh kepuasan dalam beribadah. Juga orang-orang di zaman moden ini, ramai yang mengamalkan sikap seperti orang orang terdahulu kerana mereka berpendapat bahawa kebahagian itu tercermin dalam ketenangan hati, sedangkan ketenangan hati tidak mungkin dicapai kecuali dengan membatasi keinginan dan menjauhi diri dari berbagai nafsu. Cara hidup yang demikian itu adalah kezuhudan, sekalipun secara kebetulan dia seorang jutawan atau yang mempunya kedudukan. Tetapi bagi seorang yang zuhud, hatinya tidak lagi bertaut dengan keduniaan, tidak dilengahkan oleh kedudukan dan kemewahan. Dia sentiasa menjauhi kesenangan dan kenikmatan duniawi supaya dapat menekuni ibadah ibadahnya.
Zuhud dalam Islam bukanlah bererti terputusnya kehidupan duniawi; tidak juga bererti harus berpaling secara keseluruhan dari hal hal duniawi, sebagaimana yang diamalkan oleh golongan materialis. Ajaran zuhud ini diibaratkankan sebagai berlawanan dengan kehidupan moden. Ia adalah sikap sederhana atau tengah-tengah dalam menghadapi segala sesuatu. Sekali kali Islam tidak mengajarkan kebencian akan dunia. Bukanlah kebencian terhadap dunia itu dengan sendirinya menjadikan manusia menjadi soleh dan dekat dengan ALLAH?
Pandangan Islam tentang hubungan dunia dan akhirat ialah Islam mengkehendaki kedua duanya tidak boleh dilepaskan dari kawasan ibadah, sebagaimana yang tercermin di dalam hadis Nabi SAW bahawa hubungan dunia dan akhirat adalah erat sekali :
“Bukanlah orang yang terbaik di antaramu orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya. Sesungguhnya dunia ini bekalan ke akhirat, dan jangalah kamu menjadi beban atas manusia."
(HR. Ibnu Asakir dari Anas)
Jika ada anggapan bahawa zuhud yang diamal oleh para sufi dan pengamal tarikat pada umumnya itu sebagai sikap hidup yang hanya mementingkan akhirat dengan mengabaikan sama sekali kehidupan duniawi, sehingga setiap orang yang menjalani kehidupan zuhud dianggap sama dengan menjauhi dunia dan memilih kemiskinan. Maka pandangan daif itu tidaklah benar.
Begitu pentingnya kezuhudan dalam kehidupan hamba hamba ALLAH yang ingin menuju keredhaanNYA, sehingga para pengamal tasauf dan ahli tarikat berkeyakinan, bahawa langkah pertama dalam perjalanan menuju makrifat, seorang sufi harus menempuh tahap zuhud, iaitu keadaan jiwa yang telah dibebaskan dari jeratan nafsu dunia. Dia telah bebas dari mempertuhankan selain ALLAH berupa kenikmatan duniawi. Bahkan dia sudah sampai pada kesedaran, dunia ini tidak ada gunanya kecuali sekadar yang diperlukan untuk beribadah. Perjalanan hidupnya bersih dari kecintaan material duniawi, tekun dan khusyuk dalam ibadah, berpegang teguh pada Sunnah Nabi SAW, berzikir, berdoa dan mencintai perbuatan perbuatan yang mulia untuk menolong sesama manusia.
Di ceritakan, Syeikh Syamsuddin Habibullah (wafat 1195H) seorang guru Tarikat Naqsyabandiyah; suatu ketika pernah ditawarkan kekuasaan oleh seorang Raja India;
“Sesungguhnya ALLAH SWT telah menganugerahi saya kerajaan yang luas. Maka saya berharap anda dapat menerima sebahagian darinya. Syeikh berkata; “Sesungguhnya ALLAH telah menyifati dunia dengan sesuatu yang hina. ALLAH berfirman : "Katakanlah sesungguhnya kesenangan dunia itu sedikit. Sedangkan kerajaan anda hanyalah bahagian kecil dari dunia yang sempit ini, maka saya tidak ingin mengurangi bahagian yang sudah kecil ini."
C. Tingkatan Zuhud
Hakikat zuhud ialah menyingkirkan apa apa yang semestinya disenangi dan diingini oleh hati, kerana yakin ada sesuatu yang lebih baik untuk meraih darjat yang tinggi di sisi ALLAH.
Syeikh Abdul Samad Al Palimbani mengatakan bahwa ada beberapa rukun kezuhudan.
1. Meninggalkan sesuatu kerana menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi.
2. Meninggalkan keduniaan kerana mengharapkan akhirat.
3. Meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH kerana mencintaiNYA
Imam Ahmad Ibnu Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yakni:
1. Zuhudnya orang orang awam ialah meninggalkan hal hal yang haram
2. Zuhud orang orang yang khawas (khusus) iaitu meninggalkan hal yang berlebih lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3. Zuhud orang Arif iaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan daripada mengingati ALLAH.
Al Imam Ghazali pula membahagikan zuhud kepada tiga peringkat yakni :
1. Tingkat terendah ialah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat.
2. Tingkat kedua ialah mereka yang menjauhi dunia kerana ingin mendapatkan imbalan
di akhirat.
3. Tingkat tertinggi ialah zuhud yang ditempuh bukan lagi kerana takut atau harap, tetapi semata mata kerana cinta kepada ALLAH Taala.
Ada kisah kesufian yang diceritakan oleh Ibnu Athaillah As Sakandary tentang seorang sufi yang hidup kaya raya namun hartanya yang berlimpah ruah itu tidak menghalangya untuk menjadikan dia seorang zahid. Dalam kisahnya itu Ibn Athaillah berkata, “Seorang guruku pernah bercerita, bahawa di Maghribi ada seprang sufi yang hidupnya zuhud terhadap duniawi dan bersungguh sungguh dalam ibadahnya. Sumber hidupnya hanya apa yang diperolehi daripada memancing. Pada suatu hari, salah seorang murid sufi ini hendak pergi ke salah sebuah kota. Maka, berkatalah sufi tersebut, “ Jika kamu sampai di kota, maka temuilah saudaraku, sampaikan salamku padanya dan mintalah doa. Sesungguhnya dia adalah seorang wali ALLAH.
Selanjutnya murid itu bercerita, “Aku tiba di tempat tujuanku. Ketika aku tertanya tanya tentang seorang yang dipesan oleh guruku, segera aku ditunjukkan ke sebuah rumah tidak layak didiami, kecuali raja raja. Aku hairan. Ketika aku tanya di manakah dia berada, maka dijelaskan bahawa dia sedang bersama raja. Hal itu menambahkan kehairanku. Tidak berapa lama aku bertambah hairan, kerana orang yang aku cari itu sedang menunggang kudanya dengan pakaian dan kenderaan yang serba mewah, seolah olah dia adalah seorang raja. Hampir saja aku batalkan niatku untuk bertemu dengannya. Namun hati ku berkata, Tidak baik melanggar perintah guru. Aku pun minta izin untuk masuk ke rumahnya. Ketika diizinkan masuk aku pun semakin hairan dengan banyaknya pelayan yang berpakaian serba indah. Aku berkata, Saudaramu kirim salam padamu. Dia balik bertanya, Apakah kau dari sana? Aku menjawab,Ya. Lalu dia berkata, Jika kamu kembali pada saudaraku itu, katakan kepadanya, "Sampai bila kesibukanmu kepada duniawi itu akan berakhir? " Kehairanku makin bertambah setelah mendengar pesanan orang itu. Dan ketika aku pulang kutemui guruku, beliau bertanya, Adakah kamu berjumpa dengan saudaraku? Ya, sahutku. Lalu beliau berkata, Aku yakin pasti ada sesuatu pesanan untukku. Maka aku ceritakan apa yang kulihat dan apa yang dipesankan buat beliau. Mendengar ceritaku, guruku menangis. Setelah agak lama kemudian beliau berkata:“Sungguh benar ucapan saudaraku itu, memang ALLAH telah membersihkan hatinya dari duniawi, kerana dunia baginya hanya dijadikan di tangan lahirnya saja. Sedangkan aku mengambil dunia itu dari tanganku dan aku selalu memikirkannya.

tobat

A. TAUBAT

Didalam bahasa Arab ada beberapa kata untuk menunjukan kata kembali. Kata yang paling kita ketahui adalah kata ‘Id atau ‘Aud, berasal dari kata ‘Âda-Ya’ûdu-’îdan-wa-’audan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri artinya kembali kepada fitrah. Ada juga yang mengatakan fitr di situ berasal dari kata futhûr sehingga Idul Fitri diartikan bahwa kita kembali lagi kepada kegiatan makan siang hari seperti biasa.
Kata lain untuk kembali dalam bahasa Arab adalah Rujû’ dari kata raja’a-yarji’u-rujû’an. Di kalangan kita kata Rujû’, yang artinya kembali, hanya digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Jadi ada nikah, talak, rujuk. Rujû’ artinya kembali lagi, suami yang sudah pergi kembali lagi. Di dalam Al-Qur’an kata Ruju’ lebih sering digunakan untuk menunjukan kembalinya kita kepada Allah swt. Misalnya kita menyebut Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua Rujû’. Orang yang kembali disebut raji dan tempat kembali disebut marji’. Seperti dalam ayat Al-Qur’an : “Ilayya marji’ukum, Kepada Akulah kembali semua” (QS 3:55).
Sebelum kalimat itu Tuhan berkata: “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum. Ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Akulah tempat kembali semua”. Sekarang kita ketemu lagi dengan kata lain untuk kembali yaitu anâba-yunibu-inâbah. Karena keindahan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak mengulangi kata-kata yang sama walaupun artinya sama. Penulis yang bagus mengganti untuk makna yang sama, kata-kata yang lain untuk menunjukan keindahan. Ciri orang yang tidak begitu pintar menyusun kata-kata ialah ia mengulang terus-menerus. Sayangnya bahasa Indonesia kurang begitu kaya dibanding dengan bahasa Arab. Tidak ada kata lain untuk kembali. Sehingga kita menerjemahkan “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum” menjadi “Ikutilah orang-orang yang kembali kepada-Ku dan kepada Akulah tempat kembali kamu semua”. Kita memakai kata kembali lagi, karena tidak ada kata lain. Sebetulnya ada kata pulang, tapi agak tidak enak. Jadi untuk kata kembali, kita tadi ada ‘Id, Ruju’, dan Inabah.
Satu lagi kata yang berarti kembali dalam bahasa Arab yang sangat khas adalah Taubat. Taubat berasal dari kata Tâba- Yatûbu-Taubatan. Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb. Kalau kita terjemahkan Tawwâb sebagai orang yang banyak bertaubat, maka kita akan menemukan di dalam Al-Qur’an, yang disebut paling banyak bertaubat itu bukan saja manusia tetapi juga Tuhan. Tidak hanya Makhluk tetapi juga Khalik. Misalnya Allah menyebut orang-orang yang banyak bertaubat dan senang melakukan kesucian dengan kata-kata: Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian dirinya” (QS 2:222).

B. TAUBAT DALAM PANDANGAN TASAWUF

Pada dasarnya, manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Bagaikan seorang musafir yang sewaktu-waktu haus di tengah perjalanan, kemudian singgah di suatu tempat untuk minum, sampai rasa dahaganya hilang.Dia tidak akan lama singgah di sana. Demikian pula, dunia adalah ibarat sebuah pasar yang disinggahi para musafir di tengah perjalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai bekalan untuk perjalanan itu. Demikian kata al-Ghazali. Keadaan demikian juga diyakini para sufi yang ingin menempuh perjalanan sufistiknya. Namun perjalanan untuk menuju ke sana tidaklah mudah. Pasti melalui jalan yang berliku-liku dan sulit. Dalam hal ini, dia dituntut untuk selalu tekun, sabar, istiqamah dan juga tidak mudah putus asa. Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya tersebut. Antara laini adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah s.w.t seperti memperbanyakkan zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti melalui beberapa tahapan yang harus dilaluinya. Tahapan-tahapan itu disebutkan maqamat. Jalan itu adalah sangat sulit dan untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain hal itu memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Terkadang tak jarang seorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu maqam. (Petikan dari sebuah karangan ilmiah bertajuk: Cinta Ilahi oleh Syamsun Ni'am).
Jalan pendakian spritual tersebut mencakupi sejumlah maqam dalam turutan menaik. Maqam-maqam itu harus dilalui seorang salik dengan cara tahap demi tahap, maqam demi maqam. Seorang salik tidak akan menaiki dari satu maqam ke maqam lain sebelum memenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Barangsiapa yang belum memenuhi qana'ah, maka belum boleh memenuhi tawakkal. Barangsiapa yang belum memenuhi tawakkal, maka tidak sah untuk ber-taslim. Siapa yang tidak bertaubat, tidak sah ia ber-inabat. Barangsiapa yang tidak wara', maka tidak sah untuk ber-zuhud. Begitu seterusnya, sampai dapat ditempuhnya maqamat tertinggi. Berkaitan dengan ini, akan kita cuba menjelaskan tentang mahabbah atau cinta Ilahi, sebagai maqam tertinggi di antara maqam-maqam yang lain. Seperti yang dinyatakan al-Ghazali (w. 1111 M.), bahawa cinta kepada Allah adalah maqam yang paling tinggi dari seluruh maqam dan darjat yang paling luhur. Setelah mahabbah atau cinta tiada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah daripadanya serta mengiku darinya, seperti rindu atau syauq, intim atau uns, dan redha.

1) Taubat, Sabar dan Syukur
Taubat adalah tahap pertama dalam menempuh tahap-tahap berikutnya.
Taubat adalah jalan untuk membersihkan segala dosa. Setelah manusia dilumuri berbagai dosa. Tanpa adanya taubat seorang salik tidak akan dapat menempuh jalan menuju Allah s.w.t.
Para sufi mengatakan bahawa taubat adalah bahagian terpenting dalam kehidupan menuju Allah s.w.t.
Al-Hujwiri mengatakan tiada ibadah yang benar apabila tidak disertai pertaubatan. Taubat adalah tahap pertama di dalam jalur ini. Ia berpendapat bahawa terdapat tiga hal yang termasuk dalam taubat:
Pertama : taubat karena ketidaktaatannya,
kedua : memutuskan untuk tidak melakukan dosa lagi,
ketiga : segera meninggalkan perbuatan dosa itu.

Ada banyak definisi taubat di kalangan sufi, Abul Husain an-Nuri, mengungkapkan definisi tentang taubat. "Taubat adalah menolak dari semua, kecuali Allah yang Maha Tinggi", dan pemikiran yang sama dari penyesalan tahap tertinggi adalah berbeza sama sekali dari yang biasa terjadi, sebagaimana ditemukan dalam suatu pernyataan, "Dosa-dosa bagi mereka yang dekat dengan Allah s.w.t. adalah suatu perbuatan baik yang pada tempatnya". Sedang al-Ghazali menyatakan, bahawa hakikat taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahawa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur:
Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya;
Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan
Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan kurnia-Nya.
Salah satu unsur taubat yang harus dipenuhi adalah adanya penyesalan diri atas dosa-dosa yang dilakukan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan al-Qusyairi, "Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi syarat pertaubatan", demikian kata mereka yang telah melaksanakannya, kerana tindakan tersebut mempunyai akibat berupa dua syarat yang lain. Artinya, orang tidak mungkin bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara umum.
Lebih lanjut al-Qusyairi memberikan petunjuk cara bertaubat. Menurutnya,
cara pertama adalah memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat, kerana mereka akan mendorong untuk mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang telah teguh. Hal ini tidak akan lengkap kecuali diikuti keteguhan dalam ber-syahadat, secara terus menerus, dan diikuti motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan dalam hati, yang darinya mendapat memperkuat khauf dan raja'.
Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela yang membentuk simpul pengikat dalam hati akan mengendur, ia menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang dan kendali diri akan terjaga dari menuruti hawa nafsu. Kemudian ia harus segera meninggalkan dosa dan berketetapan hati untuk TIDAK bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan kehendaknya. Ini bererti bahawa ia telah dianugerahi rasa aman yang sebenarnya. Apabila cara ini ditempuhi seorang hamba dalam memperbaiki perasaan taubatnya, maka secepatnya dapat menghantarnya pada kesempurnaan menuju Allah s.w.t pada tahap pertama.
Sebagaimana sufi-sufi yang lain, Rabi'ah juga menganggap, bahawa taubat adalahah tahap pertama dalam menempuh maqam berikutnya. Rabi'ah memiliki pengertian mendalam tentang dosa dan keinginan untuk bertaubat dan memaafkan. Dan para penulis sufi, dalam perbahasan tentang taubat, lebih daripada sekali menyebutkan ajaran Rabi'ah tentang masalah ini. Di dalam sebuah fragmen yang dikutip daripada Hurayfisy di mana ia melampirkan syair Rabi'ah tentang dua cinta, ia berdoa seperti berikut:
Wahai kekasih hati, tiada yang kumiliki selain diri-Mu,
Bagaimanapun, kasihanilah orang-orang berdosa,
Yang datang kepada-Mu,
Wahai harapanku, ketenanganku, kebahagiaanku,
Hati ini hanya dapat mencintai-Mu.
Bila dilihat kepada Rabi'ah, saat itu hatinya merasa gelisah untuk menemukan jati dirinya, kerana dia berada di antara rasa optimistik dan ragu atas taubat yang akan diterima Allah s.w.t. Oleh kerana itu, di dalam taubatnya, Rabi'ah selalu mengiringi kata-kata sebagai berikut :
Aku mohon ampun kepada Allah oleh perkataanku yang kurang benar, aku mohon ampun, ya Allah.
Setelah Rabi'ah melakukan taubat, dia sentiasa bersikap berhati-hati di dalam tutur kata, jangan sampai setiap perkataan yang diucapkannya itu tidak benar. Sikap beri-hati Rabi'ah ini boleh dilihat daripada kata-katanya yang berbunyi:
Permohonan ampun yang kami lakukan memerlukan permohonan ampun yang lain oleh karena adanya tidak mungkin tidak benar.
Rabi'ah sentiasa menyerahkan segala urusannya kepada Allah s.w.t dan keadaan itu sudah menjadi kebiasaannya. Bagi Rabi'ah taubat ialah kurnia Allah s.w.t dan anugerah rabbaniyyah yang dikhususkan untuk hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Berkatalah seorang kepada Rabi'ah, "Sesungguhnya aku telah berbuat dosa dan [i]maksiat. Andaikata akau bertaubat, apakah taubatku akan diterima?". Rabi'ah menjawab:"Tidak, akan tetapi kalau Dia akan menerima taubatmu, tentu engkau akan bertaubat".
Dilema moral yang dinyatakan Rabi'ah di atas, telah dilukiskan penyair Parsi, Sa'di (w. 1291 M.) dalam karyanya, Bustan, sebagai berikut:
Betapa indah sang Darwis malang setiap hari merintih,
Penyesalannya di pagi hari pun terdengar oleh dosa lainnya lagi.
Segenap ikrar kami hanyalah kosong belaka,
Segenap sumpah kami senantiasa berubah-ubah,
Taubat atas pemberian-Nya tetaplah tegar,
Dan mantap tak tergoyahkan.
Nampaknya, konsep taubat Rabi'ah ini dapat dirujuk kepada ayat al-Qur'an yang bermaksud:"Lalu Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang".
Sementara Dzun-Nun al-Misri (w. 860 M.) mengatakan,"taubatnya orang awam itu dari dosa, taubatnya orang istimewa (khawash) dari kelalaian". Sedang taubatnya para Nabi dari tidak mendekatkan diri kepada Tuhannya.

makalah riba

1. DEFINISI RIBA
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah : 10), yakni siksa yang bertambah terus.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…”(QS. Al-Hajj: 5)
2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:
tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif
1. Tambahan kwantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kwantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kwantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kwantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
2. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
3. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
( تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ)
Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya,
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.
Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dalam syariat ada tafadhul antara kedua dengan ganti dan ada ta`khir dalam menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .”
Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan pada maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tidak disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah mengharamkan riba.”
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dengan sanad hasan} Al-Marwazi dalam Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf pada hablul habalah adalah riba.” }
Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perut telah melahirkan maka aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yg tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”
2. HUKUM RIBA
Riba dengan segala bentuk adalah haram dan termasuk dosa besar dengan dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.” Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ . Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi. Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yg Terkena Hukum Riba Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.”
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr
4. Sya’ir
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya? Untuk mengetahui lebih detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma garam burr dan sya’ir. Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian. Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang. Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya. Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada.
Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.” Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak. Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak. Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya. Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya. Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer. Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak. Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak. Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib .
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui.
3. APLIKASI ATURAN-ATURAN AGAR TERHINDAR DARI RIBA
A. Sedikit banyaknya jumlah bunga yang diambil.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak fuqoha kontemporer yang mencari-cari alasan agar penarikan bunga dalam hutang piutang diperbolehkan. Salah satu alasan mereka adalah dengan membedakan riba yang berjumlah sedikit ( usury ) dan riba yang berjumlah banyak ( interest ). Menurut mereka, riba yang diharamkan oleh Allah dalam Al- Qurân adalah riba dalam jumlah besar. Tapi diperbolehkan jika dalam jumlah yang sedikit. Untuk menguatkan pendapat tersebut, mereka mengutip ayat 130 dari surah ‘Ali Imrân.
Dengan menggunakan ayat di atas, mereka berkata bahwa riba yang dilarang adalah riba yang berlipat- lipat. Secara sepintas, ayat di atas memang hanya melarang pengambilan bunga yang berlipat- lipat. Namun jika kita memahami ayat ini dengan mencermati kembali ayat- ayat lainnya secara komprehensif, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa riba, apapun bentuknya mutlak dilarang.
Redaksi berlipat-ganda pada ayat ini menegaskan karakteristik riba secara umum. Bahwa riba cenderung berkembang dan berlipat ganda bersama tempo yang dihabiskan. Bukan mengenai pengharaman pengambilan riba dalam jumlah yang banyak dan memperbolehkan pengambilannya dalam jumlah yang sedikit. Pemahaman terbalik seperti inilah yang digunakan oleh para pemikir-pemikir kontemporer untuk menguatkan pendapat mereka. Maka dari itu, kita harus selalu berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap nash tersebut. Sebab, jika kita terus menggunakan metode pemahaman ayat- ayat Al-Qurân seperti itu (mafhum mukhâlafah), maka hal ini bisa sangat berbahaya.
Sebagai contoh, pada ayat di atas kita dilarang untuk memakan daging babi. Jika kita menafsirkan ayat tersebut menggunakan mafhum mukhâlafah, berarti yang dilarang oleh Allah SWT untuk dimakan lewat ayat ini adalah daging babi saja. Sementara darah, lemak dan lainnya tidak disebutkan. Maka apakah darah dan lemak halal, dengan melihat tidak disebutnya darah dan lemak babi di ayat ini?
Kembali kepada pembahasan ayat 130 surah ‘Ali Imrân tadi. Kita tidak dapat mengatakan bahwa yang banyak tidak diperbolehkan, sedangkan yang sedikit diperbolehkan. Apakah dalam dilarangnya meminum khamar ada pengecualian dalam jumlah sedikit dan tetap mengharamkan meminumnya dalam jumlah banyak?
Dan jika dikaitkan ke ayat-ayat sebelumnya mengenai pengharaman riba, tidak ada celah untuk mengatakan bahwa pengambilannya dalam jumlah sedikit diperkenankan. Sebab tidak ada penjelasan satu pun dari ayat- ayat tersebut yang membedakan antara riba dalam jumlah sedikit mupun banyak.
B. Penggunaan uang pinjaman untuk kebutuhan tersier.
Beberapa pemikir berpendapat bahwa jika pinjaman tersebut ditujukan bagi fakir miskin, maka hukum penarikan bunga di dalamnya adalah haram. Karena mereka benar- benar butuh untuk memenuhi kebutuhan utama atau primer mereka . Dan jika kita menarik bunga dari mereka, berarti sama saja kita tidak membantu mereka. Melainkan menzalimi mereka. Sebaliknya, jika yang meminjam di sini adalah orang kaya. Riba yang mereka ambil dari hutang orang- orang kaya, maka halal hukumnya. Sebab, menurut mereka peminjam di situasi ini menggunkan uang pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan tersier mereka. Yang kalaupun ditarik bunga dari uang pinjaman tersebut, tidak akan menzalimi orang kaya tersebut.
Menanggapi pandangan ini, ditegaskan kembali bahwa qardh atau pinjaman apapun baik digunakan untuk kebutuhan primer maupun tersier oleh sang peminjam, selama didalamnya terdapat bunga. Maka ini adalah riba yang diharamkan.
Firman Allah SWT dalam Al-Qurân, al-Baqarah ayat 279 dan 280:
فلكم رؤوس أموالكم لا تظلمون و لا تظلمون
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
و ان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
Kedua ayat yang membahas mengenai qardh ini, tidak membedakan antara peminjaman baik yang kemudian digunakan untuk kebutuhan tersier maupun kebutuhan primer. Begitu juga dengan sabda-sabda Rasulullah mengenai qardh . Tidak ada pengecualian dalam penarikan bunga qardh untuk kebutuhan tersier di atas kebutuhan primer.
Memang, pengertian qardh dalam perspektif fikih Islam, adalah akad irfâq . Dalam artian sebenarnya diperuntukkan kepada para muhtâjĭn. Dengan tujuan tolong-menolong antara seorang peminjam yang membutuhkan pinjaman dengan orang yang pemberi pinjaman. Kendatipun demikian, kalaupun ada seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang kaya, tidak diperkenankan menjadikan didalamnya sebuah bunga tertentu.
C. Penggunaan uang pinjaman untuk biaya produksi.
Islam mengharamkan semua jenis riba qardh tanpa pengecualian dan tanpa membedakan antara qardh istihlâkiy (digunakan untuk kebutuhan komsumtif) atau qardh intâji y (digunakan untuk kebutuhan produktif).
Dan mengenai qardh tijâriy (digunakan untuk modal berdagang), jenis qardh ini telah ada di dalam masyarakat arab pada zaman Rasulullah, bahkan di pada masyarakat Yunani. Dan pengecaman terhadap penarikan bunga bukan hanya dilakukan oleh Islam. Tapi juga dilakukan oleh para ahli filsafat Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Begitu juga dengan Cato dan Cicero, para ahli filsafat Romawi. Mereka menolak praktek pengambilan bunga dengan alasan yang kurang lebih sama, bahwa hal ini bisa menyebabkan perpecahan, juga mengenai fungsi asal uang yaitu sebagai alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa riba di dalam hutang-piutang adalah tambahan apapun terhadap uang pokok ( رأس المال ). Dan di dalam ِِ Al-Qurân maupun hadits tidak satu ayat pun yang membedakan antara qardh intâjiy (produktif) dan qardh istihlâki y (komsumtif) .
Para ulama sejak zaman Rasul hingga saat ini tidak pernah membedakan antara pinjaman yang apakah kemudian digunakan untuk kegiatan produktif atau komsumtif. Maka pengambilan riba dari keduanya tetap haram hukumnya. Dan mereka mengambil kaedah yang sama di dalam pengharaman riba ini, yaitu:

كل قرض جر (للمقرض) نفعا (مشروطا) فهو ربا.
Meskipun qard adalah akad mu'awwanah dan irfâq, bukan berarti bahwa qardh diperbolehkan untuk dibungakan kalau tidak dengan tujuan memberikan pertolongan kepada orang yang benar-benar butuh. Seperti kepada orang yang memiliki banyak uang untuk mereka gunakan di dalam perkembangan bisnis mereka.Dan solusi lainnya jika mereka tetap menginginkan uang mereka berkembang, mereka bisa menggunakannya dalam mudharabah . Dimana mereka akan tetap mendapat keuntungan jika untung, dan sama-sama menanggung rugi jika pada suatu saat terjadi kerugian di dalam mudharabah tersebut.
D. Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli
Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli meski merupakan kesepakatan kedua belah pihak secara terang-terangan ataupun secara tersirat, hukumnya haram sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan jika riba tersebut tidak disyaratkan dan diberikan ketika pelunasan utang atau setelahnya maka hukumnya boleh pada qardh menurut kesepakatan ulama.
Lalu bagaimana dengan posisi riba yang tidak disyaratkan dalam jual beli?
Riba fadhl, maupun riba nasaa' pada tranksaksi jual beli, jika tidak disyaratkan hukumnya boleh, sebagaimana yang terjadi pada qardh. Namun ada beberapa catatan untuk permasalahan ini:
• Dalam pembolehan riba yang tidak disyaratkan pada qardh didukung dengan hadis yang kuat, namun tidak demikian halnya dengan pembolehannya dalam jual beli
• Pada hadis yang menerangkan tentang riba dalam jual beli, tidak dibedakan antara riba yang disyaratkan dengan yang tidak, dan antara riba fadhl dan riba nasaa'.
• Perbedaan pondasi yang membedakan antara qardh dan jual beli; Qardh berlandaskan tolong menolong; non komersil dan jual beli berlandaskan keadilan bagi kedua belah pihak dan komersil.
• Para ulama juga belum memperdebatkan antara keharaman pada riba fadhl dan riba nasaa' dan keharaman riba yang disyaratkan dengan yang tidak.
E. Tempo pembayaran utang dan tempatnya
Waktu pembayaran hutang adalah jatuh tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, atau ketika batalnya transaksi. Batalnya akad bisa terjadi dengan meninggalnya salah satu pihak, atau karena pembatalan dari salah satu pihak meski sebelum jatuh tempo. Tentu saja dalam penetapan tempo pelunasan hutang, jangan sampai merugikan salah satu pihak; seperti dalam peminjaman gandum, kemudian mensyaratkan pembayarannya ketika harga gandum tersebut mahal. Adapun tempat pelunasan hutang adalah tempat dimana transaksi peminjaman terjadi. Namun sebagian ulama ada yang membolehkan ditempat lainnya jika hal tersebut tidak melanggar kesepakatan kedua belah pihak.
F. Aplikasi Qardh dalam perbankan Syari’ah
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ranah Qardh adalah akad non komersil, sehingga otomatis posisinya adalah sebagai solusi pamungkas. Karena dasar dari tranksaksi ini adalah asas tolong menolong yang tidak memberi untung apa-apa bagi yang menghutangkan kecuali dari Allah.
Untuk lebih jelasnya bisa kita teliti dari hadis berikut ini:
“Dari Anas bin malik berkata, berkata Rasulullah “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu Surga tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan Qardh18 kali. Aku beratanya: ‘Wahai Jibril mengapa Qardh lebih utama dari Shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya sedangkan peminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan. ‘ (H.R. Ibnu Majah- no 2422, kitab al ahkam dan Baihaqi).”
Tidak bisa dipungkiri keraguan akan menghinggapi kita, mengingat transaksi non profit ini dilakukan oleh sebuah Bank yang bukan organisasi sosial, tapi adalah badan usaha bersifat komersil. Keraguan ini bisa jadi seputar dari mana asal uang yang dipinjamkan, lalu pengembaliannya; apakah benar-benar senilai dengan nominal peminjaman yang berarti tidak memberi keuntungan finansial bagi Bank? Namun pada kenyataannya transaksi fee based service jenis ini tersedia di Bank Syari’ah.

makalah riba

1. DEFINISI RIBA
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah : 10), yakni siksa yang bertambah terus.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…”(QS. Al-Hajj: 5)
2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:
tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif
1. Tambahan kwantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kwantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kwantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kwantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
2. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
3. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
( تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ)
Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya,
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.
Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dalam syariat ada tafadhul antara kedua dengan ganti dan ada ta`khir dalam menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .”
Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan pada maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tidak disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah mengharamkan riba.”
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dengan sanad hasan} Al-Marwazi dalam Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf pada hablul habalah adalah riba.” }
Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perut telah melahirkan maka aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yg tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”
2. HUKUM RIBA
Riba dengan segala bentuk adalah haram dan termasuk dosa besar dengan dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.” Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ . Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi. Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yg Terkena Hukum Riba Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.”
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr
4. Sya’ir
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya? Untuk mengetahui lebih detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma garam burr dan sya’ir. Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian. Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang. Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya. Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada.
Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.” Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak. Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak. Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya. Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya. Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer. Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak. Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak. Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib .
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui.
3. APLIKASI ATURAN-ATURAN AGAR TERHINDAR DARI RIBA
A. Sedikit banyaknya jumlah bunga yang diambil.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak fuqoha kontemporer yang mencari-cari alasan agar penarikan bunga dalam hutang piutang diperbolehkan. Salah satu alasan mereka adalah dengan membedakan riba yang berjumlah sedikit ( usury ) dan riba yang berjumlah banyak ( interest ). Menurut mereka, riba yang diharamkan oleh Allah dalam Al- Qurân adalah riba dalam jumlah besar. Tapi diperbolehkan jika dalam jumlah yang sedikit. Untuk menguatkan pendapat tersebut, mereka mengutip ayat 130 dari surah ‘Ali Imrân.
Dengan menggunakan ayat di atas, mereka berkata bahwa riba yang dilarang adalah riba yang berlipat- lipat. Secara sepintas, ayat di atas memang hanya melarang pengambilan bunga yang berlipat- lipat. Namun jika kita memahami ayat ini dengan mencermati kembali ayat- ayat lainnya secara komprehensif, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa riba, apapun bentuknya mutlak dilarang.
Redaksi berlipat-ganda pada ayat ini menegaskan karakteristik riba secara umum. Bahwa riba cenderung berkembang dan berlipat ganda bersama tempo yang dihabiskan. Bukan mengenai pengharaman pengambilan riba dalam jumlah yang banyak dan memperbolehkan pengambilannya dalam jumlah yang sedikit. Pemahaman terbalik seperti inilah yang digunakan oleh para pemikir-pemikir kontemporer untuk menguatkan pendapat mereka. Maka dari itu, kita harus selalu berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap nash tersebut. Sebab, jika kita terus menggunakan metode pemahaman ayat- ayat Al-Qurân seperti itu (mafhum mukhâlafah), maka hal ini bisa sangat berbahaya.
Sebagai contoh, pada ayat di atas kita dilarang untuk memakan daging babi. Jika kita menafsirkan ayat tersebut menggunakan mafhum mukhâlafah, berarti yang dilarang oleh Allah SWT untuk dimakan lewat ayat ini adalah daging babi saja. Sementara darah, lemak dan lainnya tidak disebutkan. Maka apakah darah dan lemak halal, dengan melihat tidak disebutnya darah dan lemak babi di ayat ini?
Kembali kepada pembahasan ayat 130 surah ‘Ali Imrân tadi. Kita tidak dapat mengatakan bahwa yang banyak tidak diperbolehkan, sedangkan yang sedikit diperbolehkan. Apakah dalam dilarangnya meminum khamar ada pengecualian dalam jumlah sedikit dan tetap mengharamkan meminumnya dalam jumlah banyak?
Dan jika dikaitkan ke ayat-ayat sebelumnya mengenai pengharaman riba, tidak ada celah untuk mengatakan bahwa pengambilannya dalam jumlah sedikit diperkenankan. Sebab tidak ada penjelasan satu pun dari ayat- ayat tersebut yang membedakan antara riba dalam jumlah sedikit mupun banyak.
B. Penggunaan uang pinjaman untuk kebutuhan tersier.
Beberapa pemikir berpendapat bahwa jika pinjaman tersebut ditujukan bagi fakir miskin, maka hukum penarikan bunga di dalamnya adalah haram. Karena mereka benar- benar butuh untuk memenuhi kebutuhan utama atau primer mereka . Dan jika kita menarik bunga dari mereka, berarti sama saja kita tidak membantu mereka. Melainkan menzalimi mereka. Sebaliknya, jika yang meminjam di sini adalah orang kaya. Riba yang mereka ambil dari hutang orang- orang kaya, maka halal hukumnya. Sebab, menurut mereka peminjam di situasi ini menggunkan uang pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan tersier mereka. Yang kalaupun ditarik bunga dari uang pinjaman tersebut, tidak akan menzalimi orang kaya tersebut.
Menanggapi pandangan ini, ditegaskan kembali bahwa qardh atau pinjaman apapun baik digunakan untuk kebutuhan primer maupun tersier oleh sang peminjam, selama didalamnya terdapat bunga. Maka ini adalah riba yang diharamkan.
Firman Allah SWT dalam Al-Qurân, al-Baqarah ayat 279 dan 280:
فلكم رؤوس أموالكم لا تظلمون و لا تظلمون
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
و ان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
Kedua ayat yang membahas mengenai qardh ini, tidak membedakan antara peminjaman baik yang kemudian digunakan untuk kebutuhan tersier maupun kebutuhan primer. Begitu juga dengan sabda-sabda Rasulullah mengenai qardh . Tidak ada pengecualian dalam penarikan bunga qardh untuk kebutuhan tersier di atas kebutuhan primer.
Memang, pengertian qardh dalam perspektif fikih Islam, adalah akad irfâq . Dalam artian sebenarnya diperuntukkan kepada para muhtâjĭn. Dengan tujuan tolong-menolong antara seorang peminjam yang membutuhkan pinjaman dengan orang yang pemberi pinjaman. Kendatipun demikian, kalaupun ada seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang kaya, tidak diperkenankan menjadikan didalamnya sebuah bunga tertentu.
C. Penggunaan uang pinjaman untuk biaya produksi.
Islam mengharamkan semua jenis riba qardh tanpa pengecualian dan tanpa membedakan antara qardh istihlâkiy (digunakan untuk kebutuhan komsumtif) atau qardh intâji y (digunakan untuk kebutuhan produktif).
Dan mengenai qardh tijâriy (digunakan untuk modal berdagang), jenis qardh ini telah ada di dalam masyarakat arab pada zaman Rasulullah, bahkan di pada masyarakat Yunani. Dan pengecaman terhadap penarikan bunga bukan hanya dilakukan oleh Islam. Tapi juga dilakukan oleh para ahli filsafat Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Begitu juga dengan Cato dan Cicero, para ahli filsafat Romawi. Mereka menolak praktek pengambilan bunga dengan alasan yang kurang lebih sama, bahwa hal ini bisa menyebabkan perpecahan, juga mengenai fungsi asal uang yaitu sebagai alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa riba di dalam hutang-piutang adalah tambahan apapun terhadap uang pokok ( رأس المال ). Dan di dalam ِِ Al-Qurân maupun hadits tidak satu ayat pun yang membedakan antara qardh intâjiy (produktif) dan qardh istihlâki y (komsumtif) .
Para ulama sejak zaman Rasul hingga saat ini tidak pernah membedakan antara pinjaman yang apakah kemudian digunakan untuk kegiatan produktif atau komsumtif. Maka pengambilan riba dari keduanya tetap haram hukumnya. Dan mereka mengambil kaedah yang sama di dalam pengharaman riba ini, yaitu:

كل قرض جر (للمقرض) نفعا (مشروطا) فهو ربا.
Meskipun qard adalah akad mu'awwanah dan irfâq, bukan berarti bahwa qardh diperbolehkan untuk dibungakan kalau tidak dengan tujuan memberikan pertolongan kepada orang yang benar-benar butuh. Seperti kepada orang yang memiliki banyak uang untuk mereka gunakan di dalam perkembangan bisnis mereka.Dan solusi lainnya jika mereka tetap menginginkan uang mereka berkembang, mereka bisa menggunakannya dalam mudharabah . Dimana mereka akan tetap mendapat keuntungan jika untung, dan sama-sama menanggung rugi jika pada suatu saat terjadi kerugian di dalam mudharabah tersebut.
D. Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli
Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli meski merupakan kesepakatan kedua belah pihak secara terang-terangan ataupun secara tersirat, hukumnya haram sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan jika riba tersebut tidak disyaratkan dan diberikan ketika pelunasan utang atau setelahnya maka hukumnya boleh pada qardh menurut kesepakatan ulama.
Lalu bagaimana dengan posisi riba yang tidak disyaratkan dalam jual beli?
Riba fadhl, maupun riba nasaa' pada tranksaksi jual beli, jika tidak disyaratkan hukumnya boleh, sebagaimana yang terjadi pada qardh. Namun ada beberapa catatan untuk permasalahan ini:
• Dalam pembolehan riba yang tidak disyaratkan pada qardh didukung dengan hadis yang kuat, namun tidak demikian halnya dengan pembolehannya dalam jual beli
• Pada hadis yang menerangkan tentang riba dalam jual beli, tidak dibedakan antara riba yang disyaratkan dengan yang tidak, dan antara riba fadhl dan riba nasaa'.
• Perbedaan pondasi yang membedakan antara qardh dan jual beli; Qardh berlandaskan tolong menolong; non komersil dan jual beli berlandaskan keadilan bagi kedua belah pihak dan komersil.
• Para ulama juga belum memperdebatkan antara keharaman pada riba fadhl dan riba nasaa' dan keharaman riba yang disyaratkan dengan yang tidak.
E. Tempo pembayaran utang dan tempatnya
Waktu pembayaran hutang adalah jatuh tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, atau ketika batalnya transaksi. Batalnya akad bisa terjadi dengan meninggalnya salah satu pihak, atau karena pembatalan dari salah satu pihak meski sebelum jatuh tempo. Tentu saja dalam penetapan tempo pelunasan hutang, jangan sampai merugikan salah satu pihak; seperti dalam peminjaman gandum, kemudian mensyaratkan pembayarannya ketika harga gandum tersebut mahal. Adapun tempat pelunasan hutang adalah tempat dimana transaksi peminjaman terjadi. Namun sebagian ulama ada yang membolehkan ditempat lainnya jika hal tersebut tidak melanggar kesepakatan kedua belah pihak.
F. Aplikasi Qardh dalam perbankan Syari’ah
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ranah Qardh adalah akad non komersil, sehingga otomatis posisinya adalah sebagai solusi pamungkas. Karena dasar dari tranksaksi ini adalah asas tolong menolong yang tidak memberi untung apa-apa bagi yang menghutangkan kecuali dari Allah.
Untuk lebih jelasnya bisa kita teliti dari hadis berikut ini:
“Dari Anas bin malik berkata, berkata Rasulullah “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu Surga tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan Qardh18 kali. Aku beratanya: ‘Wahai Jibril mengapa Qardh lebih utama dari Shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya sedangkan peminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan. ‘ (H.R. Ibnu Majah- no 2422, kitab al ahkam dan Baihaqi).”
Tidak bisa dipungkiri keraguan akan menghinggapi kita, mengingat transaksi non profit ini dilakukan oleh sebuah Bank yang bukan organisasi sosial, tapi adalah badan usaha bersifat komersil. Keraguan ini bisa jadi seputar dari mana asal uang yang dipinjamkan, lalu pengembaliannya; apakah benar-benar senilai dengan nominal peminjaman yang berarti tidak memberi keuntungan finansial bagi Bank? Namun pada kenyataannya transaksi fee based service jenis ini tersedia di Bank Syari’ah.
A. TAUBAT

Didalam bahasa Arab ada beberapa kata untuk menunjukan kata kembali. Kata yang paling kita ketahui adalah kata ‘Id atau ‘Aud, berasal dari kata ‘Âda-Ya’ûdu-’îdan-wa-’audan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri artinya kembali kepada fitrah. Ada juga yang mengatakan fitr di situ berasal dari kata futhûr sehingga Idul Fitri diartikan bahwa kita kembali lagi kepada kegiatan makan siang hari seperti biasa.
Kata lain untuk kembali dalam bahasa Arab adalah Rujû’ dari kata raja’a-yarji’u-rujû’an. Di kalangan kita kata Rujû’, yang artinya kembali, hanya digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Jadi ada nikah, talak, rujuk. Rujû’ artinya kembali lagi, suami yang sudah pergi kembali lagi. Di dalam Al-Qur’an kata Ruju’ lebih sering digunakan untuk menunjukan kembalinya kita kepada Allah swt. Misalnya kita menyebut Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua Rujû’. Orang yang kembali disebut raji dan tempat kembali disebut marji’. Seperti dalam ayat Al-Qur’an : “Ilayya marji’ukum, Kepada Akulah kembali semua” (QS 3:55).
Sebelum kalimat itu Tuhan berkata: “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum. Ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Akulah tempat kembali semua”. Sekarang kita ketemu lagi dengan kata lain untuk kembali yaitu anâba-yunibu-inâbah. Karena keindahan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak mengulangi kata-kata yang sama walaupun artinya sama. Penulis yang bagus mengganti untuk makna yang sama, kata-kata yang lain untuk menunjukan keindahan. Ciri orang yang tidak begitu pintar menyusun kata-kata ialah ia mengulang terus-menerus. Sayangnya bahasa Indonesia kurang begitu kaya dibanding dengan bahasa Arab. Tidak ada kata lain untuk kembali. Sehingga kita menerjemahkan “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum” menjadi “Ikutilah orang-orang yang kembali kepada-Ku dan kepada Akulah tempat kembali kamu semua”. Kita memakai kata kembali lagi, karena tidak ada kata lain. Sebetulnya ada kata pulang, tapi agak tidak enak. Jadi untuk kata kembali, kita tadi ada ‘Id, Ruju’, dan Inabah.
Satu lagi kata yang berarti kembali dalam bahasa Arab yang sangat khas adalah Taubat. Taubat berasal dari kata Tâba- Yatûbu-Taubatan. Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb. Kalau kita terjemahkan Tawwâb sebagai orang yang banyak bertaubat, maka kita akan menemukan di dalam Al-Qur’an, yang disebut paling banyak bertaubat itu bukan saja manusia tetapi juga Tuhan. Tidak hanya Makhluk tetapi juga Khalik. Misalnya Allah menyebut orang-orang yang banyak bertaubat dan senang melakukan kesucian dengan kata-kata: Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian dirinya” (QS 2:222).
Tetapi kata tawwãb juga dinisbahkan kepada Allah swt, “Innahu huwat tawwãbur rahim. Sesungguhnya Allah itu yang paling banyak bertaubat dan yang paling penyayang” (QS 2:37). Biasanya kita kebingungan kalau mengartikan bahwa Allah yang paling banyak bertaubat. Sebab dalam bahasa Indonesia, kata taubat berarti ampunan. Sehingga kalau kita baca komik, orang-orang yang dipukul akan menjerit “Tobat!”. Taubat diartikan sebagai ampunan sehingga taubat sudah kehilangan makna kembalinya. Untunglah dalam zikir-zikir kita, kita masih menyebut Allah At-Tawwãb.
Jadi untuk menunjukan kata kembali dalam bahasa Arab kita gunakan Id, Ruju’, Inabah dan Taubat. Di dalam tasawuf, kata taubat dan inabah itu, menunjukan dua stasiun yang berbeda, dua maqam yang berbeda. Dalam kitab Manãjilus Sãirin, dinyatakan bahwa dalam perjalanan kita menuju Allah swt, taubat adalah maqam yang kedua dan inabah adalah maqam yang keempat. Maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah swt akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan, akan penyia-nyiaan waktu kita selama ini, dan akan kejatuhan kita dari Allah swt. Bisa jadi kita disadarkan oleh satu kejadian yang menimpa kehidupan kita. Bisa juga kita disadarkan oleh nasihat orang lain. Bisa juga kita disadarkan karena ikut pesantren kilat. Dan bisa juga kita disadarkan karena perenungan kita sendiri. Allah mempunyai berbagai cara untuk menyadar-kan. Tapi dalam tasawuf atau menurut ayat Al-Qur’an, paling banyak orang itu disadarkan karena musibah.
Yang disebut yaqzhah itu kita sebut Idul Fitri. Pada waktu yaqzhah itu, kita kembali pada fitrah kita. Menurut Islam kita semua mempunyai fitrah kesucian yaitu keinginan kita untuk kembali kepada Allah swt. Keinginan itu ada jauh dalam hati kita. Allah tempatkan dalam hati kita sebuah lampu dan itu adalah lampu fitrah yang sering kali tertutup. Al-Qur’an menggambarkan hati itu seperti misykat. “Allahu nûrus samãwati wal ardh, matsalu nûrihi kamiskah, fîha misbah. Perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat” (QS 24:35). Misykat itu dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik. Bayangkan kubah mesjid atau kuburan-kuburan biasanya di atasnya ada tempat seperti mangkuk terbalik.
Di dalam ilmu Antropologi itu menjadi pembahasan mengapa tempat-tempat ibadah selalu berupa mangkuk-mangkuk yang terbalik. Misalnya candi Borobudur, katedral-katedral, dan mesjid-mesjid. Sampai ada seorang arsitek di Bandung yang tidak suka ada kubah di mesjid, karena menurutnya itu sama dengan agama Budha. Dan ajaibnya hampir semua agama punya kecenderungan untuk menganggap sesuatu yang yang seperti mangkuk terbalik itu sebagai sesuatu yang suci. Di mihrab ada ruang seperti mangkuk terbalik ini. Kalau mihrabnya kecil dan menempel di dinding, kita simpan lampu di situ. Al-Qur’an menggambarkan hati kita itu seperti misykat dan di dalamnya ada misbah (lampu). Tetapi kebanyakan misbah kita itu tertutup. Cahaya lampu di dalam itu tidak bisa keluar, cahaya fitrah kita itu tidak bisa keluar karena tertutup dosa-dosa kita. Karena perhatian kita kepada dunia.
Tetapi pada orang-orang tertentu yang membersihkan hatinya secara sungguh-sungguh, misykat itu menjadi sangat cemerlang seperti kaca. Al-Qur’an mengata-kan “Kacanya itu seakan-akan bintang yang cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon Zaitun yang diberkati, yang tidak di timur dan tidak di barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya” (QS 24:35).
Ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang bisa ditafsirkan secara tasawuf, atau secara fiqih; secara lahir, dan secara batin. Tetapi ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa ditafsirkan secara tasawuf, secara batiniah dan tidak bisa ditafsirkan secara fikih dan lain-lain. Salah satunya itu ayat nur di atas. Imam Al-Ghazali menulis sebuah kitab berjudul Misykat Al-Anwar (misykat dari cahaya) yang isinya hanya membahas khusus ayat ini. Hakim At-Tirmidzi dan juga Syaikh Abdul Qadir masing-masing menulis sebuah kitab tentang makna ayat ini. Ayat ini jadi perbincangan di kalangan tasawuf, tapi tentu saja kita tidak akan membahasnya di sini.
Menurut Al-Qur’an, hati kita ini mempunyai lampu fitrah yang membawa kita kepada kesucian dan membawa kita untuk merindukan Allah swt. Kita ini berasal dari Dia dan jauh di dalam lubuk hati kita yang paling dalam, yang kita sebut fitrah, ada kerinduan kita kepada Allah swt. Tetapi kerinduan itu sering kita lupakan. Mungkin karena terpesona di tempat yang baru datang. Seperti ketika Anda merantau ke luar negeri. Pertama kali datang, Anda terpesona. Karena kehidupan yang senang, Anda tidak ingat untuk kembali. Yang memanggil kita untuk kembali itu adalah cahaya fitrah, lampu yang ada di dalam misykat hati kita. Misykat itu adalah bagian hati kita yang paling dalam dan masih menyimpan cahaya Ilahi itu. Sinarnya tidak kelihatan karena kita terlalu terpesona dengan kehidupan ini. Kerinduan itu masih ada. Lalu, kapan kerinduan itu tiba-tiba muncul dalam satu saat yang disebut yaqzhah? Kapan timbul kesadaran untuk kembali ke fitrah itu?
Kalau orang itu mendapat musibah, biasanya ia akan kembali kepada Allah swt. Karena itu Nabi bersabda kepada orang yang mengeluh karena musibahnya, “Sesungguh-nya tidak ada baiknya orang yang tidak pernah mendapat musibah”. Kalau mendapat musibah, orang itu biasanya kembali kepada Allah swt. Jadi musibah itu bagus, karena mengembalikan kita kepada fitrah lagi. Dengan musibah, kita mengalami Idul Fitri yang sejati, Idul Fitri yang sebenarnya. Kita kembali membersihkan misykat hati kita dan mulailah perlahan-lahan cahaya Ilahi itu keluar.
Al-Qur’an juga bercerita tentang yaqzhah atau kembali kepada fitrah ini dengan menggambarkan orang yang berada di dalam perahu. Ketika perahu berada di tengah lautan, tiba-tiba datang badai yang mengombang-ambingkan perahu itu. Semua kembali kepada fitrahnya, berdo’a kepada Allah dengan ikhlas. Tetapi ketika Allah mendamparkan mereka ke daratan dalam keadaan selamat, mereka kembali musyrik. Musyrik artinya meninggalkan fitrahnya lagi. Itu kata Al-Qur’an. Sekarang ini bangsa Indonesia sedang ditimpa badai. Menurut koran, banyak orang pergi ke dukun. Jadi di Indonesia ini ada dua pilihan kalau ditimpa musibah. Yang pertama kembali kepada Allah dan itulah Idul Fitri. Yang kedua ialah kembali kepada dukun.
Dari yaqzhah orang meningkat kepada taubat, maqam yang kedua. Dari taubat naik kepada maqam yang ketiga yaitu muhasabah. Setelah maqam muhasabah barulah maqam inabah. Yang akan kita bicarakan adalah taubat dan inabah. Kembali kepada kata taubat, kita punya istilah lain selain taubat yaitu istighfãr. Kita menyebut istighfãr juga dengan taubat. Apa perbedaan istighfãr dan taubat? Istighfãr artinya bukan kembali. Istighfãr ini berasal dari kata ghafara yang artinya menutup. Perban untuk menutup luka dalam bahasa Arab klasik, atau satu penutup kepala untuk melindungi kepala dari gangguan, semacam helm, disebut mughfar. Kalau ditambahkan alif, sin dan ta sebelum ghafara, itu berarti meminta atau mengusahakan memperoleh ghafr. Istaghfara artinya kita meminta agar di tutup dari hal-hal yang menyakitkan. Dalam Al-Qur’an kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar saja tidak disertai dengan taubat, tetapi kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar dengan disertai taubat.
Misalnya untuk ayat-ayat yang berisi perintah istighfar saja dan tidak ada perintah taubat di dalamnya adalah Al-Qur‘an surat 70 ayat 10 dan 11 yang berisi perintah Nabi Nuh kepada kaumnya yang dilanda musim kekeringan yang panjang. Nabi Nuh berkata: “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, Dia Maha Pengampun. Dia menurunkan hujan dari langit. Nanti Allah akan turunkan hujan dari langit dalam jumlah yang banyak”. Contoh lainnya ialah ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 27 ayat 46) “Sekiranya kamu beristighfar kepada Allah, maka kamu disayangi Allah” Juga dalam Al-Qur‘an surat 2 ayat 199, “Beristighfarlah kamu kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Al-Qur‘an surat 8 ayat 33 menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab mereka, selama kamu Muhammad berada di tengah-tengah mereka. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, selama mereka itu istighfar”. Itu ayat-ayat perintah istighfar yang tidak disertai dengan perintah taubat.
Ada pula ayat-ayat yang lain di mana istighfar disertai dengan taubat. Misalnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 3, “Beristighfar-lah kamu kepada Tuhan-Mu dan bertaubatlah kamu kepada-Nya, nanti Allah akan berikan kepada kamu kehidupan yang sangat baik sampai waktu yang ditentukan”. Atau ucapan Nabi Hud kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 52, “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, kemudian bertaubatlah kamu kepada-Nya. Nanti Allah akan turunkan kepada kamu hujan dalam jumlah yang banyak.” Jadi taubat itu datang setelah istighfar. Seperti ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 61: “Dialah yang membuat kamu hidup di dunia ini dan menyuruh kamu memakmurkan negeri ini. Kemudian istighfarlah kamu kepada-Nya dan bertaubatlah kamu kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang dan penuh kecintaan”. Lalu apa yang disebut taubat dan apa yang disebut istighfar? Istighfar artinya memohonkan maghfirah. Apa yang disebut dengan maghfirah? Menurut asal katanya, maghfirah berarti penutup. Istighfar berdasar-kan artinya bermakna bahwa kita meminta agar dijaga dari akibat-akibat dosa kita, karena setiap dosa menimbulkan akibat-akibat buruk di dalam kehidupan kita.
Orang-orang Hindu percaya betul dengan apa yang disebut karma. Karma itu sebetulnya akibat buruk dari dosa. Dengan istighfar kita meminta perlindungan agar kita dijaga dari akibat-akibat buruk dari dosa itu. Dengan beristighfar kita memohon kepada Allah agar akibat-akibat dosa kita itu ditutup. Kalau Anda bertengkar, akibat dosanya adalah Anda akan cepat celaka. Imam Ali kw berdoa “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang mempercepat kecelakaan.” Imam Ali kw ditanya “Apa ada dosa yang mempercepat kecelakaan?” “Ada,” kata Imam Ali, “yaitu memutuskan silaturrahmi.” Salah satu contoh dosa yang memutuskan silaturrahmi adalah bertengkar. Akibatnya adalah mempercepat kecelakaan. Ada pula dosa-dosa yang menyempitkan rejeki, misalnya dosa membuat fitnah, mengadu domba orang, durhaka kepada orang tua, atau menyakiti hati orang miskin.
Menyakiti hati orang miskin akan mendatangkan kerugian, apalagi kalau orang miskinnya itu kekasih Tuhan. Ketika kita beristighfar, kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari akibat-akibat dosa. Dalam bahasa Arab, akibat-akibat dosa itu disebut tabi’ah yang artinya akibat-akibat buruk dari sesuatu. Ketika kita mau makan ada satu doa, “Allãhumaj ‘alhu rizqan thayyiban lã tabi’ata lahu wa lã hisãb.Ya Allah, jadikan ini rejeki yang baik, yang tidak ada tabiahnya, tidak ada akibat-akibat buruk selanjutnya, dan tidak ada perhitungan, serta tidak ada pemeriksaan”; dilanjutkan dengan Allãhuma bãrik lanã ...dan seterusnya. Umumnya kita berdoa dari Allãhuma bãrik lanã saja, karena kita tahu umumnya rejeki kita tidak thayib, ada tabi’ah-nya dan pasti dihisab. Jadi kita lupakan saja do’a itu. Tabiah berasal dari kata taba’a yang artinya mengikuti. Tabi’in artinya orang-orang yang mengikuti. Jadi Tabi’ah itu adalah hal-hal yang mengikuti sesuatu. Setelah kita berbuat dosa akan ada tabi’ah-nya, ada keburukannya dari dosa itu.
Orang Inggris menerjemahkan kata tabi’ah itu dengan kata consequence. Di dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi konsekuensi. Istighfãr berarti memohon kepada Allah agar kita dipelihara dari konsekuensi dosa, dari akibat-akibat dosa, atau dari hal-hal buruk yang terjadi karena dosa kita. Sehingga Istighfãr menurut Ibnu Al-Qayyim Al-Jawjiyyah adalah memohon agar dilindungi dari keburukan atas apa yang sudah kita lakukan sebelum ini.
Adapun taubat berarti ruju’, kembali dari perbuatan buruk yang pernah kita lakukan sebelumnya kepada perbuatan baik. Ada ulama yang menyebutkan taubat adalah “ar-ruju’ minal mukhalafah ilal muwafaqah” Kita kembali dari menentang Tuhan kepada menyesuaikan diri dengan perintah Tuhan. Jadi, taubat berarti meninggalkan perbuatan buruk dan istighfar bermakna memohon agar kita diselamatkan dari akibat-akibat perbuat-an buruk. Meskipun demikian, belum tentu taubat itu menyelamatkan kita dari per-buatan-perbuatan buruk. Misalnya kolusi dan korupsi akan segera ditinggalkan atas saran IMF, tapi akibat-akibatnya masih terus berlangsung. Orang yang berzina, walaupun dia sudah bertobat, akibat dosa-dosanya masih akan ada. Istighfar itu memohon kepada Allah, agar akibat-akibat dari dosa itu dihapuskan Allah swt, agar kita dipelihara dari akibat dosa itu. Sekiranya kita dibukakan ke alam gaib dan kemudian kita melihat dosa-dosa kita beserta akibat dari setiap dosa itu, kita akan ketakutan. Kita akan segera ber-istighfar Astaghfirullãha abbi wa atûbu ilaihi.
Kita memohon supaya akibat-akibat dari dosa ini tidak berlanjut. Akibat-akibat dosa ini bisa berlanjut kepada keturunan atau kepada orang lain. Misalnya di Jerman, ibu-ibu hamil yang meminum obat penenang thalidomide, anaknya lahir cacat. Akibat dosa itu bisa mengenai orang yang bukan pelaku-nya. Bisa saja kita dipelihara dari akibat-akibat dosa, meskipun kita tidak taubat. Ada orang-orang yang terus menerus berbuat maksiat, Tuhan biarkan saja sampai waktu yang ditentukan. Al-Qur’an mengatakan: “Kami panjangkan angan-angan dia.” Bisa saja kita tidak langsung dihukum Allah, kita tidak langsung melihat akibat dosa kita ini. Dengan penuh kasih sayang, Tuhan menutupi akibat-akibat dosa kita ini. Bahkan keburuk-an-keburukan kita pun Tuhan tutupi, supaya tidak kelihatan oleh mahluk Allah yang lain. Saya sering berkata, “Kalau ada orang menjelek-jelekkan Anda, Anda tidak usah sakit hati. Karena orang itu sedang bertarung dengan Allah swt. Allah pekerjaanya adalah menutupi aib Anda dan menyebarkaan kebaikan Anda. Makin banyak orang itu menjelek-jelekkan Anda, makin banyak Allah menampakkan kebaikan Anda dan Allah pasti menang” Kerugian Anda yang suka menjelek-jelekkan orang lain itu adalah bahwa orang yang di jelek-jelekkan itu, namanya makin harum, sementara Anda sendiri bakal disempitkan rejekinya dan akan ada musibah-musibah lain untuk menyadarkan Anda. Believe it!
Kalau sudah begitu apa yang harus Anda lakukan? Disini ada perbincangan di antara para ulama. Kalau kita sudah memfitnah dan menggunjingkan orang lain, kita tidak usah menceritakan kepadanya kalau kita sudah memfitnah dia atau meng-gunjingkan dia. Yang harus kita lakukan adalah menyebarkan kebaikan orang yang sudah kita jelek-jelekkan. Sebagai tebusannya kita puji-puji dia, sebagaimana perilaku Allah. Kalau kita jelekkan orang, padahal kejelekan itu tidak ada padanya, itu namanya fitnah. Tapi kalau kita puji-puji orang, padahal kebaikan itu tidak ada padanya, itu namanya akhlak Allah. Karena seperti disebutkan dalam Doa Kumail, “Betapa banyaknya pujian baik dan indah, yang Kausebarkan tentang diriku, padahal aku tidak layak mendapat pujian itu”. Kalau Anda memuji orang lebih-kan dan hilangkan kejelekkannya.
Istighfar adalah memohonkan agar Allah swt memelihara kita dari akibat dosa-dosa kita. Karena itu dalam Al-Qur‘an disebutkan “Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka selama mereka ber-istighfar” (QS:8:33). Karena itu perbanyaklah beristighfar, supaya akibat-akibat dosa ini tidak menimpa kita. Nabi saw saja sering beristighfar. Sekali duduk Rasulullah saw baca istighfar sampai 70 kali. Dalam riwayat lain disebutkan 100 kali. Nabi saw memper-banyak istighfar padahal beliau adalah orang yang terpelihara dari dosa. Wirid kita adalah istighfar. Bila dosa itu terhadap Allah swt, kita harus melakukan istighfar dan taubat. Kita memohon kepada Allah agar tidak meng-hukum kita karena dosa-dosa kita dan kita lepaskan dosa-dosa yang kita lakukan. Kalau dosa itu kepada makhluk, kita juga istighfar dan taubat. Saya minta maaf kepada Anda dan hapuskan akibat-akibat dosa saya ini. Kalau masih ada tabi’ah-nya, berupa jengkel, tidak senang, marah, berarti Anda belum memaafkan secara tulus. Seperti kata Nabi Yusuf ketika memaafkan saudara-saudara-nya, “Tidak ada apa-apa lagi dalam hati saya kepada kalian pada hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian” (QS 12:92).