Senin, 07 Juni 2010

ADAB KREDITUR DAN DEBITUR

BAB I
MEMENUHI TAGIHAN DENGAN BAIK

1. ADAB-ADAB KREDITUR
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam. Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:
A. Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.
Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta'ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)
Telah dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan. Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: "Nulung tapi mentung." Saudaraku! dalam hukum syari'ah perbuatan "nulung tapi mentung" yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)
Saudaraku, para ulama' tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.

B. Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama', terutama para penganut Mazhab As Syafi'i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
C, Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta'ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah 'Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar. Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta'ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا - قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا - قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه

"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?' 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.' (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: 'Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.' Kemudian Allah berfirman: 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'" (Muttafaqun 'alaih)
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
"Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula." (Qs. Ar Rahman: 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama' terdahulu:
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
"Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan."
2. ADAB-ADAB DEBITUR
Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula. Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:
Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.
Diantara syari'at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap "besar pasak daripada tiang."
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. Al Furqan: 67)
Al Qurtuby Al Maliky berkata: "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha'i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama." Adapun maksud dari: "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama' tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur'an oleh Al Qurtuby 3/452).
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan. Bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama' adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama' salaf menyatakan
:مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
"Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali."
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه
"Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar." (Muttafaqun 'alaih)
Adab kedua: Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.
Syari'at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya. Diantara hal yang dilarang dalam syari'at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya. Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه
"Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya." (Muttafaqun 'alaih)
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري
"Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya." (Riwayat Al Bukhari)

Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya. Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62).
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah." (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani).
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:

1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
"Abu Rafi' radhiallahu 'anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Muttafaqun 'alaih)
3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
"Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk dapat melunasi utang.
Sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta'ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
"Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah."
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
"Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah."
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta'ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:

أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu." Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta'ala.

BAB II
JUAL BELI UNTA

”Jabir r.a. berkata ketika berpergian diastas unta yang sangat lelah payah, tiba-tiba Nabi SAW, berjalan maka dipukul untanya oleh Nabi SAW. Dan didoakan sehingga dapat berlari kencang,, tidak pernah lari sedemikian, kemudian Nabi SAW berkata, jualah kepadaku denga harga satu uqiyah. Aku menjawab, tidak ya Rasulullah. Tetapi Rasul mengulang; julah kepadaku. Maka aku jual unta iru kepada Nabi SAW dengan satu uqiyah, tetapi aku syaratkan untuk aku kendarai hingga sampai ke rumahku. Kemudian setelah sampai ke Madinah, aku bawa unta itu. Maka segera dibayaer tunai harganya. Kemudian Setelah itu, Nabi menyuruh seseorang memanggilku kembali. Lalu nabi SAW bersabda kepadaku; ”aku tidak akan mengambil untamu. Maka bawalah kembali untanu maka itu milikmu (HR. Bukhori dan Muslim)

1. JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
A. Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang. Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma"ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma" kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut "Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya". Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu", bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.

Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.

Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:

1. Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
2. Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: "Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda." Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan dengan tanggungan.

DAFTAR PUSTAKA


Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. Artikel www.pengusahamuslim.com
Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi Sumber : Alsofwah.or.id

MAZHAB AHLUSSUNNAH

BAB I PEMBAHASAN

Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut oleh masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlussunnah dan Mazhab Syi'ah. Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqh dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah.
A. Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra'yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra'yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma'i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
• Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
• Bagian kedua al-Jami' al-Kabir;
• Bagian ketiga al-Jami' as-Sagir;
• Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
• Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
• Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi. Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2. Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits. Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa' yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma'mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa'. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, 'Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari'ah, dan Syar'u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur' an, sunnah Nabi SAW, ijma', dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari'ah, Istihsan, 'Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.

3. Mazhab Syafi'i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra 'yi, Imam asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur'an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma' sahabat. Ijma' yang diterima Imam asy-Syafi'i sebagai landasan hukum hanya ijma' para sahabat, bukan ijma' seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma' tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi 'i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara'
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi 'i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi 'i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi'i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi 'i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi 'i tersebut.

4. Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra'yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi'i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma';
2. Fatwa Sahabat;
3. Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW;
4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma'; dan
5. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari'ah, 'urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
B. Mazhab Syiah
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu' yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu' ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San'ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami' fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami' li Mazahib 'Ulama' al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut'ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra'yi

2. Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqh Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqh Mazhab Syafi 'i dengan beberapa perbedaan yang mendasar.
Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur'an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara'. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma' sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara', kecuali ijma' bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim (128-183 H), diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla (w. 203 H/ 818M). Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syiah adalah Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqh Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya'ir ad-Darajat fi 'Ulum 'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, al-Kafi fi 'ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqh Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1. Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut'ah yang diharamkan ahlus sunnah;
2. Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah tidak perlu; dan
3. Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.
Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang.
C. Mazhab az-Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud az-Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ahkam fi Usul al-Ahkam di bidang usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash (Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW) secara literal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertian yang dimaksud dari suatu nash bukan makna literalnya. Apabila suatu masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma'. Ijma' yang mereka terima adalah ijma' seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan pengertian ijma' yang dikemukakan ulama usul fiqh. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendapat az-Zahiri merupakan bahasa halus dalam menolak kehujahan ijma', karena ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi seperti yang dikemukakan Imam asy-Syafi'i. Kemudian, mereka juga menolak qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah dan metode istinbat lainnya yang didasarkan pada ra'yu (rasio semata):
Sekalipun para tokoh Mazhab az-Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqh, mazhab ini tidak utuh karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqh, pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqh sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
D. SIKAP DAN PESAN PARA IMAM MAZHAB
Sampai saat ini kita masih mendapatkan segolongan orang-orang muslim yang selalu berselisih tentang hukum-hukum ijtihad ulama-ulama terdahulu. Sesungguhnya Aowllah SWT telah menyiratkan bahwa ketetapan al-Qur’an itu tidak akan menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu setiap perselisihan harus d kembalikan kepada al-Qur’an dan As-Sunnah,
Adapun pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para imam mazhab bukanlah suatu ketetapan yang mutlak untuk dijadikan syariat, karena itu hanya pendapat. Tetapi harus diakui bahwa pendapat mereka sangat membantu kita dalam menjalankan syariat.
Oleh karena itu, berbangga terhadap satu mazhab tanpa menghargai terhadap mazhab yang lain itu tidak dibenarkan oleh para imam mazhab. Maka alangkah baiknya jika perselisihan yang terjadi diantara kita yang hanya berpatokan terhadap satu imam mazhab ditinggalkan. Hal ini untuk menghormati dan menghargai usaha-usaha imam mazhab dalam memberikan jalan kemudahan bagi umat islam. Karena para imam mazhab juga seantiasa berpedoman terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang sama.
Para imam mazhab saja tidak membanggakan atas pendapat-pendapat mereka. Bahkan mereka berpesan untuk tidak terdoktrin dalam salah satu mazhab dan menganggap bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar. Dibawah ini adalah pesan-pesan Para Imam Mazhab ;
Pesan al-Syafi‘e
1. Apabila aku menguraikan pendapatku atau merumuskan sesuatu prinsip dan pada waktu yang sama terdapat hadits yang shohih dari Nabi shallaowllahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan sebaliknya maka pendapat yang betul itu adalah apa yang Nabi katakan dan yang demikian juga akan menjadi pendapat aku.
2. Setiap hadits yang shohih dari Rosuluwllah shollaowllahu ‘alaihi wasallam adalah merupakan ajaran aku juga walaupun engkau tidak pernah mendengarnya dari aku sebelumnya
3. Apabila seorang ahli hadits mendapatkan sebuah riwayat yang shohih dari Nabi shollaowllahu ‘alaihi wasallam dan riwayat itu bertentangan dengan ajaranku maka aku menarik kembali ajaranku, baik ketika aku masih hidup atau aku sudah meninggal dunia nanti.
4. Apabila kamu mendapatkani di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan hadis Rosuluwllah shallaowllahu ‘alaihi wasallam maka berpeganglah kepada Hadits tersebut dan tinggalkanlah apa yang telah aku katakan itu (atau tuliskan).
5. Pertama, sesuatu berita yang bersumber dari Rosuluwllah shallaowllahu ‘alaihi wasallam wajib diterima. Kedua, hadis tersebut wajib diterima jika telah disahkan walaupun tidak terdapat di antara imam-imam sebelum ini yang mengamalkan atau mengajarkan sesuatu hadits tersebut.
6. Seseorang wajib meninggalkan suatu amalan yang bertentangan dengan sunnah. Dan juga dia wajib meninggalkan pendapat yang mengatakan bahwa sunnah hanya boleh dilaksanakan atas suatu berita yang datang menyusul. Dan seseorang itu harus meyakini bahwa sunnah itu tidak boleh dibelakangkan oleh sesuatu apapun yang bertentangan dengannya.
Pesan Abu Hanifah
Apabila aku mengeluarkan sesuatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapat aku itu.
Pesan di atas dtulis oleh al-Syuhnah di dalam kitabnya Syarh al-Hidayah:
Apabila terdapat suatu hadis sahih akan tetapi bertentangan dengan mazhab, maka yang harus dilakukan ialah beramal berdasarkan hadis tersebut. Demikian itu adalah Mazhab Abu Hanifah dan para pengikut mazhab tidaklah keluar dari kedudukannya sebagai pengikut Hanafi dengan mengamalkan hadis tersebut.
Terdapat suatu riwayat yang sahih daripada al-Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa beliau telah berkata “Apabila Hadits itu shohih, itulah mazhab aku.”
Pesan Malik bin Anas
1. Aku hanya manusia biasa yang mungkin saja pendapat aku benar dan mungkin salah. Maka telitilah pendapat yang aku kemukakan. Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur’an dan al-Sunnah maka ambillah, tetapi jika tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, tinggalkanlah.
2. Tidak ada perkataan manusia setelah Nabi yang sama kedudukannya. Perkataan itu bisa diterima ataupun ditolak, kecuali perkataan Nabi shallaowllahu ‘alaihi wasallam.
Pesan Ahmad bin Hanbal
1. Tidak ada perkataan siapapun yang boleh diterima perkataannya atau ditolak kecuali perkataan Nabi shallaowllahu ‘alaihi wasallam.
2. Pendapat al-Awza‘e, Malik dan Abu Hanifah, semuanya adalah pendapat semata. Aku melihat semuanya sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan hanyalah sunnah Nabi shallaowllahu ‘alaihi wasallam.

DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab Fiqh, Rajagrafindo Persada. 2000
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994.
rurisanjaya.wordpress.com/2009/02/.../pesan-para-imam-mazhab

Urgensi Aqidah dari segi kejiwaan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan akidah merupakan asas kepada pembinaan Islam pada diri seseorang. Ia merupakan inti amalan Islam seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akidah menyebabkan amalannya tidak mendapat pengiktirafan Allah swt. Ayat-ayat yang pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw di Makkah menjurus kepada pembinaan akidah. Dengan asas pendidikan dan penghayatan akidah yang kuat dan jelas maka Nabi Muhammad saw telah berjaya melahirkan sahabat-sahabat yang mempunyai daya tahan yang kental dalam mempertahan dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Bilal bin Rabah tidak berganjak imannya walaupun disiksa dan ditindih dengan batu besar di tengah padang pasir yang panas terik. Demikian juga keluarga Amar bin Yasir tetap teguh iman mereka walau berhadapan dengan ancaman maut. Dari sini kita nampak dengan jelas bahwa pendidikan akidah amat penting dalam jiwa setiap insan muslim agar mereka dapat mempertahan iman dan agama Islam lebih-lebih lagi di zaman globalisasi yang penuh dengan cabaran dalam segenap penjuru terutamanya internet dan teknologi maklumat yang berkembang dengan begitu pesat sekali.
Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari
B. Pokok Bahasan
1. Apa Pengertian Akidah?
2. Bagaiman Urgensi Pendidikan Akidah?
3. Bagaimana Pendidikan Akidah dari segi Kejiwaan?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Urgensi Akidah
Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada” yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah yaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermakna kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara’ pula bermakna kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara’ yaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.
Akidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan, “Dia mempunyai akidah yang benar,” berarti akidahnya bebas dari keraguan. Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu. Akidah di dalamnya juga mencakup rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, para malaikat Allah, Rasul-rasul Allah, beriman kepada Hari Akhir dan beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.
Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Swt: “Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)
“ Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu, Jika kamu mempersekutukan (Tuhan) niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’. “ (QS. Az-Zumar: 65)
“ Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. “ (QS. Az-Zumar: 2-3)
Tidaklah perhatian saat itu kecuali pelurusan akidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Selama 13 tahun di Makkah, nabi mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan akidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para nabi dan rasul mereka membawa syari’at masing-masing, sehingga dalam hal ini syari’at dibagi menjadi 2 yaitu : I’tiqadiyah dan amaliyah.
Syari’at i’tiqadiyah memiliki pengertian pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal, seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, misalnya, ber-i’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Sedangkan syari’at amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal, seperti zakat, puasa, dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Syari’at i’tiqadiyah disebut sebagai ashliyah (pokok agama) sedangkan syari’at amaliyah disebut sebagai far’iyah (cabang agama).
B. Pendidikan Akidah dari Segi Kejiwaan
Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Hal itu bisa dijelaskan secara global melalui poin-poin berikut:
1) Ketenangan Jiwa
Manusia beragama akan memperoleh ketenangan dalam akidahnya meskipun berbagai badai peristiwa bergolak di sekitarnya. Akidah akan menjaganya dari kecemasan dan ketegangan, dan menciptakan suasana kejiwaan yang penuh dengan ketenangan dan harapan walaupun ia hidup dalam lingkungan yang tidak tenang dan berbahaya.
Sejarah Islam menjelaskan kepada kita berbagai contoh yang tidak terhitung jumlahnya tentang hal itu. Muslimin dahulu hidup dalam kondisi yang sangat sulit, di mana peperangan yang dipicu oleh kaum Quraisy dan sekutunya, embargo ekonomi, keterasingan sosial serta tekanan moral yang berkelanjutan. Namum karena mereka memiliki spiritual yang tinggi, hal itu mampu mendorong mereka untuk berjuang menghadapi itu semua dengan jiwa yang tenang guna memperoleh pahala dari Allah dan rahmat-Nya.
Dari Anas bahwasanya Rasulullah saww di hari Badr bersabda: “Bangkitlah kalian untuk memperoleh surga yang lebarnya langit dan bumi”. “Wahai Rasulullah, surga lebarnya langit dan bumi?”, tanya ‘Umair bin Hamam Al-Anshari keheran-heranan. “Ya”, jawab beliau pendek. ‘Umair bekata lagi: “Alangkah bagusnya, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya harus menjadi penghuni surga itu”. Rasulullah saww bersabda: “Engaku termasuk penghuni surga itu”. Kemudian Umair mengeluarkan beberapa kurma dari wadahnya dan memakannya seraya berkata: “Jika aku diam di sini untuk menghabiskan semua kurma ini, sungguh aku akan terlambat memperoleh kehidupan yang panjang dan abadi (surga) itu”. Lalu ia melemparkan kurma tersebut dan berperang hingga syahid.
Lingkungan yang didiami mujahid ini adalah lingkungan berbahaya. Ia hidup dalam situasi perang Badr. Namun jiwanya bahagia, karena ia mengharapkan surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Maka, seorang muslim dengan keyakinannya kepada Allah, akan merasa rela dan tentram terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan menempatkan dirinya sesuai dengan ketentuan dan takdir Allah. Segala musibah yang menimpanya sekarang akan berubah menjadi kenikmatan dan berkah. Dan Alquran selalu menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa setiap mukmin. Allah SWT berfirman:
(Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang ia berguna kepadamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu sedang ia merusakmu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui).
Hadis-hadis Ahlul Bayt a.s. juga berusaha untuk menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa mukminin. Amirul Mukminin a.s. mengirim surat kepada Ibnu Abbas. Ia berkata mengenai surat itu: “Ucapan yang bermanfaat bagiku setelah sabda Rasulullah saww adalah ucapan ini”. Beliau menulis: “Amma ba’d. Seseorang terkadang merasa gembira ketika ia meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan berpisah darinya dan terkadang ia merasa sedih karena ia tidak dapat meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan dapat meraihnya lagi.
Maka, berbahagialah ketika kamu dapat memperoleh sesuatu yang dapat kamu manfaatkan untuk akhiratmu dan bersedihlah ketika kamu tidak dapat meraihnya untuk akhiratmu”.
Benar, bahwa manusia biasa selalu diliputi oleh rasa putus asa ketika tertimpa musibah. Sebagaimana Alquran dengan nyata menjelaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan jika ia ditimpa malapetaka, ia menjadi putus asa lagi putus harapan”.
Dan firman-Nya yang lain: “Dan jika Kami menganugerahkan suatu rahmat kepada manusia lalu rahmat itu Kami cabut darinya, niscaya ia menjadi putus asa lagi tak berterima kasih”.
Namun seorang mukmin yang dipersenjatai dengan akidah, ia akan tenang dalam menghadapi segala kesulitan, sabar ketika terkena malapetaka dan keraguan tidak akan merasuki jiwanya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tidak berputus dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.
Imam Ali a.s. menyifati para wali Allah dengan perkataannya:
(Apabila mereka ditimpa musibah, niscaya mereka akan meminta pertolongan kepada-Mu, karena mereka tahu bahwa kendali semua urusan berada di tangan-Mu dan bersumber dari Qadla`-Mu).
Dengan memperhatikan hal di atas, disaat Amirul Mukminin a.s. dalam wasiat tersebut menekankan untuk tidak putus asa dari rahmat Allah, beliau dalam doktrin-doktrin pendidikannya juga menegaskan untuk tidak berharap kepada orang lain. Hal ini ditujukan supaya manusia hanya bersandar kepada Tuhannya dan tidak menjadi beban orang lain.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas beliau berkata:
(Kekayaan yang terbesar adalah tidak mengharapkan sesuatu yang berada di tangan manusia).

2) Metode Akidah dalam Menghadapi Malapetaka
Melalui konteks ini, akidah ingin meringankan tekanan dan krisis kejiwaan yang dialami oleh mereka yang berakidah. Maka dengan metode-metode di bawah ini diharapkan malapetaka-malapetaka yang menimpa manusia tidak memiliki pengaruh yang serius:
1. Menjelaskan kriteria kehidupan dunia yang ditempati oleh manusia ini.
Mengetahui kriteria kehidupan dunia akan mempengaruhinya dalam perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, akidah berkepentingan untuk menjelaskan kriteria dunia dan mengajaknya untuk ber-zuhud terhadapnya.
Imam Ali a.s. berkata:
(Wahai manusia, lihatlah dunia ini sebagaimana orang-orang zahid yang berpaling dari dunia melihatnya. Karena dunia ini sebentar lagi akan membinasakan orang-orang yang tinggal di dalamnya dengan tenang dan menyedihkan orang-orang yang hidup mewah dan penuh kedamaian. Kebahagian dunia selalu dihantui oleh kesedihan ...).
Beliau juga berkata: “Saya peringatkan kepadamu akan dunia, karena dunia itu adalah tempat berlalu dan kesengsaraan. Penghuninya akan pergi meninggalkannya. Dunia dan penghuninya akan selalu bergoncang (tidak tenang) laksana perahu ...”.
Maka, sangat wajar jika akidah mewanti-wanti para pengikutnya untuk tidak terjerat oleh jebakan-jebakan dunia yang fana. Karena hal itu akan menimbulkan efek-efek negatif yang terefeksi dalam jiwa mereka. ‘Alqamah meriwayatkan dari Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saww tidur di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Ketika beliau bangun, tikar tersebut berbekas di punggungnya. Kami berkata: `Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami buatkan untuk anda kasur yang empuk?` Beliau menjawab: `Apakah gerangan kebutuhanku dengan dunia? Aku di dunia ini bak seorang pengembara yang berlindung di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, dan kemudian ia akan pergi meninggalkannya`”.
Imam Ali a.s. berkata: “Aku peringatkan kalian akan dunia, karena dunia adalah tempat tinggal pinjaman dan bukan tempat berpesta foya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Dunia telah dihiasi dengan segala corak tipu daya dan akan memperdayai (manusia) dengan hiasannya. Dunia akan menghinakan pemiliknya. Telah bercampur aduk halalnya dunia dengan haramnya, kebaikannya dengan keburukannya, kehidupannya dengan kematiannya dan kemanisannya dengan kepahitannya. Allah tidak memilih dunia untuk dianugerahkan kepada para wali-Nya dan Ia tidak segan-segan untuk memberikannya kepada musuh-musuh-Nya. Harta dunia akan sirna, kesengsaraannya besar, mengumpulkannya tidak akan berguna, kerajaannya akan terampas dan orang yang memakmurkannya akan binasa. Maka, apa manfaat sebuah rumah yang akan hancur laksana hancurnya bangunan, umur akan musnah di dalamnya bagaikan musnahnya sebungkus bekal dan masa akan sirna bak sirnanya sebuah perjalanan ...”.
Syaikh Ad-Dailami berkata: “Tidak ada sorangpun yang mampu menyingkap kriteria dunia seperti Imam Ali a.s. Beliau berkata: `Dunia adalah rumah yang diselimuti oleh bencana dan terkenal dengan tipu dayanya. Kondisinya tidak tetap dan penghuninya tidak selamat. Kondisi dunia berbeda-beda dan datang silih berganti. Kehidupan di dunia ini tercela dan ketentraman di dalamnya akan sirna. Penduduk dunia ini laksana papan tembak. Dunia akan melempari mereka dengan busur panah dan membinasakan mereka dengan jeritan kematiannya ...`”.
Dan sangat wajar pula jika pemahaman yang dalam akan dunia itu akan mewujudkan sebuah kewaspadaan penuh terhadapnya. Sebagai bukti atas kebenaran klaim di atas adalah realita berikut ini. Muawiyah pernah bertanya kepada Dlirar bin Dlamirah Asy-Syaibani tentang Amirul Mukminin, Ali a.s. Dia berkata: “Aku bersaksi bahwa aku pernah melihat beliau di suatu malam yang gelap gulita berdiri di dalam mihrab dengan menggenggam jenggot beliau. Beliau mengeliat-geliat bagaikan orang yang sakit parah dan menangis laksana tangisan orang yang sangat sedih. Beliau berkata: `Wahai dunia, Wahai dunia, berpalinglah dariku! Apakah engkau merayuku atau merindukanku? Kesempatanmu untuk merayuku tidak akan pernah tiba. Tidak mungkin hal itu. Rayulah selainku. Aku tidak akan butuh kepadamu. Aku telah menceraikanmu tiga kali yang tidak ada kata kembali setelah itu. Kehidupanmu sangat pendek, nilaimu sangat sedikit dan angan-anganmu sangat hina. Oh, betapa sedikitnya bekal (yang aku punya), betapa panjangnya jalan (yang harus aku tempuh), dan betapa jauh dan berbahayanya perjalanan ini`”.
Dan di antara bukti-bukti lain atas hal itu, kita dapati akidah menyingkap kriteria dunia dan akibat orang-orang yang tertipu olehnya atau terjerumus ke dalam lumpur keindahannya, dan menjelaskan dangkalnya pandangan orang yang mencari kesenangan sempurna di dunia ini.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata kepada para sahabat: “Janganlah kalian bercita-cita untuk menggapai sesuatu yang mustahil”. Mereka bertanya: “Siapakah yang menginginkan hal itu ?” Beliau menjawab: “Bukankah kalian menginginkan kesenangan dunia?” “Ya”, jawab mereka pendek. Beliau bersabda : “Kesenangan di dunia bagi seorang mukmin adalah mustahil”.
2. Menjelaskan bahwa semua malapetaka memiliki pahala.
Hal ini akan memperingan beban seseorang yang terkena musibah sehingga ia akan menghadapinya dengan hati yang teguh dan jiwa yang tenang untuk memperoleh pahala dan rahmat Allah. Oleh karena itu, musibah tersebut tidak akan meninggalkan pengaruh yang berarti dalam jiwanya melebihi bekas yang ditinggalkan gelembung air di atas permukaan air.
Rasulullah saww bersabda:
(Musibah adalah kunci pahala).
Seseorang menulis surat kepada Abi Ja’far a.s. mengadu kematian putranya. Beliau menjawab surat itu: “Apakah kau tidak tahu bahwa Allah akan mencabut harta seorang mukmin, anak dan jiwanya untuk memberikan pahala kepadanya karena itu?”
3. Memfokuskan perhatian muslimin terhadap musibah yang terbesar, yaitu musibah yang menimpa agamanya.
Hal ini akan memperkecil efek musibah dunia dalam jiwanya. Ini adalah salah satu metode akidah untuk meringankan tekanan kejiwaan seseorang ketika menghadapi musibah duniawi. Metode ini menempati posisi yang utama dalam metode-metode pendidikan Ahlul Bayt a.s.
Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq a.s. melihat seseorang bersedih hati karena kematian anaknya. Beliau berkata kepadanya: “Wahai saudaraku, engkau bersedih hati karena musibah kecil (yang menimpamu) dan engkau lalai akan musibah besar? Seandainya engkau telah siap untuk menerima kematian anakmu sejak dulu, niscaya engkau tidak bersedih hati separah ini. Sebenarnya kesedihan yang disebabkan oleh keteledoranmu untuk mempersiapkan diri menghadapi sebuah musibah adalah lebih parah dari kesedihanmu dikarenakan oleh kematian anakmu ini”.
Abu Abdillah a.s. ketika tertimpa musibah berkata:
(Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan musibahku menimpa agamaku. Segala puji bagi Allah yang apabila berkehendak, Ia akan menjadikan musibahku lebih besar dari yang sudah ada. Dan segala puji bagi Allah atas segala sesuatu yang jika Ia menghendaki pasti akan terjadi.
Ringkasnya, akidah dapat membentuk jiwa-jiwa yang kuat dan tenang dalam menghadapi badai peristiwa dengan hati yang teguh menerima ketentuan Allah dan qadar-Nya. Di samping itu, akidah juga menentukan garis perjalanan kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang tidak berakidah bagaikan perahu tanpa kompas yang akibatnya ia akan menabrak batu-batu karang.
3) Membebaskan Jiwa dari Rasa Takut
Tidak syak lagi bahwa ketakutan selalu merintangi segala aktivitas seseorang dan melumpuhkan daya berpikir dan jasmaninya. Dahulu kala, manusia Jahiliyah selalu takut kepada saudara sesamanya dan segala tipu dayanya. Takut terhadap lingkungan yang mengitarinya dan bencananya. Takut terhadap kematian yang tiada jalan untuk menolaknya. Takut akan kefakiran dan kelaparan, penyakit dan segala penderitaan. Akidah mampu memperingan perasaan takut yang melumpuhkan daya manusia untuk bergerak dan berproduksi, dan menjadikannya selalu sedih dan cemas itu.
4) Penyakit dapat Menghapus Dosa dan Mendatangkan Pahala
Akidah dapat mengurangi ketakutan manusia terhadap penyakit dengan menegaskan bahwa setiap badan pasti akan mengalami sakit.
Imam Ali a.s. berkata:
(Tidak sepatutnya bagi seorang hamba terlalu percaya kepada dua hal: kesehatan dan kekayaan. (Karena) di saat engkau melihatnya sehat, mungkin tiba-tiba ia sakit dan di saat engkau melihatnya kaya, mungkin tiba-tiba ia fakir).
Akidah juga menegaskan bahwa penyakit dapat menghilangkan dosa. Imam Sajjad a.s. berkata:
(Seorang mukmin ketika terserang penyakit panas satu kali, dosa-dosanya akan rontok darinya laksana rontoknya dedaunan yang kering).
Abu Abdillah a.s. berkata:
(Sakit kepala satu malam akan membasmi setiap dosa, kecuali dosa besar).
Di samping segala keistimewaan penyakit yang telah disebutkan dalam hadis-hadis di atas, penyakit juga mendatangkan pahal yang besar bagi yang menderitanya. Hal ini dapat membantunya untuk menghadapi penyakit tersebut dengan tulus hati.
Berkenaan dengan hal di atas Rasulullah saww bersabda:
(Aku heran terhadap seorang mukmin yang mengaduh karena sakit. Seandainya ia tahu tentang pahala yang tersimpan dalam sebuah penyakit, niscaya ia mengharapkan untuk selalu sakit hingga ia berjumpa dengan Tuhannya).
Imam Ridha a.s. berkata:
(Penyakit bagi orang mu’min adalah penyucian dan rahmat, sedangkan bagi orang kafir adalah siksaan dan laknat. Seorang mukmin akan selalu ditimpa penyakit sehingga dosa-dosanya sirna).[183]
Kesimpulannya, Allah tidak menciptakan penyakit dengan sia-sia. Penyakit adalah satu sarana untuk menguji manusia demi mengetahui kesabarannya terhadap segala bencana. Oleh karena itu, Allah menguji para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan penyakit.
Nabi Ayyub a.s. - seperti yang telah kita ketahui bersama - mengalami penyakit di sekujur tubuhnya. Ibnul Atsir Ad-Dimasyqi menulis: “Tidak satupun anggota tubuhnya yang selamat kecuali hati dan lidahnya. Ia selalu berzikir kepada Allah dengan hati dan lidah itu. Meskipun demikian, ia sabar, tabah dan selalu mengingat Allah dalam setiap kesempatan; pagi, siang, sore dan malam. Penyakitnya berlangsung lama sehingga teman dan para sahabatnya menjauh darinya. Ia diusir dari negerinya, dan masyarakatnya tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Tidak seorang pun yang berbelas kasihan kepadanya, kecuali istrinya yang tahu balas budi terhadap segala kebaikannya di masa lalu. Semua itu hanya memperbesar kesabaran, ketabahan dan puji syukurnya (kepada Allah). Kesabaran Ayyub as ini telah menjadi peribahasa di kalangan masyarakat dunia”.
Dan hasil dari kesabaran dan ketabahannya itu, Allah mengembalikan semua kemuliaan dan kejayaan yang selama ini ia punyai kepadanya.
Akidah, di samping memerintahkan muslimin untuk bersabar menghadapi segala bentuk penyakit, ia juga menasehatinya untuk tidak mengeluh karena penyakit itu. Karena mengeluh itu berarti menuduh Allah atas segala qadla`-Nya. Begitu juga, mengaduh karena penyakit itu dapat merendahkan martabat manusia di mata manusia lain, dan ia akan dicela dan diejek karenanya.
Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:
(Dahulu kala aku mempunyai saudara yang agung di mataku karena remehnya dunia di matanya. Ia tidak pernah mengeluh tentang penyakit yang dideritanya kecuali ketika ia sembuh).
Perlu diingat, ketika akidah ingin membasmi rasa takut dari diri manusia, ia juga menanamkan rasa takut kepada Allah semata, memperingatkannya untuk tidak bermaksiat kepada-Nya dan mengingatkan kepadanya siksa-Nya yang pedih. Karena rasa takut kepada Allah itu adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari segala rasa takut.
Alquran di sejumlah ayat menganjurkan manusia untuk selalu takut kepada Allah SWT. Allah berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku”.
Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.
Rasulullah saww bersabda:
(Allah tidak akan menguasakan atas Bani Adam kecuali orang yang mereka takuti. Seandainya Bani Adam tidak takut kecuali kepada-Nya, Ia tidak akan menguasakan orang lain atas mereka).
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
(Beruntunglah orang yang lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada manusia).
Tentu saja takut kepada Allah ini memiliki efek pendidikan yang sangat penting bagi umat manusia. Berkenaan dengan hal ini Imam Shadiq a.s. berkata:
(Barang siapa yang mengenal Allah, maka ia akan takut kepada-Nya, dan barang siapa yang takut kepada Allah, ia akan enggan kepada dunia).
Di samping itu, rasa takut kepada Allah itu juga mempunyai efek-efek sosial yang dapat mendorong setiap individu untuk membantu orang lain.
Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami”.
Kesimpulannya, akidah telah mampu membentuk jiwa yang shalih dan membuka cakrawala luas baginya dengan jalan membebaskannya dari segala rasa takut. Begitu juga akidah telah mampu menghubungkannya dengan Penciptanya, mengingatkannya akan segala nikmat-Nya dan mengingatkannya akan siksa-Nya yang pedih.
5) Mengenal Diri (Ma’rifatun Nafs)
Di antara sumbangsih akidah adalah ia mendorong insan muslim untuk mengenal dirinya. Karena tidak mungkin baginya untuk mengangkat dirinya ke puncak piramida kesempurnaan kecuali dengan mengenal kriteria dirinya. Pengenalan ini adalah langkah pertama untuk menguasai jiwa dan mengekang hawa nafsunya.
Imam Al-Baqir a.s. berkataka: “Tiada pengetahuan yang lebih mulia dari pengenalanmu terhadap dirimu”.
Ada hubungan yang kuat antara mengenal Allah dan mengenal diri. Melalui pengenalan terhadap diri, kriteria dan kemampuannya, manusia dapat mengenal Penciptanya dan mengagungkan kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Dan sebaliknya, melupakan Allah, menyebabkan manusia lupa terhadap dirinya.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”.
C. Peranan Akidah dalam Mengenalkan Manusia akan Dirinya
Tidak diragukan lagi bahwa akidah - melalui sumber-sumber rujukan pengetahuannya - memiliki peranan besar dalam menyingkap kriteria diri (jiwa) manusia, dan merinci secara detail penyakit-penyakitnya dan efek-efek yang muncul dari penyakit-penyakit itu.
Alquran mengakui bahwa jiwa itu cenderung mengajak manusia kepada kejahatan.
Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat olehTuhanku”.
Alquran juga mengakui bahwa jiwa manusia itu cenderung kikir.
Allah SWT berfirman: “Dan jiwa manusia itu adalah kikir”.
Dan di ayat yang lain Ia berfirman: “Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung”.
Terdapat beberapa hadis yang menyoroti kriteria jiwa dan mengutarakan metode pengobatan bagi penyakit-penyakitnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah surat Imam Ali a.s. kepada Malik Al-Asytar An-Nakhai ketika beliau menobatkannya sebagai gubernur di Mesir: “... Ia (Ali) memerintahkannya (Malik Al-Asytar) untuk mengekang dirinya dari hawa nafsu. Karena jiwa itu cenderung mengajak kepada kejelekan kecuali yang dirahmati oleh Allah ..”.
Beliau juga pernah berkata dalam sebuah khotbahnya: “Kami memohon pertolongan-Nya atas jiwa yang sangat lambat untuk mengerjakan segala yang diperintahkan kepadanya ini dan cepat untuk mengerjakan segala yang dilarang ...”.
Dalam kesempatan yang lain Beliau juga berkata: “Jiwa diciptakan untuk berperilaku jelek, sedang hamba diperintahkan untuk selalu berperangai mulia. Nafsu dengan wataknya selalu berjalan dalam penyimpangan dan seorang hamba selalu berusaha menolak tuntutan-tuntutan jeleknya. Maka ketika ia melepaskan tali kendali jiwanya, ia telah ikut serta dalam merusakkannya. Dan barang siapa yang membantu jiwanya dalam memenuhi tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah ikut serta dalam membinasakan dirinya ...”.
Di sini perlu juga dijelaskan bahwa penyakit-penyakit yang menimpa jiwa manusia jika tidak diobati, hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat jelek dan berbahaya. Sebagi bukti atas hal itu, fitnah besar yang pernah menimpa muslimin di Saqifah memiliki latar belakang penyakit jiwa. Amirul Mukminin a.s. ketika ditanya oleh sebagian sahabat beliau: “Bagaimana kaum anda menyingkirkan anda dari kedudukan itu (khilafah) sedangkan anda lebih pantas atas kedudukan itu?”, berkata: “Adapun kesewenang-wenangan mereka terhadap kami dengan merampas kedudukan ini sedangkan keturunan kami lebih mulia (dari keturunan mereka) dan kami lebih dekat dengan Rasulullah saww, hal itu pengaruh ketamakan dan keengganan mereka. Dan hakam adalah Allah”.
Dari ucapan beliau itu dapat kita ketahui bahwa kerakusan dan ketamakan yang tersimpan dalam jiwa sebagian para sahabat adalah faktor utama penyimpangan terbesar yang pernah dialami oleh sejarah Islam sesaat setelah meninggalnya Rasulullah saww. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bayt a.s. dengan kema’shuman mereka masih sering memohon perlindungan kepada Allah supaya menjaga mereka dari penyakit jiwa yang sangat berbahaya ini. Al-Fadhl bin Abi Qurrah berkata: “Saya melihat Abu Abdillah a.s. berthawaf dari permulaan malam hingga pagi. Ketika Thawaf beliau selalu berdoa:
(Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran dan ketamakan jiwaku). Aku bertanya: `Wahai junjunganku, aku tidak mendengar anda berdoa dengan selain doa ini?` Beliau berkata: `Penyakit jiwa apakah yang lebih berbahaya dari penyakit tamak dan kikir? Allah berfirman: `Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung`”.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan:
1. Perkataan akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu "aqada yang bererti ikatan atau simpulan. Perkataan ini juga digunakan pada sesuatu yang maknawi seperti akad nikah dan akad jual beli. Dari ikatan atau simpulan yang maknawi ini maka lahirlah akidah iaitu ikatan atau simpulan khusus dalam kepercayaan. Sementara dari segi istilah, akidah bermaksud kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang sehingga tidak mungkin tercerai atau terurai. Akidah menurut istilah syara" pula bermaksud kepercayaan atau keimanan kepada hakikat-hakikat atau nilai-nilai yang mutlak, yang tetap dan kekal, yang pasti dan hakiki, yang kudus dan suci seperti yang diwajibkan oleh syara" iaitu beriman kepada Allah swt, rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan perkara-perkara ghaibiyyat.
2. Akidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala, “ Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (QS. Al-Kahfi: 110)
3. Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.

DAFTAR FUSTAKA
Jalaluddin, (2007). Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja wali pers.
Ulwan, Nasih, (1995). Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970)
http://hikmah.sitesled.com
http://beranda.blogsome.com
http://belajarislam.com
http://google.com
http://indoskripsi.com

Faktor2 Belajar dan Gaya Belajar

BAB I
PENDAHULUAN


Prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang dicapai siswa pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor teersebut. Oleh karena itu, pengenalan guru terhadap faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang seoptimal mungkinsesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Dalam makalah ini selain membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa juga membicarakan tentang upaya mengoptimalisasikan kegiatan belajar-mengajar. Untuk mengupayakan pengoptimalisasian kegiatan belajar-mengajar perlu dilakukan sejak perencanaan hingga evaluasi belajar-mengajar. Untuk itu diperlukan adanya kemauan dan kemampuan guru dalam mengupayakan optimalisasi kegiatan belajar-mengajar. Tanpa didasari kemauan dan kemampuan ini upaya apapun yang dilakukannya tak akan memperoleh hasil-hasil belajar-mengajar sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan instruksional.
Adapun bentuk pendekatan belajar-mengajar yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu strategi belajar tuntas, mengenal model atau gaya belajar siswa dan strategi pembelajaran.


BAB II
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HAL BELAJAR


A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Siswa
Dari sekian banyak faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Faktor-faktor stimuli belajar.
2. Faktor-faktor metode belajar.
3. Faktor-faktor individual.

1. Faktor-faktor Stimuli Belajar
Yang dimaksud stimuli belajar disini yaitu segala hal di luar individu yang merangsang individu itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini mencakup materiil, penegasan, serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar (Drs. Wasty Soemanto, M.Pd. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin pendidikan. Cet 5. 2006: 113). Berikut ini dikemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan faktor-faktor stimuli belajar.

a. Panjangnya Bahan Pelajaran
Panjangnya bahan pelajaran berhubungan dengan jumlah bahan pelajaran. Semakin panjang bahan pelajaran, semakin panjang pula waktu yang diperlukan oleh individu untuk mempelajarinya. Bahan yang terlau panjang atau terlalu banyak dapat menyebabkan kesulitan individu dalam belajar. Kesulitan belajar individu itu tidak semata-mata karena panjangnya waktu untuk belajar, melainkan lebih berhubungan dengan faktor kelelahan serta kejemuan si pelajar dalam menghadapi atau mengerjakan bahan yang banyak itu.
Dengan bahan yang terlalu panjang atau banyak, hal ini membutuhkan waktu yang panjang pula dalam mempelajarinya. Panjangnya waktu belajar juga dapat menimbulkan beberapa “interferensi” atas bagian-bagian materi dipelajari. Interferensi dapat diartikan sebagai gangguan kesan ingatan akibat terjadinya pertukaran reproduksi antara kesan lama dengan kesan baru. Kedua kesan itu muncul bertukaran sehingga terjadi kesalahan maksud yang tidak disadari.

b. Kesulitan Bahan Pelajaran
Tiap-tiap bahan pelajaran mengandung tingkat kesulitan yang berbeda. Tingkat kesulitan bahan pelajaran mempengaruhi kecepatan pelajar. Makin sulit suatu bahan pelajaran, semakin lambatlah orang mempelajarinya. Sebaliknya, semakin mudah bahan pelajaran, makin cepatlah orang dalam mempelajarinya. Bahan yang sulit memerlukan aktivitas belajar yang lebih intensif, sedangkan bahan yang sederhana mengurangi intensitas belajar seseorang.

c. Berartinya Bahan Pelajaran
Belajar memerlukan modal pengalaman yang diperoleh dari belajar diwaktu sebelumnya. Modal pengalaman itu dapat berupa penguasaan bahasa, pengetahuan, dan prinsip-prinsip. Modal pengalaman ini menentukan keberartian dari bahan yang akan dipelajari diwaktu sekarang. Bahan yang berarti yang dapat dikenali. Bahan yang berarti memungkinkan individu untuk belajar, karena individu dapat mengenalnya. Bahan yang tanpa arti sukar dikenal, akibatnya tak ada pengertian individu terhadap bahan itu.

d. Berat-Ringannya Tugas
Mengenai berat atau ringannya suatu tugas, hal ini erat hubungannya dengan tingkat kemampuan individu. Tugas yang sama, kesukarannya berbeda bagi masing-masing individu. Hal ini disebabkan karena kapasitas intelektual serta pengalaman mereka tidak sama. Boleh jadi pula, berat-ringannya suatu tugas berhubungan dengan usia individu. Ini berarti, bahwa kematangan individu ikut menjadi indikator atas berat atau ringannya tugas bagi individu yang bersangkutan.
Dapat dibuktikan, bahwa tugas-tugas yang terlalu ringan atau mudah adalah mengurangi tantangan belajar, sedangkan tugas-tugas yang terlalu berat atau sukar membuat individu kapok (jera) untuk belajar.

e. Suasana Lingkungan Eksternal
Suasana lingkungan eksternal menyangkut banyak hal, antara lain: cuaca (suhu udara, mendung, hujan, kelembaban), waktu (pagi, siang, sore, petang, malam), kondisi tempat (kebersihan, letak sekolah, pengaturan fisik kelas, ketenangan, kegaduhan), penerangan (berlampu, bersinar matahari, gelap, remang-remang), dan sebagainya. Faktor-faktor ini mempengaruhi sikap dan reaksi individu dalam aktivitas belajarnya, sebab individu yang belajar adalah interaksi dengan lingkungannya.

2. Faktor-Faktor Metode Belajar
Metode mengajar yang dipakai oleh guru sangat mempengaruhi metode belajar yang dipakai oleh si pelajar. Dengan perkataan lain, metode yang dipakai oleh guru menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar. Faktor-faktor metode belajar menyangkut hal-hal berikkut:

a. Kegiatan Berlatih atau Praktek
Seperti halnya pada bidang medis, kegiatan berlatih dapat diberikan dalam dosis besar ataupun kecil. Berlatih dapat diberikan secara marathon (non stop) atau secara terdistribusi dengan selingan waktu-waktu istirahat. Latihan yang diberikan secara marathon dapat melelahkan dan membosankan, sedangkan latihan yang terdistribusi menjamin terpeliharanya stamina dan kegairahan belajar.
Jam pelajaran atau latihan yang terlalu panjang adalah kurang efektif. Semakin pendek-pendek distribusi waktu untuk bekerja atau berlatih, semakin efektiflah pekerjaan atau latihan itu. Latihan atau kerja memerlukan waktu istirahat. Lamanya istirahat tergantung kepada jenis tugas atau keterampilan yang dipelajari, atau pada lamanya periode waktu pelaksanaan seluruh kegiatan.
Kegiatan berlatih secara marathon baru dimungkinkan, apabila tugas mudah dikenal, tugas mudah dilakukan, materiil pernah dipelajari sebelumnya, kegiatan memerlukan pemanasan terus-menerus.

b. Overlearning dan Drill
Untuk kegiatan yang bersifat abstrak misalnya menghapal atau mengingat, maka overlearning sangat diperlukan. Overlearning dilakukan untuk mengurangi kelupaan dalam mengingat keterampilan-keterampilan yang pernah dipelajari tetapi dalam sementara waktu tidak diprakktekkan. Overlearning yang terlalu lama menjadi kurang efektif bagi kegiatan praktek.
Apabila “overlearning” berlaku bagi latihan keterampilan motorik seperti main piano atau menjahit, maka “drill” berlaku bagi kegiatan berlatih abstraksi misalnya berhitung. Mekanisme “drill” adalah tidak berbeda dengan “overlearning”. Baik “drill” maupun “overlearning” berguna untuk memantapkan reaksi dalam belajar.

c. Resitasi Selama Belajar
Kombinasi kegiatan membaca dengan resitasi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan membaca itu sendiri, maupun untuk menghapalkan bahan pelajaran. Dalam praktek, setelah diadakan kegiatan membaca atau penyajian materi, kemudian si pelajar berusaha untuk menghapalnya tanpa melihat bacaannya. Jika ia telah menguasai suatu bagian, dapat melanjutkan ke bagian selanjutnya atau seterusnya. Resitasi lebih cocok untuk diterapkan pada belajar membaca atau belajar hapalan.

d. Pengenalan TentangHasil-Hasil Belajar
Dalam proses belajar, individu sering mengabaikan tentang perkembangan hasil belajar selama dalam belajarnya. Penelitian menunjukkan, bahwa pengenalan seseorang terhadap hasil atau kemajuan belajarnya adalah penting, karena dengan mengetahui hasil-hasil yang telah dicapai, seseorang akan lebih berusaha meningkatkan hasil belajar selanjutnya.

e. Belajar Dengan Keseluruhan dan Dengan Bagian-Bagian
Menurut beberapa penelitian, perbedaan efektivitas antara belajar dengan keseluruhan dengan belajar dengan bagian-bagian adalah belum ditemukan. Hanya apabila kedua prosedur itu dipakai secara simultan, ternyata belajar mulai dari keseluruhan ke bagian-bagian adalah lebih mengutungkan daripada belajar mulai dari bagian-bagian. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan mulai dari keseluruhan, individu menemukan set yang tepat untuk belajar. Kelemahan dari metode keseluruhan adalah membutuhkan banyak waktu dan pemikiran sebelum belajar yang sesungguhnya berlangsung.

f. Penggunaan Modalitas Indra
Modalitas indra yang dipakai masing-masing individu dalam belajar tidak sama. Sehubungan dengan itu, ada tiga impresi yang penting dalam belajar, yaitu: oral, visual, dan kinestetik. Ada orang yang lebih berhasil belajarnya dengan menekankan impresi oral. Dalam belajar, ia perlu membaca atau mengucapkan materi pelajaran dengan nyaring atau mendengarkan bacaan atau ucapan orang lain. Ada yang belajar dengan menekankan impresi visual, dimana dalam belajarnya ia harus lebih banyak mengguanakan fungsi indra pengelihatan. Begitu pula ada yang belajar dengan menekankan diri pada impresi kinestetik dengan banyak menggunakan fungsi motorik. Di samping itu, ada pula yang belajar dengan menggunakan kombinasi impresi indra.

g. Penggunaan Dalam Belajar
Arah perhatian seseorang sangat penting bagi belajarnya. Belajar tanpa set adalah kurang efektif.

h. Bimbingan Dalam Belajar
Bimbingan yang terlalu banyak diberikan oleh guru atau orang lain cenderung membuat si pelajar menjadi tergantung. Bimbingan dapat diberikan dalam batas-batas yang diperlukan oleh individu. Hal yang penting yaitu perlunya pemberian modal kecakapan pada individu sehingga yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan dengan sedikit saja bantuan dari pihak lain.

i. Kondisi-Kondisi Insentif
Intensif adalah berbeda dengan motivasi. Motivasi berhubungan dengan penumbuhan kondisi internal berupa motif-motif yang merupakan dorongan internal yang menyebabkan individu berusaha mencapai tujuan tertentu.
Insentif adalah objek atau situasi eksternal yang dapat memenuhi motif individu. Insentif adalah bukan ttujuan , melainkan alat untuk mencapai tujuan. Insentif-insentif dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
 Insentif intrinsik; yaitu situasi yang mempunyai hubungan fungsional dengan tugas dan tujuan.
 Insentif ekstrinsik; yaitu objek atau situasi yang tidak mempunyai hubungan dengan fungsional dengan tugas.

3. Faktor-Faktor Individual
Kecuali faktor-faktor stimuli dan metode belajar, faktor-faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap belajar seseorang. Adapun faktor-faktor individual itu menyangkukt hal-hal berikut:

a. Kematangan
Kematangan dicapai oleh individu dari proses pertumbuhan fisiologisnya. Kematangan terjadi akibat adanya perubahan-perubahan kuantitatif di dalam struktur jasmani dibarengi dengan perubahan-perubahan kualitatif terhadap struktur tersebut. Kematangan memberikan kondisi dimana fungsi-fungsi fisiologis termasuk sistem saraf dan fungsi otak menjadi berkembang. Dengan berkembangnya fungsi otak dan sistem saraf, hal ini akan menumbuhkan kapasitas mental seseorang dan mempengaruhi hal belajar seseorang itu.

b. Faktor Usia Kronologis
pertambahan dalam hal usia selalu dibarengi dengan proses pertumbuhan dan perkembangan. Semakin tua usia individu, semakin meningkat pula kematangan berbagai fungsi fisiologisnya. Usia kronologis merupakan faktor penetu daripada tingkat kemampuan belajar individu.

c. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin
Hingga pada saat ini belum ada petunjuk yang menguatkan tentang adanya perbedaan skill, sikap-sikap, minat, temperamen,bakat, dan pola-pola tingkah laku sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Ada bukti, bahwa perbedaan pola tingkah laku antara laki-laki dan wanita merupakan hasil dari perbedaan tradisi kehidupan, dan bukan semata-mata karena perbedaan jenis kelamin.
Barangkali yang dapat membedakan antara pria dan wanita adalah dalam hal peranan dan perhatiannya terhadap sesuatu pekerjaan, dan inipun merupakan akibat dari pengaruh kultural.

d. Pengalaman Sebelumnya
Lingkungan mempengaruhi perkembangan individu. Lingkungan banyak memberikan pengalaman kepada individu. Pengalaman yang diperoleh oleh individu ikut mempengaruhi hal belajar yang bersangkutan, tterutama pada transfer belajarnya

e. Kapasitas Mental
Dalam tahap perkembangan tertentu, individu mempunyai kapasitas-kapasitas mental yang berkembang akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisiologis pada sistem saraf dan jaringan otak. Kapasitas-kapasitas seseorang dapat diukur dengan tes-tes intelegensi dan tes-tes bakat. Kapasitas adalah potensi untuk mempelajari serta mengembangkan berbagai keterampilan/kecakapan. Akibat dari hereditas dan lingkungan, berkembanglah kapasitas mental individu yang berupa intelegensi. Karena latar belakang hereditas dan lingkungan masing-masing individu berbeda, maka intelegensi masing-masing individu pun bervariasi. Intelegensi seseorang ikut menentukan prestasi belajar seseorang.

f. Kondisi Kesehatan Jasmani dan Rohani
Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang badannya sakit akibat penyakit-penyakit tertentu serta kelelahan tidak akan dapat belajar dengan efektif. Juga gangguan serta cacat mental pada seseorang sangat mempengaruhi hal belajar orang yang bersangkutan. Bagaimana orang dapat belajar dengan baik apabila ia sakit ingatan, sedih, frustasi, atau putus asa?,

g. Motivasi
Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan, motif, dan tujuan, sangat mempengaruhi kegiatan dan hasil belajar. Motivasi adalah penting bagi proses belajar, karena motivasi menggerakkan organisme, mengarahkan tindakan, serta memilih tujuan belajar yang dirasa paling berguna bagi kehidupan individu.


BAB III
GAYA BELAJAR


Gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal (Nasution, 2006:94). Gaya belajar adalah cara-cara setiap murid belajar yang berbeda dengan rekan sebayanya. (Dunn & Dunn, 1978:4). Menurut Dunn And Dunn ada beberapa faktor yang mendukung gaya belajar seseorang, yaitu:

 Lingkungan
 Emosional
 Sosiologis
 FisioLogis
 Psikologis

A. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin. pembelajaran konstruktivitis dalam pengajaran menerapkan metode pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut.
Model pembelajaran kooperatif learning dan interaktif learning adalah model pembelajaran yang terjadi sebagai akibat dari adanya pendekatan pembelajaran yang bersifat kelompok. (Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, 2009: 257).
Dalam melaksanakan proses pembelajaran kooperatif ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu:

 guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memberikan motivasi kepada peserta didik
 menyampaikan informasi kepada peserta didik
 mengelompokkan siswa
 bimbingan kepada kelompok belajar
 Evaluasi
 menyampaikan hasil penilaian kepada masing-masing kelompok
Sementara itu, Arends (2001) mengemukakan empat macam model pembelajaran kooperatif, Yaitu:

1. Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD adalah salah satu model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward. Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.

2. Group Investigation
Group Investigationn merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok.

3. Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks seperti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

4. Penghargaan Kelompok
Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada kelompok yang berhasil memperoleh kenaikan skor dalam tes individu. Kenaikan skor dihitung dari selisih antara skor dasar dengan sekor tes individual. Menghitung skor yang didapat masing-masing kelompok dengan cara menjumlahkan skor yang didapat mahasiswa di dalam kelompok tersebut kemudian dihitung rata-ratanya. Selanjutnya berdasarkan skor rata-rata tersebut ditentukan penghargaan masing-masing kelompok. Misalnya, bagi kelompok yang mendapat rata-rata kenaikan skor sampai dengan 15 mendapat penghargaan sebagai “Good Team”. Kenaikan skor lebih dari 15 hingga 20 mendapat penghargaan “Great Team”. Sedangkan kenaikan skor lebih dari 20 sampai 30 mendapat penghargaan sebagai “Super Team”.


BAB IV
MASTERY LEARNING (BELAJAR TUNTAS), DAN KEMAMPUAN BERPIKIR SERTA STRATEGI PEMBELAJARAN


A. Mastery Learning (belajar tuntas)
Belajar tuntas (mastery learning) adalah taraf pencapaian penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit pelajaran baik secara perseorangan maupun kelompok. Dengan kata lain, apa yang dipelajari siswa dapat dikuasai sepenuhnya. Maksud utama mastery learning adalah memungkinkan 75% sampai 90% siswa untuk mencapai hasil belajar yang sama tingginya dengan kelompok terpandai dalam pengajaran klasikal maksud lain dari mastery learning adalah untuk menigkatkan efisiensi belajar, minat belajar, dan sikap siswa terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. (Drs, Moh. Uzer Usman. Dra. Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, 1993: 96)
Strategi belajar tuntas pada abda ke-20 ini dipelopori oleh antara lain : Carleton Washburne (1922), Morison (1926), BF. Skiner (1954) Carroll (1983), Bloom (1971) dll.
Berdasarkan penemuan, Carroll merumuskan bahwa mastery learning ditentukan oleh variable-variabel sebagai berikut:

1. Aptitude (Bakat)
Bakat ialah sejumlah waktu yang diminta oleh siswa untuk mencapai penguasaan suatu tugas pelajaran. Asumsinya ialah berikan cukup waktu kepada semua siswa, mereka akan mencapai penguasaan semua tugas pelajaran yang diberikan kepadanya (Jhon Carroll, 1963).

2. Perseverance (Ketekunan)
Carroll mendefinisikan ketekkunan sebagai waktu yang diinginkan oleh siswa untuk belajar. Bila siswa membutuhkan sejumlah waktu untuk mempelajari bahan pelajaran tetapi ia hanya mendapat waktu kurang dari yang ia butuhkan, tingkat penguasaan bahan tidak akan mencapai harapan.



3. Ability To Understand Instruction
kemampuan untuk menerima dan memahami pelajaran bertalian erat dengan kemampuan untuk mengerti bahasa lisan dan tulisan

4. Time Allowed For Learning
Alokasi waktu tiap bidang studi telah ditentukan dalam kurikulum, yang tentunya telah disesuaikan dengan kebutuhan waktu belajar siswa dan perkembangan jiwanya. Jadi guru perlu mengantisipasi agar waktu belajar yang terbatas sesuai dengan kebutuhan sehingga waktu belajar untuk mempelajari materi pelajaran bidang studi terrsebut benar-benar efektif.

B. Kemampuan Berpikir
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking).
 Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis.
 Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian.
 Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.

C. Strategi Pengajaran
Kata strategi sama maknanya dengan siasat, kiat atau taktik. Dalam arti umum menurut Gibbs "strategi adalah rencana untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dengan biaya sekecil mungkin". Sedangkan menurut IVOR K. Davies "strategi berarti rencana pokok mengenai pencapaian, beberapa tujuan yang lebih umum".
Strategi pengajaran adalah: siasat/taktik yang harus dipikirkan/direncanakan guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Strategi pengajaran ini akan menampak pada dimensi perencanaan ataupun pelaksanaan pengajaran. Dengan demikian cakupan strategi pengajaran sangat luas meliputi:
 Tik
 Bahan pelajaran
 Kegiatan belajar - mengajar (metode/teknik)
 Media
 Pengelolaan kelas
 Penilaian.

Strategi pembelajaran pada intinya kegiatan yang terencana secara sistematis Yang ditujukan untuk menggerakkan peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Agar kegiatan pembelajaran tersebut berjalan dengan baik, maka seorang guru harus menetapkan hal-hal yang berkaitan tujuan yang diarahkan pada perubahan tingkah laku, pendekatan yang demokratis, terbuka, adil, dan menyenangkan, metode yang dapat menumbuhkan minat, bakat, inisiatif, kreativitas, imajinasi, dan inovasi, serta tolak keberhasilan yang ingin dicapai. Semua komponen yang terkait dengan strategi pembelajaran ini harus direncanakan dengan baik dan matang, yang dibangunberdasarkan teori dan konsep tertentu.


DAFTAR PUSTAKA


Eka Gunawan. Macam-Macam Metode Pembelajaran. http://nilaieka.blogspot.com.
Pembelajaran Kooperatif. http://www.ditnaga-dikti.org
Drs. Wasty Soemanto, M.Pd, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Cet 10. 2006
Drs.Moh. Uzer Usman, Dra. Lilis Setiawaati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. 1993
Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, 2009