Senin, 07 Juni 2010

ADAB KREDITUR DAN DEBITUR

BAB I
MEMENUHI TAGIHAN DENGAN BAIK

1. ADAB-ADAB KREDITUR
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam. Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:
A. Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.
Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta'ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)
Telah dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan. Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: "Nulung tapi mentung." Saudaraku! dalam hukum syari'ah perbuatan "nulung tapi mentung" yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)
Saudaraku, para ulama' tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.

B. Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama', terutama para penganut Mazhab As Syafi'i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
C, Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta'ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah 'Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar. Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta'ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا - قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا - قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه

"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?' 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.' (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: 'Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.' Kemudian Allah berfirman: 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'" (Muttafaqun 'alaih)
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
"Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula." (Qs. Ar Rahman: 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama' terdahulu:
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
"Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan."
2. ADAB-ADAB DEBITUR
Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula. Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:
Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.
Diantara syari'at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap "besar pasak daripada tiang."
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. Al Furqan: 67)
Al Qurtuby Al Maliky berkata: "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha'i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama." Adapun maksud dari: "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama' tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur'an oleh Al Qurtuby 3/452).
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan. Bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama' adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama' salaf menyatakan
:مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
"Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali."
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه
"Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar." (Muttafaqun 'alaih)
Adab kedua: Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.
Syari'at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya. Diantara hal yang dilarang dalam syari'at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya. Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه
"Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya." (Muttafaqun 'alaih)
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري
"Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya." (Riwayat Al Bukhari)

Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya. Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62).
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah." (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani).
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:

1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
"Abu Rafi' radhiallahu 'anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Muttafaqun 'alaih)
3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
"Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk dapat melunasi utang.
Sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta'ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
"Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah."
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
"Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah."
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta'ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:

أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu." Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta'ala.

BAB II
JUAL BELI UNTA

”Jabir r.a. berkata ketika berpergian diastas unta yang sangat lelah payah, tiba-tiba Nabi SAW, berjalan maka dipukul untanya oleh Nabi SAW. Dan didoakan sehingga dapat berlari kencang,, tidak pernah lari sedemikian, kemudian Nabi SAW berkata, jualah kepadaku denga harga satu uqiyah. Aku menjawab, tidak ya Rasulullah. Tetapi Rasul mengulang; julah kepadaku. Maka aku jual unta iru kepada Nabi SAW dengan satu uqiyah, tetapi aku syaratkan untuk aku kendarai hingga sampai ke rumahku. Kemudian setelah sampai ke Madinah, aku bawa unta itu. Maka segera dibayaer tunai harganya. Kemudian Setelah itu, Nabi menyuruh seseorang memanggilku kembali. Lalu nabi SAW bersabda kepadaku; ”aku tidak akan mengambil untamu. Maka bawalah kembali untanu maka itu milikmu (HR. Bukhori dan Muslim)

1. JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
A. Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang. Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma"ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma" kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut "Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya". Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu", bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.

Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.

Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:

1. Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
2. Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: "Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda." Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan dengan tanggungan.

DAFTAR PUSTAKA


Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. Artikel www.pengusahamuslim.com
Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi Sumber : Alsofwah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar