Rabu, 01 Desember 2010

Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP), PENILAIAN PORTOFOLIO

BAB I
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Istilah portofolio berasal dari kata kerja ‘potare’ berarti membawa dan kata benda bahasa latin ‘foglio’, yang berarti lembaran atau ‘kertas kerja’. Portofolio tempat berisikan benda pekerjaan, lembaran, nilai dan profesional. Porotofolio berisikan beragam tugas; disebut juga artefak, antara lain: draft mentah, nilai, makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan, lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah, jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara baru seperti: note book, multi media, disket, flashdisk, map lipat, dan file internet (Sharp, 2006:1).
Portofolio sebenarnya diartikan sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu proses sosial pedadogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya hasil tes awal (pre-test), tugas-tugas, catatan anekdot , piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes awal (post-test), dll. Sebagai suatu proses sosial pedadogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai adjective, pada umumnya disandingkan dengan konsep pembelajaran yang dikenal dengan istilah pembelajaran berbasis portofolio (portofolio based learning) dan dapat disandingkan dengan konsep penilaian yang dikenal dengan istilah penilaian berbasis portofolio (portofolio based assessment). Jadi Portofolio merupakan kumpulan hasil kerja siswa. Hasil kerja itu sering disebut artefak. Artefak-artefak itu dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam periode waktu tertentu. Artefak-artefak itu diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio.
Sebagai suatu inovasi, model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi dengan landasan pemikiran sebagai berikut: Empat pilar pendidikan
1. Learning to do, peserta didik harus diberdayakan agarmau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budaya.
2. Learning to know, peserta didik harus mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya.
3. Learning to be, peserta didik harus mampu membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya.
4. Learning to live together, kesempatan berinteraksi dengan kelompok yang bervariasi akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.

2. Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP)
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP) mengacu pada prinsip dasar pembelajaran, yaitu:
1. Prinsip belajar siswa aktif (student active learning)
Proses pembelajaran dengan menggunakan MPBP berpusat pada siswa dimana hampir seluruh aktivitas siswa dimulai dari fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan dan pelaporan.
2. Kelompok belajar kooperatif (cooperative learning)
Proses pembelajaran berbasis kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain, seperti orang tua siswa dan lembaga terkait.
3. Pembelajaran partisipatorik
Prinsip ini termasuk salah satu dari MPBP, sebab melalui model ini siswa belajar melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi.
4. Mengajar yang reaktif (reactive teaching)
MPBP ini mensyaratkan guru yang reaktif agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ciri guru yang reaktif adalah sebagai berikut :
• Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
• Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
• Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai suatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan.
• Segera mengenali materi dan metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui harus segera ditanggulanginya.

3. Langkah–Langkah pembelajaran
A. Mengidentifikasi masalah
Salah satu ciri warga negara yang baik adalah peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya. Untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah, maka para guru menjadikan masalah sebagai sumber belajar.
B. Kegiatan kelompok kecil
Perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat kita. Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, seluruh siswa hendaknya membaca dan mendiskusikannya dengan membentuk kelompok-kelompok kecil kemudian membuat pertanyaan- pertanyaan yang akan diidentifikasi dan dianalisis.
C. Pekerjaan rumah
Untuk menentukan masalah mana yang akan dikaji di kelas, memerlukan informasi yang cukup, terutama mengenai kelayakan masalah tersebut untuk dikaji dan ketersediaan sumber-sumber infomasi yang akan dijadikan rujukan untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu para siswa diberi pekerjaan rumah yang terdiri dari dua hal yaitu: Pertama, menemukan lebih banyak masalah yang ada di masyarakat . Kedua, menemukan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah tersebut. Tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan meliputi tiga tugas pokok, yaitu tugas wawancara, tugas mencari informasi dari sumber-sumber media massa cetak, dan tugas mencari informasi melalui media massa elektronik.
D. Memilih masalah untuk kajian kelas
Apabila telah memiliki cukup informasi, kemudian pilih masalah yang akan dikaji dan pastikan informasi berkenaan dengan masalah tersebut dapat dikumpulkan untuk membuat sebuah portofolio yang baik.
E. Membuat daftar masalah,
Kira-kira satu kelas memiliki lima belas (15) kelompok kecil yang kemudian masing-masing kelompok menetapkan satu masalah sehingga kelas memiliki lima belas (15) masalah.
F. Melakukan pemungutan suara (voting), dilakukan dua tahap:
1 . Setiap siswa menentukan tiga pilihan secara terbuka
2. Setiap siswa diharapkan hanya memilih salah satu dari ketiga masalah yang paling banyak terpilih dari lima belas (15) masalah yang dimiliki.



G. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji oleh kelas
Kegiatan kelas: Mengidentifikasi sumber-sumber informasi. Setelah terpilih masalah yang akan diidentifikasi maka dibuatlah daftar sejumlah sumber informasi kemudian dibuat tim peniliti yang hendak mengumpulkan informasi dari sumber yang telah terdaftar .
Contoh-contoh sumber informasi:
 Perpustakaan
 Kantor penerbit surat kabar
 Biro klipping
 Pakar diperguruan tinggi
 Pakar hukum dan hakim
 Kepolisian
 Kantor legislatif
 Kantor pemerintah daerah
 Organisasi kemasyarakatan dan kelompok
 Jaringan informasi elektronik
H. Tugas pekerjaan rumah
Setelah kelas memutuskan sumber-sumber informasi yang akan digunakan hendaknya dibagi dalam tim peniliti yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan inf ormasi dari sumber yang berbeda.
Sebelum mengumpulkan informasi dari berbagai sumber sebaiknya dibuat terlebih dahulu format dokumentasinya agar lebih memudahkan para siswa dalam bertanya sehingga tidak membebani orang yang dimintai informasi tersebut. Salah satu contoh format dokumentasi adalah seperti berikut ini:

Format Dokumentasi Informasi dari Penerbitan
Nama anggota tim
:………………………………………
Tanggal
:………………………………………
Masalah
:………………………………………
Nama penerbitan
:………………………………………
Tanggal penerbitan
:………………………………………
Pokok berita pada artikel :………………………………………
Pertanyaan mengenai masalah, misal Masalah Tawuran Pelajar
1. Pandangan yang dianut dalam artikel berkenaan dengan masalah
………………………………………………………………
2. Hal- hal yang penting dari pandangan tersebut
………………………………………………………………
3. Jika ada kebijakan, menurut sumber tersebut, maka kebijakan apakah yang harus ditangani pemerintah berkenaan dengan masalah tersebut ?
………………………………………………………………
Ji ka ada,
a) Apa keuntungan dan kerugiannya ?
…………………………………………………………
b) Bagaimana kebijakan tersebut dapat diperbaiki ?
………………………………………………………….
c)Dll.

4. Keuntungan-Keuntungan Penilaian Portofolio
a. Bagi Siswa:
Penilaian portofolio. merupakan penilaian yang sistematik terhadap keseluruhan aspek perkembangan belajar siswa. Penilian demikian bukan sekedar mencakup penilaian terhadap perkembangan aspek kognitif atau aspek akademik, tetapi juga mencakup aspek psiko-motor, sosial-emosional dan aspek perkembangan intelektual–bahasa. Penilian seperti ini lebih authentik dan karenanya lebih informatif, relevan dan meaningful daripada test yang distandarisasikan. Dalam penyelenggaraan Portofolio, siswa sesungguhnya didorong untuk lebih banyak berperan baik sebagai subjek penilaian, sumber informasi, penilaian yang mengkritik sendiri kemajuan belajarnya ataupun sebagai seseorang yang mengambil manfaat dari informasi yang tersedia.
b. Bagi Guru:
Guru adalah penilai dan pengguna informasi penilaian pendidikan siswa. Portofolio menyediakan guru suatu pandangan yang menyeluruh mengenai perkembangan belajar siswa. Portofolio menantang guru menjadi reflektif dan teruji mengenai cara mengajarnya dan strategi penilaian yang dilakukannya. Kemajuan siswa dalam satu periode waktu tertentu divalidasi oleh pengetahuan dan usaha-usaha yang dilakukan guru. Biasanya guru membutuhkan banyak waktu baik dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan Pengajarannya tetapi sedikit atau kehilangan waktunya untuk melakukan penialian yang sistematis mengenai penampilan mengajarnya. Portofolio sangat membantu guru mendokumentasikan kefektivan mengajarnya baik dari segi proses ataupun hasil-hasilnya. Portofolio juga memfasilitasi perencanaan pengajaran yang lebih diindividualisasikan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa. Biasanya guru membuat rencana pengajaran untuk kondisi kelompok siswa; tetapi Portofolio membantu penyelesaian persoalan, mengembangkan rencana Pengajaran yang personalized.
c. Bagi Masyarakat/Pihak Pembaca Lainnya:
Masyarakat/pihak pembaca lainnya merupakan pihak yang dapat menerima sekaligus mempelajari hasil penilaian pendidikan siswa. Sebenarnya masyarakat/pihak pembaca lain memungkinkan menyediakan informasi yang mendukung atau sama sekali memberikan informasi yang tidak bernilai bagi pengembangan program pendidikan siswa. Akan tetapi, portofolio menyediakan informasi yang lebih kaya mengenai keadaan yang sedang berlangsung berkaitan dengan perkembangan siswa. Portofolio memperlihatkan contoh spesifik mengenai bagaimana siswa memperoleh kemajuan dalam suatu periode waktu tertentu. Kemajuan-kemajuan itu didukung oleh contoh-contoh pekerjaan mereka dan catatan hasil obervasi secara deskriptif dari guru, sehingga masyarakat/pihak pembaca benar-benar mengerti keadaan siswanya. Pada tempatnyalah Portofolio menjembatani terbentuknya suatu jalinan, dialog dan interaksi yang baik/positif antara masyarakat luas dan guru. Informasi dalam Portofolio dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program pembentukan academic atmosphere, kelompok masyarakat dan dalam kegiatan fungsi sosial lainnya.
d. Bagi Para Praktisi Pendidikan Lainya:
Data yang ada dalam portofolio siswa dapat menunjukkan sejumlah pemahaman baru mengenai peran dan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar. Bukti demikian memungkinkan untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam membantu siswa dan memfasilitasi strategi yang kolaboratif dalam perspekstif tanggung jawab yang diambil untuk pendidikan siswa.
Untuk itu semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan siswa, misalnya para praktisi pendidikan, kepala sekolah, guru, petugas BP, pengembang program pendidikan, para pendidik, petugas sosial, psikolog, dan lain-lain dapat mengambil manfaat dari portofolio.
e. Bagi Pengembangan Program Pendidikan:
Portofolio dapat memfasilitasi penilaian sumatif di akhir tahun ajaran. Pada saat suatu portofolio direviu secara sistematik dan kemajuan setiap individu siswa diidentifikasi baik secara kuantitatif ataupun secara kualitatif, portofolio sesungguhnya memberikan gambaran tentang jaminan pencapaian tujuan program pendidikan. Hal ini amat bermanfaat untuk memonitor efektivitas program dan agenda perubahan yang diperlukan. Bukankah administrator dituntut untuk menyediakan sumber keuangan yang mencukupi dan kebijakan yang kondusif bagi terjadinya peningkatan mutu pengalaman belajar siswa tersebut.

5. Prinsip-prinsip Penilaian Portofolio
Dalam proses pelaksanaan evaluasi dengan sistem penilaian portofolio terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu :
1. Saling Percaya
Penilaian portofolio adalah penilaian yang melibatkan siswa secara aktif sebagai pihak yang dievaluasi. Antara guru sebagai evaluator dan siswa sebagai pihak yang dievaluasi harus saling percaya bahwa bukan semata-mata untuk menilai hasil pekerjaannya akan tetapi sebagai upaya pemberian umpan balik untuk meningkatkan hasil belajar.
2. Keterbukaan
Portofolio adalah penilaian yang dilaksanakan secara terbuka, artinya suru sebagai evaluator bukan hanya berperan sebagai orang yang memberi nilai atau kritik, akan tetapi siswa yang dievaluasi perlu memahami mengapa kritik itu muncul, oleh sebab itu guru harus terbuka melalui argumentasi yang tepat dalam setiap memberikan penilaian.
3. Kerahasiaan
Sebelum dilaksanakan pameran, kerahasiaan dokumen (evidence) setiap siswa perlu dijaga. Hal ini untuk menjaga perasaan siswa, jangan sampai ada kesan siswa merasa direndahkan dan dipermalukan didepan teman-temannya, apalagi kalau komentar itu menyangkut kemampuan dan pribadi siswa yang bersangkutan. Demikian juga komentar untuk siswa yang dianggap baik, tidak perlu diinformasikan pada yang lain. Hal ini untuk menjaga agar siswa yang bersangkutan tidak merasa paling hebat diantara teman-teman lainnya.
4. Milik Bersama
Guru dan peserta didik harus merasa bahwaevidence portofolio adalah milik bersama, oleh karena itu semua pihak harus menjaganya secara baik. Hal ini akan mempermudah manakala siswa atau guru memerlukannya.
5. Kepuasan dan Kesesuaian
Hasil akhir dari penilaian portofolio adalah ketercapaian kompetensi seperti yang dirumuskan dalam kurikulum. Guru dan siswa akan merasa puas manakala kompetensi itu telah tercapai. Oleh karena itu, terkumpulnyaevidence merupakan kepuasan baik bagi guru maupun bagi siswa.
6. Budaya Pembelajaran
Penilaian portofolio harus dapat mengembangkan budaya belajar. Sebab penilaian portofolio itu sendiri pada dasarnya mengandung proses pembelajaran. Unjuk kerja yang tergambar pada setiap
evidence pada dasarnya adalah proses pembelajaran.
7. Refleksi
Penilaian portofolio harus memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk melakukan refleksi tentang proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Melalui refleksi, siswa dapat menghayati tentang proses berpikir mereka sendiri, kemampuan yang telah mereka peroleh, serta pemahaman mereka tentang kompetensi yang telah dimilikinya.
8. Berorientasi pada Proses dan Hasil
Penilaian portofolio bertumpu pada dua sisi yang sama pentingnya, yakni sisi proses dan hasil belajar secara seimbang. Penilaian portofolio mengikuti setiap aspek perkembangan siswa, bagaimana cara belajar siswa, bagaimana motivasi belajar, sikap, minat, kebiasaan, dan lain sebagainya dan pada akhirnya menilai bagaimana hasil belajar yang diperoleh siswa.

6. Keunggulan dan Kelemahan Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan sistem penilaian yang biasa dilakukan misalnya dengan tes. Tes biasa digunakan untuk menilai kemampuan penguasaan materi pembelajaran atau perkembangan intelektual siswa, oleh sebab itu tes biasanya dilaksanakan pada akhir selesainya pelaksanaan program pembelajaran misalnya pada akhir caturwulan atau semester. Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai setiap aspek perkembangan siswa termasuk perkembangan minat, sikap, dan motivasi. Oleh sebab itu, penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh.
Sebagai suatu teknik penilaian portofolio memiliki keunggulan diantaranya :
1. Penilaian portofolio dapat menilai kemampuan siswa secara menyeluruh.
2. Penilaian portofolio dapat menjamin akuntabilitas (pertanggung-jawaban).
3. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang bersifat individual.
4. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang terbuka.
5. Penilaian portofolio bersifat self evaluation.
Disamping kelebihan, penilaian portofolio juga memiliki kelemahan diantaranya :
1. Memerlukan waktu dan kerja keras.
2. Penilaian portofolio memerlukan perubahan cara pandang.
3. Penilaian portofolio memerlukan perubahan gaya belajar.
4. Penilaian portofolio memerlukan perubahan sistem pembelajaran.

7. Format Portofolio


Nama : …………………… Kelas/No. : ............. / ...........

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
7. Memahami saling ketergantungan dalam ekosistem. 7.2 Mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman mahluk hidup dalam pelestarian ekosistem.  Membuat tulisan (Majalah dinding, “leaflet”, artikel) beserta foto/gambarnya, memperkenalkan jenis, bentuk, dan manfaat tumbuhan/hewan langka yang dilindungi.
 Mendeskripsikan usahausaha yang dapat dilakukan manusia untuk pelestarian keanekaragaman hayati

Tugas Portofolio:
1. Menulis sebuah artikel yang berkaitan dengan sains. Misalnya, membuat artikel singkat mengenai jenis-jenis tumbuhan dan hewan langka yang dilindungi, dengan melengkapkan bentuk/ciri khusus dan manfaat tiap jenis tumbuhan atau hewan langka ini. Tuliskan pula cara atau langkah perlindungan dan pelestarian yang dilakukan pemerintah terhadap hewan dan tumbuhan langka.
2. Buat laporan untuk kegiatan ini beserta:
• Bukti referensi (copy, printed/repro)
• Jadwal pelaksanaan kegiatan pengumpulan
• Data pengumpulan etiket (hari, tanggal, tempat pengambilan, dan sebagainya)
• Lain-lain yang dianggap penting untuk disertakan sebagai bukti/informasi.
3. Laporan dikumpulkan paling lambat?





Jadwal kegiatan pelaksanaan penyusunan portofolio: (disusun bersama oleh guru dan kelompok siswa untuk: (1) memonitor pelaksanaan kegiatan; (2) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan)


No
Kegiatan Maret (minggu ke) April (minggu ke)
Keterangan
3 4 1 2 3 4
1 Mendapat tugas x
2 Merencanakan kegiatan x
3 Monitoring ke 1 X Melaporkan hasil pengumpulan tahap pertama.
4 Monitoring ke 2 x Melaporkan hasil pengumpulan tahap pertama.
5 Pengecekan kelengkapan data dan bukti x
6 Penyusunan laporan x
7 Penjilidan laporan x
8 Penyerahan laporan x

Penilaian:
Nama siswa : ………………… Kelas/No. : …………. / …………
Tanggal : …………………

No. Aspek yang Dinilai Portofolio ke
1 2 3
1. Latar Belakang Masalah/ pendahuluan
2. Kajian Pustaka
3. Ketajaman pembahasan/ analisis
4. Penyimpulan/penutup
5. Tata tulis dan bahasa
Skor Total
Keterangan: *) Skor maksimum untuk tiap aspek yang dinilai adalah:
1. Latar belakang masalah, skor maksimum 10, dengan rincian:
- Dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang runtut/redaksinya benar (2,5)
- Menunjukkan pentingnya masalah (7,5)
2. Pengkajian pustaka, skor maksimum 15, dengan rincian:
- Isi relevan dengan permasalahan yang ada (5)
- Dipungut/diambil dari sumber yang benar/dibenarkan (5)
- Dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang runtut (2)
- Cara penulisannya benar (3)
3. Pembahasan, skor maksimum 25, dengan rincian:
- Mampu menafsirkan / menganalisis data yang ada (10)
- Menghubungkan antara data dengan pustaka sebagai referensi (10)
- relevan dengan tujuan (5)
4. Rumusan simpulan, skor maksimum 10, dengan rincian:
- Relevan dengan permasalahan/tujuan (2,5)
- Relevan dengan data dan pembahasannya (7,5)
5. Tata tulis dan Bahasa
- Tata tulis benar (15)
- Bahasa menggunakan bahasa Indonesia Baku (10)
(Total skor (maksimum) 90)



Nama :
Kelas : Guru :
Tanggal :
Isi dari portofolio :



Kompetensi yang berkembang :



Komentar Guru :












Tanda tangan guru



……………………..









Lembar Penilaian Diri

Nama :
Kelas : Mata Pelajaran :
Tanggal :
Sejauh ini saya belajar banyak tentang :


Saya ingin tahu lebih banyak tentang :


Besok saya akan belajar :


Saya senang belajar dengan cara :


Saya sulit memahami :


Di kelas saya termasuk :


Mengetahui Orang Tua/Wali Tanda tangan dan nama siswa


.................................................. ...................................................


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. “Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio”, PT. Genesindo, Bandung 2002.
http://www.scribd.com/doc/2466834/Model-Pembelajaran-dan-Penilaian-Portofolio
http://id.wikipedia.org/wiki/Portofolio
sertifikasiguruipa.blogspirit.com/.../bbd4d1be91f3901d58745ab3ed5d2857.doc
mediaindonesia.co.cc/.../penilaian,+pengertian,+manfaat+portofolio -

KONSEP PENDIDIKAN IKHWAN AS-SHAFA

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains).

B. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.

2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
A. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.

B. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.

3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c. Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d. Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f. Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.

4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.

BAB III
PENUTUP

A. Komentar Penulis.
Ikhwan al-shafa adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan akan dirasa berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi, organisasi ini lebih ke batiniyah. Masa sekarang, orang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa agama tidak ada hubungan sama sekali dengan ilmu pengetahuan sehingga banyak orang yang otaknya pintar, namun moralnya hancur. Dengan sistem ikhwan al shafa ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan spiritual.
B. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.

C. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan 2003)
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985),
www.ikaari.multiply.com
www.telagahikmah.org.
www.telagahikmah.org.
www.mindarakyat2.tripod.com.
www.Samuderailmufortuna.blogspot.com.
www.wikipedia.org.

KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS

BAB I PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam. Banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari dunia Barat
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Syed Naquib al-Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.

B. Corak pemikiran pendidikan Al-Attas
SELAIN dikenal sebagai tokoh pendidikan, Syed Naquib al-Attas juga diakui sebagai seorang pemikir sastra dan kebudayaan. Ia tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan nternasional. Salah satu gagasannya yang cukup menarik adalah menawarkan term ta`dib sebagai dasar konsep pendidikan Islam. Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Ia menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan pendidikan Islam.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti ungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ nilai adab (Kholiq, at. al., 1999: 275). Al-Attas berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah penggunaan istilah tarbiyah, sebagaimana yang dipakai sebagian pakar pedagogis Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Kerangka dasar ini yang membedakan konsep al-Attas dengan konsep tarbiyah. Bahwa manusia adalah subjek yang dapat dididik, bukan binatang atau pun tumbuhan. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281). Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu.
Al-Attas ingin menampilkan pendidikan yang terpadu, yakni antara dimensi Abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardl. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
C. Relevansi pendidikan Islam masa kini
Sebagaimana pemilihan sekaligus tawaran al-Attas mengenai konsep ta’dib, bahwa akhir-akhir ini sepertinya mempunyai relevansinya. Hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Karena itu, gagasan al-Attas tentunya mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan (equiliberium), bercorak moral dan rilegius. Secara ilmiah at-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang jelas. Dengan demikian, ia telah berusaha menampilkan ide-idenya itu dengan sejumlah alasan yang cukup kuat.
Gagasan ini bisa ditempatkan sebagai paradigma masa depan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Jika dipandang secara filofosis, kerangka metodologisnya memang memiliki signifikasi yang sangat jelas. Secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis term ta’dib memiliki kekokohan makna yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan term yang lain, ta’dib lebih memiliki jangkauan yang lebih luas dan mencapai sasaran yang jelas. Semakin bisa dirisakan bahwa pendidikan masa kini mengalami orientasi yang bias. Aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya. Dengan mengembangkan term ta’dib, diharapkan pendidikan Islam dapat tercipta keutuhan sebagaimana yang dicita-citakan ajaran agama itu sendiri, selain harapan semua manusia.
Dengan menggunakan ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercaver di dalam sistem pendidikan. Jadi pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan serta menjawab tuntutan kemoderenan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islam dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I, Jakarta.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
http://mpiuika.wordpress.com/2010/03/01/pemikiran-pendidikan-menurut-s-m-naquib-al-attas/
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html