Rabu, 20 Mei 2009

Syarat Perowi dan Proses Transformasi Hadits
ulumul hadits No Comments »
BAB I PENDAHULUAN
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.Posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.Maka disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat.
BAB II SYARAT PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
A. Syarat-syarat seorang perawiSifat-sifat hadits yang diterima:1. Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).3. Betul-betul hafal.4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.B. Cara menerima dan menyampaikan riwayatYang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya.Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masing :• As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru).Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.Adapun lafadh : telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.• Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-ArdlBentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya.Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.• Al-IjazahYaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :• Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.• Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.• Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”.• Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.• Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”. Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna.Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah). • Al-Munaawalah atau menyerahkan.Al-Munawalah ada dua macam :• Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.• Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.• Al-KitabahYaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :• Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.• Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.• Al-I’lam (memberitahu)Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).• Al-Washiyyah (mewasiati)Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).• Al-Wijaadah (mendapat)Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalahv cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dalam menerimav hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Jalan untuk menerima danv menyampaikan hadits ada delapan, yaitu o as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; o al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; o al-ijazah, o al-munawalah, o al-kitabah, o al-I’lam, o al-washiyyah, o dan al-wijadah. Al-Ijazah Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnyav meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan.v Al-Kitabah Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-I’lam (memberitahu) Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorangv muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya. Al-Washiyyahv (mewasiati) Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.v Al-Wijaadah (mendapat) Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.

Syarat Hadits Shahih
ulumul hadits June 24th, 2008
BAB I PENDAHULUAN
Ada beberapa hal yang sangt penting dan mesti kita ketahui dalam masalah hadits yaitu :1. Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an. 2. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits. 3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat. 4. Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah. 5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.Dan disini kami akan coba menjelaskan mengenai syarat-syarat hadits shohih dan yang berkaitan dengannya.BAB IISYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH
A. KESHAHIHAN SANAD HADITSImam syafi’I mengatakan hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi 2 syarat yaitu pertama : hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqaf (adil dan Dhabth) kedua : rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad atau dapat juga tak sampai kepada Nabi.Ibnu Shalah (w. 643 h-1245m) dalam muqaddimahnya :Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illat).Dari defenisi hadits shahih diatas bahwa hadits shahih harus memenuhi syarat :- bersambung sanadnya- diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil- diriwayatkan oleh periwayat yang dhabit- terhindar dari syaz- terhindar dari ‘illatHadits yang akan diteliti tersebut harus lengkap sanad dan matannya dan lengkap pula informasi dari kitab-kitab yang memuat hadits tersebut. Mentakhrij hadits memang adalah suatu kegiatan untuk mengeluarkan hadits dari sumber hadits. Takhrij hadits, juga sebagai langkah awal untuk mengetahui kuantitas, jalur sanad dan kualitas suatu hadits. B. PENELITIAN KUALITAS SANAD HADITSAda dua syarat yang harus dimiliki oleh periwayat hadits,1. ‘Adil2. DhabitKriteria periwayat ‘Adil :a. Beragama islam. ( periwayat hadits ketika mengajarkan hadits harus telah beragama islam, karena kedudukan periwayat hadits dalam islam sangat mulia. Namun, menerima hadist tak di syaratkan beragama islam.b. Berstatus Mukallaf, didasarkan pada dalil Naqli yang bersifat umum.c. Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab- adab syara’.d. Memelihara Muru’ah. Muru’ah merupakan salah satu tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.Kriteria periwayat Dhabit:a. Kuat ingatan dan kuat pula hafalannya, tak pelupa.b. Memelihara hadits, baik yang tertulis maupun tak tertulis, ketika ia meriwayatkan hadits berdasarkan buku catatannya/ sama dengan catatan ulama yang lain ( Dhabit Al- kitab)a) Klasifikasi hadits dalam sunan Al- Nasa’i sebagai berikut :1. Hadits qudsi 25 buah2. Hadits nabawi 5637b) Pembagian hadits dari segi kuantitas sanad:1. Hadits mutawatir 846 buah2. Hadits ahad 4816 buah.c) pembagian hadits dari segi penyandaran berita :1. Hadits marfu’ 5354 buah2. Hadits mawquf 214 buah3. Hadits maqtu’ 69 buah dari 5662 hadits dalam sunan an-NasaiC. KRITERIA KEBERSAMBUNGAN SANAD HADITSDalam sanad hadits termuat nama-nama periwayat dan kata-kata/singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat.Matan hadits yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung/salah stu periwayatnya tidak siqat (adil dan dhabit)Kriteria ketersambungan sanad :1) Periwayat hadits yang terdapat dalam sanad hadits yang teliti semua berkualitas siqat(adil dan dhabit)2) Masing-masing periwayatnya menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama’) yang menunjukkan adanya pertemuan diantara guru dan murid.D. MENELITI SYUZUZ DAN ‘ILLATSanad hadits yang terdiri dari periwayat yang tsiqah (adil dan dhabit) dan muttasil (betul-betul bersambung) dapat dinyatakan sebagai hadits yang shahih dari segi sanad. Namun kenyataannya, ada sanad hadits yang tampak berkualitas shahih dan setelah diteliti dengan lebih teliti dan cermat lagi, dengan cara membentangkan dan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan hadits yang semakna, adakalanya hadits bersangkutan mengandung kejanggalan (syuzuz) ataupun cacat (‘illat). Demikian pula terhadap matan hadits. Jadi, untuk mengetahui syaz/’illat pada suatu hadits, baik terhadap sanad maupun matan adalah dengan melakukan penelitian secara teliti dan mendalam. Kemudian hasil penelitian tersebut di bentangkan dan di banding-bandingkan.Pendapat al-Syafi’I tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits dikatakan mengandung syuz apabila hadits itu memiliki lebih dari satu sanad, para periwayat hadits yang terdapat dalam beberapa sanad itu seluruhnya tsiqah, matan atau sanad hadits itu ada mengandung pertentangan.Menurut ibn shalah ‘illat (cacat) pada hadits adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusakkan kualitas hadits. Keberadaan ‘illat menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. ‘illat (cacat) disini bukan disebabkan adanya periwayat dalam sanad yang kurang adil dan kurang dhabit secara nyata. Karena kecacatan semacam itu mudah diketahui oleh peneliti hadits, tetapi kecacatan yang dimaksud adalah ‘illat yang tersembunyi dibalik keshahihan hadits dengan perkataan lain, hadits yang ber’illat adalah hadits yang kelihatan sudah memenuhi criteria keshahihan hadits, baik sanad maupun matan, tetapi setelah dilakukan penelitian secara mendalam dan di banding-bandingkan dengan hadits yang lain yang semakna, ternyata ditemukan kecacatan.Menurut bahasa kata matan berasal dari bahasa Arab matana artinya punggung jalan atau muka jalan, tanah tinggi dan keras. Sedangkan matan menurut ilmu hadits adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadits adalah isi hadits. Matan hadits terbagi tiga yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad.Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadits yang baik, kalau matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. E. KRITERIA KESHAHIHAN MATAN HADITSMenurut muhadditsin tampak beragam. Salah satu versi tentang criteria keshahihan matan hadits ialah bahwa suatu matan hadits dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadits yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :- tidak bertentangan dengan akal sehat- tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap)- tidak bertentangan dengan hadits mutawatir- tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (Ulama Salaf)- tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti- tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.Salaf Al-din Al-Adabi mengambil jalan tengah. Kriteria keshahihan matan ada 4 :- tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an- tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat- tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, sejarah dan- susunan pernyataannya menunjukkan cirri-ciri sabda keNabian.Keshahihan matan hadits antara lain:- sanadnya shahih (penentuan keshahihan sanad hadits didahului dengan takhrij al-hadits dan dilanjutkan dengan kegiatan penelitian sanad hadits)- tidak bertentangan dengan hadits mutawatir/hadits ahad yang shahih.- tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an- sejalan dengan alur akal sehat- tidak bertentangan dengan sejarah- susunan pernyataan menunjukkan cirri-ciri keNabian.
Kriteria keshahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari segi kapasitas dan kualitas perawi, dan sanad hadits tersebut memiliki musyahid dan muttabi’.F. KRITERIA KESHAHIHAN HADITSUlama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.a. Kriteria kesahihan sanad haditsMenurut Muhammad Al- Ghazali, keshahihan sanad hadits hanya terdiri dari dua syarat yaitu :- Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah dikenal sebagai penghapal yang cerdas, teliti dan benar- benar memahami apa yang didengarnya, kemudian setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut dhabit.- Disamping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. Pada konteks ini perawi disebut ‘adil.
Pendapat Muhammad Al- ghazali berbeda dengan pendapat Muhadditsin. Menurut mereka, ketersambungan sanad mutlak adanya, karena bagaimana mungkin suatu berita dapat dipercaya jika tidak jelas asal- usulnya.terlebih lagi berita itu disandaran pada Rasulullah. Oleh karena itu, sanad hadits yang terputus , baik mursal (termasuk mursal sahabi), mungati, maupun Mu’dal menurut Muhaddisin hal tersebut menyebabkan suatu hadits menjadi dhoif.b. Kriteria kesahihan matan haditsMuhammad Al- ghozali menetapkan tujuh criteria keshahihan matan hadits :a) Matan hadits sesuai dengan Al- qur’an.b) Matan hadits sejalan dengan matan hadits shahih lainnya.c) Matan hadits sejalan dengan fakta sejarah.d) Redaksi matan hadits menggunakan bahasa arab yang baik.e) Kandungan matan hadits sesuai dengan prinsip- prinsip umum ajaran agama islam.f) Hadits itu tidak bersifat syaz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan dapat dipercaya)g) Hadits tersebut harus bersih ‘illah audihah ( yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya).BAB IIIKESIMPULAN
Imam syafi’I mengatakan hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali& memenuhi 2 syarat yaitu pertama : hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqaf (adil dan Dhabth) kedua : rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad atau dapat juga tak sampai kepada Nabi. Hadits shahih adalah& hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illat).& Matan hadits yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung/salah stu periwayatnya tidak siqat (adil dan dhabit) Ulama dari& berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. Kalimat yang& baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadits yang baik, kalau matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.