Senin, 27 Januari 2020

Makalah Fiqih Muamalah

BAB I
PENDAHULUAN

            Islam adalah  agama yang komprehensif yang mengatur segala seluk beluk kehidupan manusia, baik itu berupa Aqidah, Ibadah, maupun Muamalah. Pada awal munculnya, bidang bahasan fiqih oleh para fuqaha dibagi dalam tiga bagian yaitu : bidang aqidah yang membicarakan masalah keimanan, bidang ibadah yang berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, adapun bidang yang ketiga yaitu muamalah yang membahas hubungan manusia dengan sesama dalam artian sosial kemsyarakatan.
            Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain, bik seseorang tersebut pribadi maupun badan hukkum seperti perseroan, firma, yayasan dan negara. Adapun hukum Islam yang berhubungan dengan muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, perserikatan dll.
            Namun dalam waktu panjang, materi muamalah cenderung diabaikan oleh banyak orang, padahal ajaran muamalah adalah ajaran yang cukup penting dalam ajaran Islam. Akibatnya terjadilah ajaran Islam persial ( sepotong-sepotong), akibat lain adalah terbelakangnya perekonomian kaum muslimin dan banyaknya kaum muslimin  yang melaanggar prinsip-prinsip Islam dalam mencari nafkah hidupnya dan lain sebagainya.

A. Pengertian Fiqih Muamalah
            Fiqih muamalah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan muamalah. Secaara etimologi kata fiqih mempunyai faham atau pemahaman yang mendalam dan memerlukan potensi akal.
            Sedangkan pengertian fiqih secara terminologi memiliki banyak arti dari para ulama diantaranya Imam Haramain memberikan definisi bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ dengan jalan ijtihad, ada juga ulama yang mendefinisikan fiqih dengan himpunan hukum syara’ tentang poerbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci. Namun para ulama lebih banyak mendefinisikan fiqih dengan pengetahuan keagamaan atau hukum syariah Islam yang mencakup seluruh ajaran agama yang berkaitan dengan perbuatan manusia muslim yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil terperinci.
            Adapun muamalah secara etimologi berarti saling bertindak, saling beramal, dan saling berbubat. Dan secara terminologi muamalah ialah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak difahami sebagai aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda atau lebih tepatnya aturan Islam tentang kegiatan ekonomi manusia.

B. Tujuan dan Fungsi
1. Tujuan
            Pembelajaran Fiqih bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan dan sosial. (2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengalaman tersebut diharapkan menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosial.


2. Fungsi
            Pembelajaran Fiqih ini berfungsi untuk : (a) Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt. sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (b) Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik tarbiyatul mujahidin dan masyarakat secara arti luas ; (c) Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial ; (d) Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Swt. serta akhlaq mulia peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (d) Pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah dan muamalah; (e) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; (f) Pembekalan peserta didik untuk mendalami Fikih/hukum Islam pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.







BAB II
PEMBAHASAN

1. MUAMALAT JUAL BELI, HUTANG PIUTANG DAN RIBA
A. Jual-beli (Al-bay'u)
            Al-bay'u menurut bahasa artinya memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara' adalah menukarkan suatu harta benda dengan alat pembelian yang sah atau dengan harta benda yang lain dan keduanya menerima untuk dibelanjakan dengan ijab dan qabul menurut cara yang diatur oleh syara'.
            Jual-beli adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan manusia dalam rangka untuk mempertahankan kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat.
Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah : 275 )
            Hukum jual-beli pada dasarnya ialah halal atau boleh, artinya setiap orang Islam dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual-beli. Hukum jual-beli dapat menjadi wajib apabila dalam mempertahankan hidup ini hanya satu-satunya (yaitu jual-beli) yang mungkin dapat dilaksanakan oleh seseorang.
            Rasulullah SAW bersabda :
”Dari Rifaah bin Rafi' ra, sesungguhnya Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian apakah yang paling baik. Beliau menjawab : "Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual-beli yang bersih". (HR. Al-Bazzar dan disahkn oleh Al-Hakim).

Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisaa : 29)

            Ayat ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk memperoleh rizki tidak boleh dengan cara yang bathil, yaitu yang bertentangan dengan hukum Islam dan jual-beli harus didasari saling rela-merelakan, tidak boleh menipu, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh merugikan kepentingan umum.
1. Rukun Jual-beli
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang yang diperjualbelikan
d. Alat untuk menukar dalam kegiatan jual beli (harga)
e. Aqad, yaitu ijab dan qabul antara penjual dan pembeli

2. Syarat Sah Jual-beli
Syarat sah penjual dan pembeli terdiri dari :
·        Baligh
            Yaitu baik penjual maupun pembeli keduanya harus dewasa. Dengan demikian anak yang belum dewasa tidak sah melakukan jual-beli. Anak yang sudah mengerti dalam rangka mendidik mereka, diperbolehkan melakukan jual-beli pada hal-hal yang ringan.
·        Berakal sehat.
Allah SWT berfirman :
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (QS. An-Nisaa : 5).

·        Tidak ada pemborosan, artinya tidak suka memubazirkan harta benda. Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Israa : 27)

·        Suka sama suka (saling rela), yaitu atas kehendak sendiri, tidak dipaksa orang lain. Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya jual beli itu sah apabila terjadi suka sama suka." (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).

3. Syarat sah barang yang diperjual-belikan
·        Barang itu suci
            Oleh sebab itu tidak sah jual-beli barang najis seperti bangkai, babi dan sebagainya.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Jabir bin Abdullah ra, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun kemenangan (Fathu Makkah) di Makkah : "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual-beli khamar (arak), bangkai, babi dan berhala (patung)." (HR. Muttafaqun 'alaih).

·        Barang itu bermanfaat
 Oleh sebab itu barang yang tidak bermanfaat seperti lalat, nyamuk dan sebagainya tidak sah diperjualbelikan.
·        Barang itu milik sendiri atau diberi kuasa orang lain.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya , dari Nabi SAW. Beliau bersabda : "Tidak ada thalaq (tidak sah thalaq) kecuali pada perempuan yang engkau miliki, tidak ada kemerdekaan budak kecuali kepada budak yang engkau miliki dan tidak ada jual-beli kecuali kepada barang yang engkau miliki". (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi dengan sanad hasan)

·        Barang itu jelas dan dapat dikuasai oleh penjual dan pembeli.
Oleh karena itu tidak sah jual-beli barang yang masih ada di laut atau di sungai dan sebagainya.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Mas'ud re, ia berkata : Nabi SAW bersabda : "Janganlah kamu sekalian membeli ikan yang masih di dalam air, karena sesungguhnya hal itu adalah mengandung gharar (tipu muslihat)". (HR. Ahmad)

·        Barang itu dapat diketahui kedua belah pihak (penjual dan pembeli) baik kadarnya (ukuran dan timbangannya), jenisnya, sifatnya maupun harganya.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW telah melarang jual-beli lempar-melempar (mengundi nasib) dan jual-beli gharar (tipu muslihat). (HR. Muslim)

            Dalam jual-beli, di samping syarat sah di atas harus ada kesepakatan harga antara penjual dan pembeli dan harus ada ijab qabul. Ijab ialah ucapan penjual bahwa barang ini saya jual kepadamu dengan harga sekian. Sedangkan qabul adalah ucapan pembeli bahwa barang itu sudah dibeli dari penjual dengan harga sekian.
4. Bentuk Jual-beli yang Terlarang
Jual-beli yang tidak sah karena kurang syarat rukun
·        Jual-beli dengan sistem ijon, yaitu jual-beli yang belum jelas barangnya, seperti buah-buhan yang masih muda, padi yang masih hijau yang memungkinkan dapat merugikan orang lain.
Dari Ibnu Umar, Nabi SAW telah melarang jual-beli buah-buhan sehingga nyata baiknya buah itu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
·        Jual-beli binatang ternak yang masih dalam kandungan dan belum jelas apakah setelah lahir anak binatang itu hidup atau mati.
Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual-beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
·        Jual-beli sperma (air mani) binatang jantan.
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata : Rasulullah SAW telah melarang jual-beli kelebihan air. (HR. Muslim) dan Nabi menambahkan pada riwayat yang lain bahwa belia telah melarang (menerima bayaran) dari persetubuhan air (mani) jantan. (HR. Muslim dan An-Nasai)
            Adapun meminjamkan binatang jantan untuk dikawinkan dengan binatang betina orang lain tanpa maksud jual-beli hal ini sah, malah dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda :
Dari Abu Kabsyah, Nabi SAW telah bersabda : "Siapa yang telah mencampurkan binatang jantan dengan binatang betina kemudian dengan pencampuran itu mendapatkan anak, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak tujuh puluh binatang." (HR. Ibnu Hibban)
·         Jual-beli barang yang belum ada di tangan
            Maksudnya ialah barang yang dijual itu masih berada di tangan penjual pertama. Dengan demikian secara hukum, penjual belum memiliki barang tersebut.

Rasulullah SAW telah bersabda : "Janganlah engaku menjual sesuatu yang baru saja engkau beli sehingga engkau menerima barang itu." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
·        Jual-beli benda najis, minuman keras, babi, bangkai dan sebagainya.
5. Jual-beli sah tapi terlarang
            Jual-beli ini disebabkan karena ada satu sebab atau akibat dari perbuatan itu. Yang termasuk dalam jual-beli jenis ini adalah :
            Jual-beli yang dilakukan pada waktu shalat jum'at. Hal ini akan menyebabkan orang lupa menunaikan shalat jum'at. Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumuah : 9)
            Jual-beli dengan niat untuk ditimbun pad saat masyarakat membutuhkan. Jual-beli ini sha tetapi dilarang karena ada maksud tidak baik, yaitu akan menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Rasulullah SAW bersabda :
"Tidaklah seseorang meimbun barang kecuali orang yang durhaka." (HR. Muslim)
            Membeli barang dengan mengahadang di pinggir jalan. Hal ini sah tetapi terlarang karena penjual tidak mengetahui harga umum di pasar sehingga memungkinkan ia menjual barangnya dengan harga lebih rendah.
Membeli atau menjual barang yang masih dalam tawaran orang lain. Rasulullah SAW bersabda :
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : "Janganlah sebagian kamu menjual atau membeli dari sebagain kamu atas barang yang sudah dijual/dibeli oleh orang lain." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Jual-beli dengan menipu, seperti mengurangi timbangan, takaran atau ukuran.
6. Pembatalan Jual-beli Terhadap Orang yang Menyesal
            Jika jual-beli telah terjadi, kemudian pembeli menyesal karena mungkin barang yang dibeli itu keliru atau kemungkinan yang lain dan ia menginginkan pembatalan jual-beli, maka sangat dianjurkan kepada penjual untuk menerima pembatalan itu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
"Siapa yang membatalkan jual-belinya terhadap orang yang menyesal, maka Allah akan menghindarkan dia dari kerugian usahanya." (HR. Al-Bazzar)


B. Muamalat Hutang – piutang (ad-dayn)
            Hutang-piutang menurut syara ialah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. (QS. Al-Baqarah : 282)
            Orang yang berhutang hukumnya mubah (boleh), sedangkan orang yang memberi pinjaman hukumnya sunnah, sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya. Hukum ini dapat berubah menjaid wajib jika orang yang meminjam itu benda-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan, dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Mas'ud ra, sesungguhnya Nabi SAW telah besabda "Seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali, seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali". (HR. Ibnu Majah)

            Antara orang yang menghutangi dengan orang yang berhutang dilarang memberikan sayarat agar dalam pengembalian hutang itu dilebihkan nilainya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW telah berhutang binatang ternak, kemudian beliau membayar dengan binatang yang lebih besar umurnya daripada binatang yang beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : "Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang membayar hutangnya dengan yang lebih baik." (HR. Ahmad At-Turmudzi dan disahkannya).
C. R i b a
            "Ar-ribaa" menurut bahasa artinya az-ziyaadah yaitu tambahan atau kelebihan. Riba menurut istilah syara' ialah suatu aqad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar suatu barang yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara' atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan dengan menerima salah satu dari dua barang.
Riba hukumnya haram dan Allah melarang untuk memakan barang riba. Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imran : 130).
            Jika Allah melarang hamba untuk memakan riba, maka Allah juga menjanjikan untuk melipat-gandakan orang yang dengan ikhlas mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah. Allah SWT berfirman :
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Jabir ra, ia berkata, Rasulullah SAW telah melaknat ornag-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya dan (selanjutnya Nabi bersabda) mereka itu semua sama saja." (HR. Muslim).

1. Jenis-jeni Riba
A. Riba Fadhl,
            Yaitu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh yang menukarkan. Contoh, tukar-menukar emas dengan emas, beras dengan beras, dengan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkannya. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus memenuhi tiga syarat :

1. Tukar-menukar barang tersebut harus sama
2. Timbangan atau takarannya harus sama
3. Serah terima pada saat itu juga.

            Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ubadah bin Ash-Shamit ra, Nabi SAW telah bersabda : "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, maka apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai." (HR. Muslim dan Ahmad).

B. Riba Qardhi,
            Yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami. Contoh, A meminjam uang kepada B sebesar Rp. 5.000 dan B mengharuskan kepada A mengembalikan uang itu sebesar Rp. 5.500. Tambahan lima ratus rupiah adalah riba qardhi.

C. Riba Yad,
yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima. Misalnya orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, antara penjual dan pembeli berpisah sebelum serah terima barang itu.

D. Riba Nasiah,
yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jua-beli yang bayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan dilambatkan. Contoh, A membeli arloji seharga Rp. 500.000. Oleh penjual disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp. 525.000. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun dinamakan riba nasiah.

Rasulullah SAW bersabda :
Dari Samurah bin Jundub ra, sesungguhnya Nabi SAW telah melarang jual-beli bintang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan." (HR. Lima ahli hadits dan disahkan oleh At-Turmudzi dan Abu Dawud).

2. MUAMALAT  SYIRKAH,MUDHARABAH , MUSAQAH, DAN MUZARA’AH
1. Musyarakah (Syirkah)
            Syirkah atau syarikah atau musyarakah merujuk pada kemitraan dua orang atau lebih. Rasulullah s.a.w. melakukan kemitraan (syirkah) dalam berbisnis. Dari As-Saib bin Syuraik, dia berkata : ”Aku mendatangi Rasulullah s.a.w.,lalu para sahabat menyanjungku. Rasulullah s.a.w. kemudian bersabda :”Aku lebih tahu daripada kalian tentang dirinya (Saib)”. Aku berkata : ”Engkau benar, demi bapak dan ibuku engkau adalah mitra usahaku dan engkau adalah sebaik-baik mitra, engkau tidak membujuk dan tidak membantah (Abu Daud). Demikian pula dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : ”Rasulullah s.a.w. bersabda : Allah azza wa jalla berfirman : Aku adalah ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari keduanya (Abu Daud dan Al Hakim).
A. syirkah syari’ah (bentuk kongsi yang disyaratkan)
Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689.
2. Mudharabah
            Mudharabah yang mempunyai arti perjalanan atau perjalanan untuk tujuan dagang. Secara istilah, mudharabah merupakan kontrak antara dua pihak, pihak pertama disebut rab al maal (shahibul maal) atau investor mempercayakan kepada pihak kedua, yang disebut mudharib, dengan tujuan menjalankan dagang. Mudharib menyediakan tenaga dan waktunya serta mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Keuntungan dibagi antara rab al maal dengan mudharib berdasarkan yang telah disepakati. Jika mengalami kerugian, ditanggung shahibul maal, selama kerugian itu bukan kelalaian mudharib. Orang Medinah menyebut kemitraan ini dengan muqaradhah, yang berasal dari bahasa Arab qarad yang berarti pemberian hak atas modal oleh pemilik kepada pemakai modal. Muqaradhah juga disebut qiradh.
            Surat dalam Al Qur’an yang memiliki kaitan erat dengan mudharabah antara lain surat Al Baqarah ayat 272 . Surat An Nisaa’ ayat 101. Demikian pula surat Al Muzzammil ayat 20. Dari Shalih bin Suhaib r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda : Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual (Ibnu Majah).
a. Pengetian Mudharabah
            Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
            Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
            Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
b. Pensyari’atan Mudharabah
            Dalam kitabnya al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
c. Orang Yang Mebngembangkan Modal Harus Amanah
            Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
            Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).
3.Musaqah
            Musaqah merupakan kerjasama antara orang yang memiliki tanah yang ditanami pohon menghasilkan buah-buahan dengan orang yang mampu memelihara (menyirami) pohon tersebut dengan imbalan orang yang memelihara tersebut mendapat imbalan sesuai dengan kesepakatan dari hasil panen. Musaqah berasal dari akar kata saqyu. Surat dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan akar kata saqyu adalah Surat Ar Ra’d ayat 4 : Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang disirami dengan air yang sama.
4. Muzara’ah
            Muzara’ah adalah kerjasama antara orang yang mempunyai tanah yang subur untuk ditanami dengan orang yang mempunyai ternak dan mampu untuk menggarapnya, imbalannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau prosentase dari hasil panen yang telah ditentukan. Kata muzara’ah tidak terdapat dalam Al Qur’an. Muzara’ah berasal dari kata zara’a yang berarti menyemai, menanam, menaburkan benih.
            Suku kata zara’a (za-ra-’ain) di dalam Al Qur’an baik sebagai kata kerja maupun kata benda disebutkan 7 kali, yang mempunyai arti tanam-tanaman. Surat yang berkait erat dengan akar kata tersebut dalah surat Al An’aam ayat 141.
            Bentuk lain dari muzara’ah adalah mukhabarah. Mukhabarah adalah menyewakan kebun atau ladang dengan pembayaran 1/3 atau 1/4 hasil panennya atau seperberapanya. Dari Thawus, bahwa ia pernah menyuruh orang lain untuk menggarap ladangnya dengan sistem mukhabarah. Kata Amru : Saya katakan kepada Thawus, ”Hai ayah Abdurrahman! Sebaiknya kau hindari sistem mukhabarah ini! Karena orang-orang mengatakan bahwa Nabi s.a.w. melarang mukhabarah.” Kata Thawus : ”Hai Amru! Saya telah diberitahu orang yang lebih tahu tentang itu (yakni, Ibnu Abbas r.a.) bahwa Nabi s.a.w. tidak melarang mukhabarah. Beliau hanya bersabda :”Seseorang mempersilakan saudara muslimnya untuk menggarap tanahnya, tanpa sewa adalah lebih baik daripada dia memungut sewa tertentu.” (Bukhari dan Muslim).
a.Pensyari’atan muzara’ah
            Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
b.Penanggung Modal Muzara’ah
            Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
c.Yang Tidak Boleh Dilakukan Dalam Muzara’ah
            Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
d.Hukum Muzara’ah
            Muzara’ah adalah seorang yang memberikan lahan kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut.
Ibnu Abbas berkata, “sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya, hanya saja beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memberi kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlah tertentu kepadanya.” (Al Bukhari)
Hukum-hukum muzara’ah :
• Masanya harus ditentukan.
• Bagian yang disepakati harus diketahui.
• Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah, jika dari penggarap namanya mukhabarah dan ini dilarang, sesuai hadits dari Jabir berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam melarang mukhabarah.” (HR Ahmad dengan sanad shahih).
• Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat sisanya sesuai kesepakatan berdua, maka akadnya batal.
• Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzara’ah. Rafi bin Khadij berkata, “Adapun emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya.”
• Orang yang mempunyai tanah lebih disunnahkan memberikan kepada saudara seagama tanpa kompensasi. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah lebih, hendaklah ia menanamnya atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari). “Jika salah seorang dari kalian memberikan kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlh tertentu kepadanya.” (HR Bukhari).
• Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. Hadits yang dibawakan Imam Ahmad ditafsirkan kepada muzara’ah, bukan sewa tanah.
3. JI’ALAH, ARIYAH ( pinjam-meminjam), RAHN (gadai) dan HIWALAH
A. Ji’alah (Sayembara)
            Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”. Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan . Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
A. Rukun ji’alah
1. Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2. Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang lain.
3. Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4. Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
 B. Mu'amalat : Pinjam-meminjam ('ariyah)
            Al-'ariyah menurut bahasa artinya sama dengan pinjaman, sedangkan menurut istilah syara' ialah aqad berupa pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikannya setelah diambil manfaatnya.
Allah SWT berfirman :
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah : 2)

Rasulullah SAW bersabda :
"Dan Allah mennolong hamba-Nya selam hamba itu mau menolong sudaranya."

Dari Abu Umamah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda : "Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang berhutang, dan hutang itu wajib dibayar". (HR. At-Turmudzi).
            Hukum asal pinjam-meminjam adalah sunnah sebagaimana tolong-menolong yang lain. Hukum tersebut dapat berubah menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Hukum pinjam-meminjam juga bisa menjadi haram bila untuk mengerjakan kemaksiatan.
1. Rukun Pinjam-meminjam
Orang yang meminjamkan syaratnya :
Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan.

Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang meminjamkan.
Orang yang meminjam syaratnya :
Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam karena keduanya tidak berhak menerima kebaikan.

Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.
Barang yang dipinjam syaratnya :
Ada manfaatnya.
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.

Aqad, yaitu ijab qabul.
            Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan perjanjian yang tetap.

Kewajiban Peminjam
Mengembalikan barang itu kepada pemiliknya jika telah selesai.
Rasulullah SAW bersabda :
"Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar". (HR. Abu Dawud)

Mengganti apabila barang itu hilang atau rusak.
            Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin Umayyah, bahwa Nabi SAW pada waktu perang Hunain meminjam beberapa buah baju perang kepada Shafwan. Ia bertanya kepada Rasulullah : "Apakah ini pengambian paksa wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab : "Bukan, tetapi ini adalah pinjaman yang dijamin (akan diganti apabila rusak atau hilang)". (HR. Abu Dawud)
Merawat barang pinjaman dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda :
"Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu". (HR. Ahmad)

C. Sewa-menyewa ( al-Ijaraah)
Kata "al-ijaarah" menurut bahasa artinya upah atau sewa, sedangkan menurut istilah syara' ialah memberkan sesuatu benda kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan ketentuan orang yang menerima benda itu memberikan imbalan sebagai bayaran penggunaan manfaat barang yang dipergunakan.
Allah SWT berfirman :
"Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut." (QS. Al-Baqarah : 233)

Rasulullah SAW menyatakan sebagai berikut :
"Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berbekam kepada seseorang dan beliau memberikan upah kepada tukang bekam tersebut". (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hukum sewa-menyewa adalah mubah (boleh) dan dapat berubah menjadi haram apabila sewa-menyewa untuk barang maksiat.
Rukun Sewa-menyewa
1. Orang yang menyewa. 2. Orang yang menyewakan. 3. Benda yang disewakan. 4. Upah (bayaran) sewa-menyewa. 5. Aqad.

Syarat Sewa-menyewa
Orang yang menyewa dan yang menyewakan disyaratkan :
1. Baligh (dewasa)  2. Berakal (orang gila tidak sah melakukan sewa-menyewa)  3. Dengan kehendak sendiri (tidak dipaksa)
Benda yang disewakan di syaratkan :
1. Benda itu dapat diambil manfaatnya  2. Benda itu diketahui jenisnya, kadarnya, sifatnya, dan jangka waktu disewanya 3. Sewa (upah) harus diketahui secara jelas kadarnya.
            Sewa-menyewa (ijaarah) berakhir atau batal jika benda yang disewa itu rusak/hilang sehingga tidak dapat diambil manfaatnya. Jika rusak disebabkan kecerobohan atau kelalaian penyewa, maka penyewa dapat dituntut ganti rugi atas kerusakan itu. Sebaliknya jika penyewa sudah memelihara barang sewaan dengan sebaik-baiknya tetapi benda itu rusak, maka penyewa tidak wajib mengganti. Sewa-menyewa juga berakhir jika telah habis masa yang dijanjikan.

D. Rahn (gadai)
            Pengertian gadai menurut istilah syara' ialah penyerahan suatu benda yang berharga dari seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam hutang. comgan borg (jaminan) adalah benda yang dijadikan penguat dalam hutang-piutang itu. Borg dalam bahsa fiqih disebut "ar-rahn".
            Benda sebagai borg ini akan diambil oleh yang berutang jika hutangnya telah dibayar. Jika waktu pembayaran telah ditentukan telah tiba dan hutangnya belum dibayar, maka borg itu dapat dijadikan sebagai pengganti pembayarn utang, atau borg itu dijual untuk pembayaran hutang dan jika ada kelebihannya akan dikembalikan kepada orang yang berhutang.
Allah SWT berfirman :
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)." (QS. Al-Baqarah : 283).

            Hukum gadai ialah sama seperti hutang-piutang yaitu sunnah bagi yang memberikan hutang (menerima borg) dan mubah bagi yang berhutang (menyerahkan borg/jaminan).
Rukun gadai :
  • Orang yang menggadaikan atau yang menyerahkan jaminan.
  • Orang yang memberi hutang atau yang menerima jaminan. Kedua orang ini disyaratkan orang yang berhak membelanjakan hartanya.
  • Barang yang menjadi jaminan disyaratkan tidak rusak sebelum sampai kepada pembayaran hutang.
  • Hutang atau sesuatu yang menjadikan adanya gadai.
  • Aqad (ijab dan qabul).
  • Pemanfaatan Barang dan Jaminan (borg)
Perbedaan Pemanfaatan Gadai dan Barang Jaminan.
            Kebiasaan yang berlaku di Indonesia, pemanfaatan barang jaminan tetap pada pemilik barang jaminan itu. Misalnya orang yang berhutang kepada orang lain dengan manjadikan sawahnya sebagai jaminan dalam hutang-piutang, maka pemanfataan sawah itu tetap pada pemiliknya.
            Di dalam gadai, pemanfaatan barang jaminan pada orang yang menerima gadai (orang yang menghutangi). Sebagai contoh, orang yang menggadaikan sawahnya kepada orang lain, maka pemanfaatan sawah itu adalah pada orang yang menerima gadai sampai hutang orang yang menggadaikan sawah itu dibayarkan. Praktek gadai semacam ini sebenarnya kurang sesuai dengan syariat Islam, karena hal ini tidak terdapat nilai tolong-menolong antar sesama, bahkan mungkin sebaliknya terjadi pemerasan.
D. Hiwalah (perpindahan hutang)
            "Al-hiawalah" ialah suatu perpindahan hutang dari seseorang kepada orang kedua karena orang kedua ini mempunyai hutang kepada orang pertama. Contoh, Ali mempunyai hutang kepada Abbas sebesar Rp. 3.000 dan Salim mempunyai hurang kepada Ali sebesar Rp. 3.000. Kemudian Ali memindahkan hutangnya kepada Salim dengan persetujuan Abbas. Dengan demikian Ali sudah tidak mempunyai hutang lagi kepada Abbas karena sudah dilimpahkan kepada Salim.
Rasulullah SAW bersabda :
"Memperpanjang pembayaran hutang bagi orang yang mampu termasuk aniaya, maka apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada yang lain hendaklah diterima perpindahan itu asalkan orang yang menerima perpindahan itu sanggup membayarnya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).

            Hukum hiwalah adalah mubah/boleh sepanjang tidak merugikan salah satu pihak dan tidak ada unsur penipuan. Dasar kebolehannya adalah hadits di atas.
            Rukun hiwalah :
  • Orang yang berhutang dan berpiutang (yang menghutangi) 
  • Orang yang berpiutang
  • Orang yang berhutang
  • Ada hutang dari orang yang berpiutang kepada yang orang yang berpiutang yang lain  
  • Ada hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang berhutang.
  • Aqad, yaitu ijab dan qabul









DAFTAR PUSTAKA

  1. Fiqih Islam Lengkap, Drs. H. Moh. Rifa’i
  2.