Senin, 11 Januari 2010

makalah riba

1. DEFINISI RIBA
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah : 10), yakni siksa yang bertambah terus.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…”(QS. Al-Hajj: 5)
2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:
tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif
1. Tambahan kwantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kwantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kwantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kwantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
2. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
3. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
( تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ)
Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya,
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.
Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dalam syariat ada tafadhul antara kedua dengan ganti dan ada ta`khir dalam menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .”
Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan pada maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”
memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tidak disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah mengharamkan riba.”
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dengan sanad hasan} Al-Marwazi dalam Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا
“Salaf pada hablul habalah adalah riba.” }
Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perut telah melahirkan maka aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yg tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.”
2. HUKUM RIBA
Riba dengan segala bentuk adalah haram dan termasuk dosa besar dengan dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.”
b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”
Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.” Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ . Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi. Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yg Terkena Hukum Riba Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
“Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.”
Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr
4. Sya’ir
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya? Untuk mengetahui lebih detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma garam burr dan sya’ir. Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut:
a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian. Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang. Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya. Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.”
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada.
Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.” Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak. Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak. Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya. Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya. Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer. Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak. Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak. Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah .
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib .
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui.
3. APLIKASI ATURAN-ATURAN AGAR TERHINDAR DARI RIBA
A. Sedikit banyaknya jumlah bunga yang diambil.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak fuqoha kontemporer yang mencari-cari alasan agar penarikan bunga dalam hutang piutang diperbolehkan. Salah satu alasan mereka adalah dengan membedakan riba yang berjumlah sedikit ( usury ) dan riba yang berjumlah banyak ( interest ). Menurut mereka, riba yang diharamkan oleh Allah dalam Al- Qurân adalah riba dalam jumlah besar. Tapi diperbolehkan jika dalam jumlah yang sedikit. Untuk menguatkan pendapat tersebut, mereka mengutip ayat 130 dari surah ‘Ali Imrân.
Dengan menggunakan ayat di atas, mereka berkata bahwa riba yang dilarang adalah riba yang berlipat- lipat. Secara sepintas, ayat di atas memang hanya melarang pengambilan bunga yang berlipat- lipat. Namun jika kita memahami ayat ini dengan mencermati kembali ayat- ayat lainnya secara komprehensif, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa riba, apapun bentuknya mutlak dilarang.
Redaksi berlipat-ganda pada ayat ini menegaskan karakteristik riba secara umum. Bahwa riba cenderung berkembang dan berlipat ganda bersama tempo yang dihabiskan. Bukan mengenai pengharaman pengambilan riba dalam jumlah yang banyak dan memperbolehkan pengambilannya dalam jumlah yang sedikit. Pemahaman terbalik seperti inilah yang digunakan oleh para pemikir-pemikir kontemporer untuk menguatkan pendapat mereka. Maka dari itu, kita harus selalu berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap nash tersebut. Sebab, jika kita terus menggunakan metode pemahaman ayat- ayat Al-Qurân seperti itu (mafhum mukhâlafah), maka hal ini bisa sangat berbahaya.
Sebagai contoh, pada ayat di atas kita dilarang untuk memakan daging babi. Jika kita menafsirkan ayat tersebut menggunakan mafhum mukhâlafah, berarti yang dilarang oleh Allah SWT untuk dimakan lewat ayat ini adalah daging babi saja. Sementara darah, lemak dan lainnya tidak disebutkan. Maka apakah darah dan lemak halal, dengan melihat tidak disebutnya darah dan lemak babi di ayat ini?
Kembali kepada pembahasan ayat 130 surah ‘Ali Imrân tadi. Kita tidak dapat mengatakan bahwa yang banyak tidak diperbolehkan, sedangkan yang sedikit diperbolehkan. Apakah dalam dilarangnya meminum khamar ada pengecualian dalam jumlah sedikit dan tetap mengharamkan meminumnya dalam jumlah banyak?
Dan jika dikaitkan ke ayat-ayat sebelumnya mengenai pengharaman riba, tidak ada celah untuk mengatakan bahwa pengambilannya dalam jumlah sedikit diperkenankan. Sebab tidak ada penjelasan satu pun dari ayat- ayat tersebut yang membedakan antara riba dalam jumlah sedikit mupun banyak.
B. Penggunaan uang pinjaman untuk kebutuhan tersier.
Beberapa pemikir berpendapat bahwa jika pinjaman tersebut ditujukan bagi fakir miskin, maka hukum penarikan bunga di dalamnya adalah haram. Karena mereka benar- benar butuh untuk memenuhi kebutuhan utama atau primer mereka . Dan jika kita menarik bunga dari mereka, berarti sama saja kita tidak membantu mereka. Melainkan menzalimi mereka. Sebaliknya, jika yang meminjam di sini adalah orang kaya. Riba yang mereka ambil dari hutang orang- orang kaya, maka halal hukumnya. Sebab, menurut mereka peminjam di situasi ini menggunkan uang pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan tersier mereka. Yang kalaupun ditarik bunga dari uang pinjaman tersebut, tidak akan menzalimi orang kaya tersebut.
Menanggapi pandangan ini, ditegaskan kembali bahwa qardh atau pinjaman apapun baik digunakan untuk kebutuhan primer maupun tersier oleh sang peminjam, selama didalamnya terdapat bunga. Maka ini adalah riba yang diharamkan.
Firman Allah SWT dalam Al-Qurân, al-Baqarah ayat 279 dan 280:
فلكم رؤوس أموالكم لا تظلمون و لا تظلمون
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
و ان كان ذو عسرة فنظرة الى ميسرة
" Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang."
Kedua ayat yang membahas mengenai qardh ini, tidak membedakan antara peminjaman baik yang kemudian digunakan untuk kebutuhan tersier maupun kebutuhan primer. Begitu juga dengan sabda-sabda Rasulullah mengenai qardh . Tidak ada pengecualian dalam penarikan bunga qardh untuk kebutuhan tersier di atas kebutuhan primer.
Memang, pengertian qardh dalam perspektif fikih Islam, adalah akad irfâq . Dalam artian sebenarnya diperuntukkan kepada para muhtâjĭn. Dengan tujuan tolong-menolong antara seorang peminjam yang membutuhkan pinjaman dengan orang yang pemberi pinjaman. Kendatipun demikian, kalaupun ada seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang kaya, tidak diperkenankan menjadikan didalamnya sebuah bunga tertentu.
C. Penggunaan uang pinjaman untuk biaya produksi.
Islam mengharamkan semua jenis riba qardh tanpa pengecualian dan tanpa membedakan antara qardh istihlâkiy (digunakan untuk kebutuhan komsumtif) atau qardh intâji y (digunakan untuk kebutuhan produktif).
Dan mengenai qardh tijâriy (digunakan untuk modal berdagang), jenis qardh ini telah ada di dalam masyarakat arab pada zaman Rasulullah, bahkan di pada masyarakat Yunani. Dan pengecaman terhadap penarikan bunga bukan hanya dilakukan oleh Islam. Tapi juga dilakukan oleh para ahli filsafat Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Begitu juga dengan Cato dan Cicero, para ahli filsafat Romawi. Mereka menolak praktek pengambilan bunga dengan alasan yang kurang lebih sama, bahwa hal ini bisa menyebabkan perpecahan, juga mengenai fungsi asal uang yaitu sebagai alat tukar, bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa riba di dalam hutang-piutang adalah tambahan apapun terhadap uang pokok ( رأس المال ). Dan di dalam ِِ Al-Qurân maupun hadits tidak satu ayat pun yang membedakan antara qardh intâjiy (produktif) dan qardh istihlâki y (komsumtif) .
Para ulama sejak zaman Rasul hingga saat ini tidak pernah membedakan antara pinjaman yang apakah kemudian digunakan untuk kegiatan produktif atau komsumtif. Maka pengambilan riba dari keduanya tetap haram hukumnya. Dan mereka mengambil kaedah yang sama di dalam pengharaman riba ini, yaitu:

كل قرض جر (للمقرض) نفعا (مشروطا) فهو ربا.
Meskipun qard adalah akad mu'awwanah dan irfâq, bukan berarti bahwa qardh diperbolehkan untuk dibungakan kalau tidak dengan tujuan memberikan pertolongan kepada orang yang benar-benar butuh. Seperti kepada orang yang memiliki banyak uang untuk mereka gunakan di dalam perkembangan bisnis mereka.Dan solusi lainnya jika mereka tetap menginginkan uang mereka berkembang, mereka bisa menggunakannya dalam mudharabah . Dimana mereka akan tetap mendapat keuntungan jika untung, dan sama-sama menanggung rugi jika pada suatu saat terjadi kerugian di dalam mudharabah tersebut.
D. Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli
Riba yang disyaratkan dalam Qardh dan jual beli meski merupakan kesepakatan kedua belah pihak secara terang-terangan ataupun secara tersirat, hukumnya haram sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan jika riba tersebut tidak disyaratkan dan diberikan ketika pelunasan utang atau setelahnya maka hukumnya boleh pada qardh menurut kesepakatan ulama.
Lalu bagaimana dengan posisi riba yang tidak disyaratkan dalam jual beli?
Riba fadhl, maupun riba nasaa' pada tranksaksi jual beli, jika tidak disyaratkan hukumnya boleh, sebagaimana yang terjadi pada qardh. Namun ada beberapa catatan untuk permasalahan ini:
• Dalam pembolehan riba yang tidak disyaratkan pada qardh didukung dengan hadis yang kuat, namun tidak demikian halnya dengan pembolehannya dalam jual beli
• Pada hadis yang menerangkan tentang riba dalam jual beli, tidak dibedakan antara riba yang disyaratkan dengan yang tidak, dan antara riba fadhl dan riba nasaa'.
• Perbedaan pondasi yang membedakan antara qardh dan jual beli; Qardh berlandaskan tolong menolong; non komersil dan jual beli berlandaskan keadilan bagi kedua belah pihak dan komersil.
• Para ulama juga belum memperdebatkan antara keharaman pada riba fadhl dan riba nasaa' dan keharaman riba yang disyaratkan dengan yang tidak.
E. Tempo pembayaran utang dan tempatnya
Waktu pembayaran hutang adalah jatuh tempo yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, atau ketika batalnya transaksi. Batalnya akad bisa terjadi dengan meninggalnya salah satu pihak, atau karena pembatalan dari salah satu pihak meski sebelum jatuh tempo. Tentu saja dalam penetapan tempo pelunasan hutang, jangan sampai merugikan salah satu pihak; seperti dalam peminjaman gandum, kemudian mensyaratkan pembayarannya ketika harga gandum tersebut mahal. Adapun tempat pelunasan hutang adalah tempat dimana transaksi peminjaman terjadi. Namun sebagian ulama ada yang membolehkan ditempat lainnya jika hal tersebut tidak melanggar kesepakatan kedua belah pihak.
F. Aplikasi Qardh dalam perbankan Syari’ah
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ranah Qardh adalah akad non komersil, sehingga otomatis posisinya adalah sebagai solusi pamungkas. Karena dasar dari tranksaksi ini adalah asas tolong menolong yang tidak memberi untung apa-apa bagi yang menghutangkan kecuali dari Allah.
Untuk lebih jelasnya bisa kita teliti dari hadis berikut ini:
“Dari Anas bin malik berkata, berkata Rasulullah “Aku melihat pada waktu malam di-isra’-kan, pada pintu Surga tertulis: Shadaqah dibalas 10 kali lipat dan Qardh18 kali. Aku beratanya: ‘Wahai Jibril mengapa Qardh lebih utama dari Shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya sedangkan peminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan. ‘ (H.R. Ibnu Majah- no 2422, kitab al ahkam dan Baihaqi).”
Tidak bisa dipungkiri keraguan akan menghinggapi kita, mengingat transaksi non profit ini dilakukan oleh sebuah Bank yang bukan organisasi sosial, tapi adalah badan usaha bersifat komersil. Keraguan ini bisa jadi seputar dari mana asal uang yang dipinjamkan, lalu pengembaliannya; apakah benar-benar senilai dengan nominal peminjaman yang berarti tidak memberi keuntungan finansial bagi Bank? Namun pada kenyataannya transaksi fee based service jenis ini tersedia di Bank Syari’ah.
A. TAUBAT

Didalam bahasa Arab ada beberapa kata untuk menunjukan kata kembali. Kata yang paling kita ketahui adalah kata ‘Id atau ‘Aud, berasal dari kata ‘Âda-Ya’ûdu-’îdan-wa-’audan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri artinya kembali kepada fitrah. Ada juga yang mengatakan fitr di situ berasal dari kata futhûr sehingga Idul Fitri diartikan bahwa kita kembali lagi kepada kegiatan makan siang hari seperti biasa.
Kata lain untuk kembali dalam bahasa Arab adalah Rujû’ dari kata raja’a-yarji’u-rujû’an. Di kalangan kita kata Rujû’, yang artinya kembali, hanya digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Jadi ada nikah, talak, rujuk. Rujû’ artinya kembali lagi, suami yang sudah pergi kembali lagi. Di dalam Al-Qur’an kata Ruju’ lebih sering digunakan untuk menunjukan kembalinya kita kepada Allah swt. Misalnya kita menyebut Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua Rujû’. Orang yang kembali disebut raji dan tempat kembali disebut marji’. Seperti dalam ayat Al-Qur’an : “Ilayya marji’ukum, Kepada Akulah kembali semua” (QS 3:55).
Sebelum kalimat itu Tuhan berkata: “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum. Ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Akulah tempat kembali semua”. Sekarang kita ketemu lagi dengan kata lain untuk kembali yaitu anâba-yunibu-inâbah. Karena keindahan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak mengulangi kata-kata yang sama walaupun artinya sama. Penulis yang bagus mengganti untuk makna yang sama, kata-kata yang lain untuk menunjukan keindahan. Ciri orang yang tidak begitu pintar menyusun kata-kata ialah ia mengulang terus-menerus. Sayangnya bahasa Indonesia kurang begitu kaya dibanding dengan bahasa Arab. Tidak ada kata lain untuk kembali. Sehingga kita menerjemahkan “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum” menjadi “Ikutilah orang-orang yang kembali kepada-Ku dan kepada Akulah tempat kembali kamu semua”. Kita memakai kata kembali lagi, karena tidak ada kata lain. Sebetulnya ada kata pulang, tapi agak tidak enak. Jadi untuk kata kembali, kita tadi ada ‘Id, Ruju’, dan Inabah.
Satu lagi kata yang berarti kembali dalam bahasa Arab yang sangat khas adalah Taubat. Taubat berasal dari kata Tâba- Yatûbu-Taubatan. Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb. Kalau kita terjemahkan Tawwâb sebagai orang yang banyak bertaubat, maka kita akan menemukan di dalam Al-Qur’an, yang disebut paling banyak bertaubat itu bukan saja manusia tetapi juga Tuhan. Tidak hanya Makhluk tetapi juga Khalik. Misalnya Allah menyebut orang-orang yang banyak bertaubat dan senang melakukan kesucian dengan kata-kata: Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian dirinya” (QS 2:222).
Tetapi kata tawwãb juga dinisbahkan kepada Allah swt, “Innahu huwat tawwãbur rahim. Sesungguhnya Allah itu yang paling banyak bertaubat dan yang paling penyayang” (QS 2:37). Biasanya kita kebingungan kalau mengartikan bahwa Allah yang paling banyak bertaubat. Sebab dalam bahasa Indonesia, kata taubat berarti ampunan. Sehingga kalau kita baca komik, orang-orang yang dipukul akan menjerit “Tobat!”. Taubat diartikan sebagai ampunan sehingga taubat sudah kehilangan makna kembalinya. Untunglah dalam zikir-zikir kita, kita masih menyebut Allah At-Tawwãb.
Jadi untuk menunjukan kata kembali dalam bahasa Arab kita gunakan Id, Ruju’, Inabah dan Taubat. Di dalam tasawuf, kata taubat dan inabah itu, menunjukan dua stasiun yang berbeda, dua maqam yang berbeda. Dalam kitab Manãjilus Sãirin, dinyatakan bahwa dalam perjalanan kita menuju Allah swt, taubat adalah maqam yang kedua dan inabah adalah maqam yang keempat. Maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah swt akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan, akan penyia-nyiaan waktu kita selama ini, dan akan kejatuhan kita dari Allah swt. Bisa jadi kita disadarkan oleh satu kejadian yang menimpa kehidupan kita. Bisa juga kita disadarkan oleh nasihat orang lain. Bisa juga kita disadarkan karena ikut pesantren kilat. Dan bisa juga kita disadarkan karena perenungan kita sendiri. Allah mempunyai berbagai cara untuk menyadar-kan. Tapi dalam tasawuf atau menurut ayat Al-Qur’an, paling banyak orang itu disadarkan karena musibah.
Yang disebut yaqzhah itu kita sebut Idul Fitri. Pada waktu yaqzhah itu, kita kembali pada fitrah kita. Menurut Islam kita semua mempunyai fitrah kesucian yaitu keinginan kita untuk kembali kepada Allah swt. Keinginan itu ada jauh dalam hati kita. Allah tempatkan dalam hati kita sebuah lampu dan itu adalah lampu fitrah yang sering kali tertutup. Al-Qur’an menggambarkan hati itu seperti misykat. “Allahu nûrus samãwati wal ardh, matsalu nûrihi kamiskah, fîha misbah. Perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat” (QS 24:35). Misykat itu dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik. Bayangkan kubah mesjid atau kuburan-kuburan biasanya di atasnya ada tempat seperti mangkuk terbalik.
Di dalam ilmu Antropologi itu menjadi pembahasan mengapa tempat-tempat ibadah selalu berupa mangkuk-mangkuk yang terbalik. Misalnya candi Borobudur, katedral-katedral, dan mesjid-mesjid. Sampai ada seorang arsitek di Bandung yang tidak suka ada kubah di mesjid, karena menurutnya itu sama dengan agama Budha. Dan ajaibnya hampir semua agama punya kecenderungan untuk menganggap sesuatu yang yang seperti mangkuk terbalik itu sebagai sesuatu yang suci. Di mihrab ada ruang seperti mangkuk terbalik ini. Kalau mihrabnya kecil dan menempel di dinding, kita simpan lampu di situ. Al-Qur’an menggambarkan hati kita itu seperti misykat dan di dalamnya ada misbah (lampu). Tetapi kebanyakan misbah kita itu tertutup. Cahaya lampu di dalam itu tidak bisa keluar, cahaya fitrah kita itu tidak bisa keluar karena tertutup dosa-dosa kita. Karena perhatian kita kepada dunia.
Tetapi pada orang-orang tertentu yang membersihkan hatinya secara sungguh-sungguh, misykat itu menjadi sangat cemerlang seperti kaca. Al-Qur’an mengata-kan “Kacanya itu seakan-akan bintang yang cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon Zaitun yang diberkati, yang tidak di timur dan tidak di barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya” (QS 24:35).
Ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang bisa ditafsirkan secara tasawuf, atau secara fiqih; secara lahir, dan secara batin. Tetapi ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa ditafsirkan secara tasawuf, secara batiniah dan tidak bisa ditafsirkan secara fikih dan lain-lain. Salah satunya itu ayat nur di atas. Imam Al-Ghazali menulis sebuah kitab berjudul Misykat Al-Anwar (misykat dari cahaya) yang isinya hanya membahas khusus ayat ini. Hakim At-Tirmidzi dan juga Syaikh Abdul Qadir masing-masing menulis sebuah kitab tentang makna ayat ini. Ayat ini jadi perbincangan di kalangan tasawuf, tapi tentu saja kita tidak akan membahasnya di sini.
Menurut Al-Qur’an, hati kita ini mempunyai lampu fitrah yang membawa kita kepada kesucian dan membawa kita untuk merindukan Allah swt. Kita ini berasal dari Dia dan jauh di dalam lubuk hati kita yang paling dalam, yang kita sebut fitrah, ada kerinduan kita kepada Allah swt. Tetapi kerinduan itu sering kita lupakan. Mungkin karena terpesona di tempat yang baru datang. Seperti ketika Anda merantau ke luar negeri. Pertama kali datang, Anda terpesona. Karena kehidupan yang senang, Anda tidak ingat untuk kembali. Yang memanggil kita untuk kembali itu adalah cahaya fitrah, lampu yang ada di dalam misykat hati kita. Misykat itu adalah bagian hati kita yang paling dalam dan masih menyimpan cahaya Ilahi itu. Sinarnya tidak kelihatan karena kita terlalu terpesona dengan kehidupan ini. Kerinduan itu masih ada. Lalu, kapan kerinduan itu tiba-tiba muncul dalam satu saat yang disebut yaqzhah? Kapan timbul kesadaran untuk kembali ke fitrah itu?
Kalau orang itu mendapat musibah, biasanya ia akan kembali kepada Allah swt. Karena itu Nabi bersabda kepada orang yang mengeluh karena musibahnya, “Sesungguh-nya tidak ada baiknya orang yang tidak pernah mendapat musibah”. Kalau mendapat musibah, orang itu biasanya kembali kepada Allah swt. Jadi musibah itu bagus, karena mengembalikan kita kepada fitrah lagi. Dengan musibah, kita mengalami Idul Fitri yang sejati, Idul Fitri yang sebenarnya. Kita kembali membersihkan misykat hati kita dan mulailah perlahan-lahan cahaya Ilahi itu keluar.
Al-Qur’an juga bercerita tentang yaqzhah atau kembali kepada fitrah ini dengan menggambarkan orang yang berada di dalam perahu. Ketika perahu berada di tengah lautan, tiba-tiba datang badai yang mengombang-ambingkan perahu itu. Semua kembali kepada fitrahnya, berdo’a kepada Allah dengan ikhlas. Tetapi ketika Allah mendamparkan mereka ke daratan dalam keadaan selamat, mereka kembali musyrik. Musyrik artinya meninggalkan fitrahnya lagi. Itu kata Al-Qur’an. Sekarang ini bangsa Indonesia sedang ditimpa badai. Menurut koran, banyak orang pergi ke dukun. Jadi di Indonesia ini ada dua pilihan kalau ditimpa musibah. Yang pertama kembali kepada Allah dan itulah Idul Fitri. Yang kedua ialah kembali kepada dukun.
Dari yaqzhah orang meningkat kepada taubat, maqam yang kedua. Dari taubat naik kepada maqam yang ketiga yaitu muhasabah. Setelah maqam muhasabah barulah maqam inabah. Yang akan kita bicarakan adalah taubat dan inabah. Kembali kepada kata taubat, kita punya istilah lain selain taubat yaitu istighfãr. Kita menyebut istighfãr juga dengan taubat. Apa perbedaan istighfãr dan taubat? Istighfãr artinya bukan kembali. Istighfãr ini berasal dari kata ghafara yang artinya menutup. Perban untuk menutup luka dalam bahasa Arab klasik, atau satu penutup kepala untuk melindungi kepala dari gangguan, semacam helm, disebut mughfar. Kalau ditambahkan alif, sin dan ta sebelum ghafara, itu berarti meminta atau mengusahakan memperoleh ghafr. Istaghfara artinya kita meminta agar di tutup dari hal-hal yang menyakitkan. Dalam Al-Qur’an kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar saja tidak disertai dengan taubat, tetapi kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar dengan disertai taubat.
Misalnya untuk ayat-ayat yang berisi perintah istighfar saja dan tidak ada perintah taubat di dalamnya adalah Al-Qur‘an surat 70 ayat 10 dan 11 yang berisi perintah Nabi Nuh kepada kaumnya yang dilanda musim kekeringan yang panjang. Nabi Nuh berkata: “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, Dia Maha Pengampun. Dia menurunkan hujan dari langit. Nanti Allah akan turunkan hujan dari langit dalam jumlah yang banyak”. Contoh lainnya ialah ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 27 ayat 46) “Sekiranya kamu beristighfar kepada Allah, maka kamu disayangi Allah” Juga dalam Al-Qur‘an surat 2 ayat 199, “Beristighfarlah kamu kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Al-Qur‘an surat 8 ayat 33 menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab mereka, selama kamu Muhammad berada di tengah-tengah mereka. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, selama mereka itu istighfar”. Itu ayat-ayat perintah istighfar yang tidak disertai dengan perintah taubat.
Ada pula ayat-ayat yang lain di mana istighfar disertai dengan taubat. Misalnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 3, “Beristighfar-lah kamu kepada Tuhan-Mu dan bertaubatlah kamu kepada-Nya, nanti Allah akan berikan kepada kamu kehidupan yang sangat baik sampai waktu yang ditentukan”. Atau ucapan Nabi Hud kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 52, “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, kemudian bertaubatlah kamu kepada-Nya. Nanti Allah akan turunkan kepada kamu hujan dalam jumlah yang banyak.” Jadi taubat itu datang setelah istighfar. Seperti ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 61: “Dialah yang membuat kamu hidup di dunia ini dan menyuruh kamu memakmurkan negeri ini. Kemudian istighfarlah kamu kepada-Nya dan bertaubatlah kamu kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang dan penuh kecintaan”. Lalu apa yang disebut taubat dan apa yang disebut istighfar? Istighfar artinya memohonkan maghfirah. Apa yang disebut dengan maghfirah? Menurut asal katanya, maghfirah berarti penutup. Istighfar berdasar-kan artinya bermakna bahwa kita meminta agar dijaga dari akibat-akibat dosa kita, karena setiap dosa menimbulkan akibat-akibat buruk di dalam kehidupan kita.
Orang-orang Hindu percaya betul dengan apa yang disebut karma. Karma itu sebetulnya akibat buruk dari dosa. Dengan istighfar kita meminta perlindungan agar kita dijaga dari akibat-akibat buruk dari dosa itu. Dengan beristighfar kita memohon kepada Allah agar akibat-akibat dosa kita itu ditutup. Kalau Anda bertengkar, akibat dosanya adalah Anda akan cepat celaka. Imam Ali kw berdoa “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang mempercepat kecelakaan.” Imam Ali kw ditanya “Apa ada dosa yang mempercepat kecelakaan?” “Ada,” kata Imam Ali, “yaitu memutuskan silaturrahmi.” Salah satu contoh dosa yang memutuskan silaturrahmi adalah bertengkar. Akibatnya adalah mempercepat kecelakaan. Ada pula dosa-dosa yang menyempitkan rejeki, misalnya dosa membuat fitnah, mengadu domba orang, durhaka kepada orang tua, atau menyakiti hati orang miskin.
Menyakiti hati orang miskin akan mendatangkan kerugian, apalagi kalau orang miskinnya itu kekasih Tuhan. Ketika kita beristighfar, kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari akibat-akibat dosa. Dalam bahasa Arab, akibat-akibat dosa itu disebut tabi’ah yang artinya akibat-akibat buruk dari sesuatu. Ketika kita mau makan ada satu doa, “Allãhumaj ‘alhu rizqan thayyiban lã tabi’ata lahu wa lã hisãb.Ya Allah, jadikan ini rejeki yang baik, yang tidak ada tabiahnya, tidak ada akibat-akibat buruk selanjutnya, dan tidak ada perhitungan, serta tidak ada pemeriksaan”; dilanjutkan dengan Allãhuma bãrik lanã ...dan seterusnya. Umumnya kita berdoa dari Allãhuma bãrik lanã saja, karena kita tahu umumnya rejeki kita tidak thayib, ada tabi’ah-nya dan pasti dihisab. Jadi kita lupakan saja do’a itu. Tabiah berasal dari kata taba’a yang artinya mengikuti. Tabi’in artinya orang-orang yang mengikuti. Jadi Tabi’ah itu adalah hal-hal yang mengikuti sesuatu. Setelah kita berbuat dosa akan ada tabi’ah-nya, ada keburukannya dari dosa itu.
Orang Inggris menerjemahkan kata tabi’ah itu dengan kata consequence. Di dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi konsekuensi. Istighfãr berarti memohon kepada Allah agar kita dipelihara dari konsekuensi dosa, dari akibat-akibat dosa, atau dari hal-hal buruk yang terjadi karena dosa kita. Sehingga Istighfãr menurut Ibnu Al-Qayyim Al-Jawjiyyah adalah memohon agar dilindungi dari keburukan atas apa yang sudah kita lakukan sebelum ini.
Adapun taubat berarti ruju’, kembali dari perbuatan buruk yang pernah kita lakukan sebelumnya kepada perbuatan baik. Ada ulama yang menyebutkan taubat adalah “ar-ruju’ minal mukhalafah ilal muwafaqah” Kita kembali dari menentang Tuhan kepada menyesuaikan diri dengan perintah Tuhan. Jadi, taubat berarti meninggalkan perbuatan buruk dan istighfar bermakna memohon agar kita diselamatkan dari akibat-akibat perbuat-an buruk. Meskipun demikian, belum tentu taubat itu menyelamatkan kita dari per-buatan-perbuatan buruk. Misalnya kolusi dan korupsi akan segera ditinggalkan atas saran IMF, tapi akibat-akibatnya masih terus berlangsung. Orang yang berzina, walaupun dia sudah bertobat, akibat dosa-dosanya masih akan ada. Istighfar itu memohon kepada Allah, agar akibat-akibat dari dosa itu dihapuskan Allah swt, agar kita dipelihara dari akibat dosa itu. Sekiranya kita dibukakan ke alam gaib dan kemudian kita melihat dosa-dosa kita beserta akibat dari setiap dosa itu, kita akan ketakutan. Kita akan segera ber-istighfar Astaghfirullãha abbi wa atûbu ilaihi.
Kita memohon supaya akibat-akibat dari dosa ini tidak berlanjut. Akibat-akibat dosa ini bisa berlanjut kepada keturunan atau kepada orang lain. Misalnya di Jerman, ibu-ibu hamil yang meminum obat penenang thalidomide, anaknya lahir cacat. Akibat dosa itu bisa mengenai orang yang bukan pelaku-nya. Bisa saja kita dipelihara dari akibat-akibat dosa, meskipun kita tidak taubat. Ada orang-orang yang terus menerus berbuat maksiat, Tuhan biarkan saja sampai waktu yang ditentukan. Al-Qur’an mengatakan: “Kami panjangkan angan-angan dia.” Bisa saja kita tidak langsung dihukum Allah, kita tidak langsung melihat akibat dosa kita ini. Dengan penuh kasih sayang, Tuhan menutupi akibat-akibat dosa kita ini. Bahkan keburuk-an-keburukan kita pun Tuhan tutupi, supaya tidak kelihatan oleh mahluk Allah yang lain. Saya sering berkata, “Kalau ada orang menjelek-jelekkan Anda, Anda tidak usah sakit hati. Karena orang itu sedang bertarung dengan Allah swt. Allah pekerjaanya adalah menutupi aib Anda dan menyebarkaan kebaikan Anda. Makin banyak orang itu menjelek-jelekkan Anda, makin banyak Allah menampakkan kebaikan Anda dan Allah pasti menang” Kerugian Anda yang suka menjelek-jelekkan orang lain itu adalah bahwa orang yang di jelek-jelekkan itu, namanya makin harum, sementara Anda sendiri bakal disempitkan rejekinya dan akan ada musibah-musibah lain untuk menyadarkan Anda. Believe it!
Kalau sudah begitu apa yang harus Anda lakukan? Disini ada perbincangan di antara para ulama. Kalau kita sudah memfitnah dan menggunjingkan orang lain, kita tidak usah menceritakan kepadanya kalau kita sudah memfitnah dia atau meng-gunjingkan dia. Yang harus kita lakukan adalah menyebarkan kebaikan orang yang sudah kita jelek-jelekkan. Sebagai tebusannya kita puji-puji dia, sebagaimana perilaku Allah. Kalau kita jelekkan orang, padahal kejelekan itu tidak ada padanya, itu namanya fitnah. Tapi kalau kita puji-puji orang, padahal kebaikan itu tidak ada padanya, itu namanya akhlak Allah. Karena seperti disebutkan dalam Doa Kumail, “Betapa banyaknya pujian baik dan indah, yang Kausebarkan tentang diriku, padahal aku tidak layak mendapat pujian itu”. Kalau Anda memuji orang lebih-kan dan hilangkan kejelekkannya.
Istighfar adalah memohonkan agar Allah swt memelihara kita dari akibat dosa-dosa kita. Karena itu dalam Al-Qur‘an disebutkan “Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka selama mereka ber-istighfar” (QS:8:33). Karena itu perbanyaklah beristighfar, supaya akibat-akibat dosa ini tidak menimpa kita. Nabi saw saja sering beristighfar. Sekali duduk Rasulullah saw baca istighfar sampai 70 kali. Dalam riwayat lain disebutkan 100 kali. Nabi saw memper-banyak istighfar padahal beliau adalah orang yang terpelihara dari dosa. Wirid kita adalah istighfar. Bila dosa itu terhadap Allah swt, kita harus melakukan istighfar dan taubat. Kita memohon kepada Allah agar tidak meng-hukum kita karena dosa-dosa kita dan kita lepaskan dosa-dosa yang kita lakukan. Kalau dosa itu kepada makhluk, kita juga istighfar dan taubat. Saya minta maaf kepada Anda dan hapuskan akibat-akibat dosa saya ini. Kalau masih ada tabi’ah-nya, berupa jengkel, tidak senang, marah, berarti Anda belum memaafkan secara tulus. Seperti kata Nabi Yusuf ketika memaafkan saudara-saudara-nya, “Tidak ada apa-apa lagi dalam hati saya kepada kalian pada hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian” (QS 12:92).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar