BAB II
Pembahasan
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN AL-QABISI
A. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah:
1. al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6. al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. al-jami’
9. al-Syiar (tentang aturan hidup)
10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
15. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)
16. al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
17. Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)).
18. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih
Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1) Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2) Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.
C. Metode Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1) Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2) Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4) Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.
D. Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
E. Hubungan Pendidik Dan Subjek Didik
1. Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
2. Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).
F. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*].
[*] inilah do’a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.
G. Riwayat singkat Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
H. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
1. 2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3). Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4). Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5). Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
KESIMPULAN
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Sedangkan Rasyid Ridha lebih menekankan kurikulum pada aspek muatan kurikulum ilmu agama dan umum, Implementasi dari kurikukum yang ia terapkan di Madrasah tampaknya memilah antara ruang ilmu peribadatan yang wajib dilakukan pada setiap pelajar. Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-Ibnu-miskawaih/
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar