PENGUASAAN METODE PEMBELAJARAN
“METODE DEMONSTRASI”
A. Pendahuluan
Menurut Dakiah Daradjat(2008 : 143) tidak ada metode yang “ jelek” atau metode yang “baik”. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan dengan penuh kepastian bahwa metode inilah yang “paling efektif” dan meyode itulah yang “paling buruk” karna hal itu amat bergantung kepada banyak faktor.
Yang paling terpenting diperhitungkan oleh seorang guru dalam menetapkan metode ialah mengetahui batas-batas kebaikan dan kelemahan metode yang akan dipergunakannya, sehingga memungkinkan ia merumuskan kesimpulan mengenai hasil penilaian/ pencapaian tujuan dari putusannyaitu. Hal itu dapatdiketahui dari cirri-ciri atau sifat-sifat metode, yang membedakan antara metode yang satu dengan metode yang lainnya.
Pada zaman frimitif kita ketahui bahwa pendidikan atau pengajaran atau latihan-latihan adalah identik dengan kehidupan manusia itu. Pengajaran atau latihan-latihan pada orang-orang terbelakang atau dengan katalain pada orang fremitif ditunjukan pada penguatan semangat roh dan jasmani. Pengajaran dan latihan diberikan oleh orang tua-tuakepada anak muda agar dapat bertahan atas kekerasan alam sekitar tempat mereka hidup. Latihan jasmani dimaksudkan agar kuat menahan pengaruh alam dan iklim serta mampu mencari nafkah hidup seperti berburu dan menangkap ikan.
B. Pembahasan
1. Pengertian Metode Demonstrasi
Menurut Dakiah Daradjat(2008 : 296) metode demonstrasi adalah metode mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik.
Memperjelas pengertian tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau lansung oleh anak didik.
Dengan metode demonstrasi guruatau murid memperlihatkan pada seluruh angota kelas suatu proses, misalnya bagaimana cara shalat yang sesuai dengan ajaran / contoh Rasulullah SAW.
Sebaiknya dalm mendemonstrasikan pelajaran tersebut guru lebih dahulu mendemonstrasikan yang sebaik-baiknya, lalu murid ikut memperaktekkan sesuai dengan petunjuk.
Istilah demonstrasi dalam pengajaran dipskai untuk mengambarkan suatu cara mengajar yang pada umumnya mengabungkan penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoprasian peralatan, barang atau benda. Kerja fisik itu telah dilakukan atau peralatan itu telah dicoba lebih dahulu sebelum di demostasikan. Orang yang mendemonstrasikan (guru, murid, atau orang luar yang bias mendemonstrasikannya) mempertunjukan sambil menjelaskan tentang:
(1) Cara-cara melakukan kerja fisik atau cara-cara mengunakan peralatan.
(2) Hal-hal yang harus diamati/ diperhatikan ketika kerja fisik atau pengunaan peralatan itu diselenggarakan.
(3) Alasan-alasan mengapa hal itu dilakukan dan mengapa pula hasilnya demikaian.
(4) Kepentingannya dilakukan langkah demi langkah atau tahap demi tahap dalam demonstrasi tersebut.
Abuddin Nata mengatakan metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan menerangkan atau mempertunjukkan kepada peserta didik tentang suatu proses, situasi atau benda trtentu yang sedang dipelajari, baik yang sebenarnya maupun tiruannya ( Abuddin Nata, 2009: 183)
Dalam suatu Hadis pernah Nabi Muhammad menerangkan kepada umatnya: sabda nya yang mana artinya sebagai berikut.
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
2. Kebaikan dan Kelemahan Metode Demonstrasi
Dari penggunaan metode demonstrasi dapat dapat ditrik beberapa keuntunggan/ kelebihan dari metode demonstrasi:
1. Kebaikan/kelebihan (keunggulan metode demonstrasi)
(1) Perhatian murid dapat dipusatkan kepada hai-hal yang dianggap penting oleh guru,sehingga murid dapat mengamati hal-hal itu seperlunya yang berarti perhatian murid menjadi terpusat kepada proses belajar semata-mata.
(2) Dapat mengurangi kesalahan-kesalahan atau kekeliruan-kekeliruan dalam “menangkap dan mencerna” bila dibandingkan dengan hanya membadca didalam buku, karna murid telah mendapatkan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan.
(3) Beberapa masalah yang menimbulkan pertanyaan atau masalah dalam diri murid dapat terjawab pada waktu murid mengamati proses demostrasi.
(4) Menghindari “coba-coba dengan gagal” yang banyak memakan waktu belajar, disamping praktis dan fungsional, kuhsusnya bagi murid-murid yang ingin berusaha mengamati secara lengkap dantelitiatau jalannya sesuatu.
(5) Apabila anak didik sendiri ikut aktif dalam suatu percobaan yang bersipat demonstratif, maka mereka akan memperoleh pengelaman yang melekat pada jiwanya dan ini brguna dalam pengembaggan kecakapan.
2. Kekurangan-kekurangan dar metode demonstrasi
(1) Sangat memerlukan waktu yang relatip panjang sehingga memungkinkan penambahan waktu yang lain lagi terhadap proses pembelajarannya.
(2) Adanya sebagian murd- murd yang kuran bias memperagakan dengan sempurna baik dari suatu gerakan maupun dengan menggunakan alat.
3. Mempersiapkan Suatu Demonstrasi
Suatu demonstrasi yang baik membutuhkan persiapan yang teliti/ cermat. Sejauh mana persiapan itu dilakukan amat banyak bergantung kepada pengelaman yang telah annda lalui dan kepada macam atau bentuk demonstrasi apa yang anda sajikan. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa untuk melakukan demonstrasi yang baik di perlukan:
(1) Merumusan tujuan instruksional khusus yang jelas yang meliputi berbagai aspek, sehingga dapat diharapkan murid-murid itu akan dapat melaksanakan kegiatan yang didemonstrasikan itu setelah pertemuan berakhir. Untuk itu hendaknya guru mempertimbangkan:
(a) Apakah metode itu wajar dipergunakan merupakan cara yang paling epektif untuk mencapai tujuan instruksional khusus tersebut.
(b) Apakah alat-alat terserbut mudah diperoleh dan suda dicobakan terlebih dahulau atau apa kegiatn-kegiatan fisik yang bias anda lakukan dan telah dilatihkan kembali sebelum demonstrasi dilakukan.
(c) Apakah jumlah murid tidak terlalu besar atau memerlukan tempat dan tata ruang khusus agar semua murid berpertisipasi secara aktif.
(2) Menetapkan garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilaksanakan. Dan sebaiknya sebelum demonstrasi dilakukan, guru sudah mencobanya lebih dahhulu agar demonstrasi itu tidak gagal pda waktunya. Beberapa pertanyaan dibawah ini dapat mengarahkan kiti sebagai guru:
(a) Apakah anda terbiasa atau memahami benar terhadap semua langkah-langkah atau tahap-tahap dari demonstrasi yang akan dilakukan?
(b) Apakah anda mempunyai pengelaman yang cukup untuk menjelaskan setiap langkah deminstrasi itu?
(c) Apakah anda tidak membutuhkan latihan lanjutan untuk menguasi latihan demmostrasi itu?
(3) Mempertimbankan waktu yang dibutuhkan. Hendaknya anda sudah mmerencanakan seluruh waktu untuk setiap langkah demonstrasi yang akan dilakukan sehingga pertanyaan dibawah inimenjawab:
(a) Apakah kedalamanya juga sudah termasuk waktu untuk memberikan kesempatan kepada murid mengajukan pertanyaan-pertanyan dan komentar selama dan sesudah demonstrsi?
(b) Berapa lama waktu yang anda pakai untuk memberikan ransangan atau motivasi agarmereka berpartisipasi dan melakukan oobservsi secara cermat dan teliti?
(c) Apakah kedalamannya juga sudah termasuk waktu untuk mengadakan demonstrasi ulang, baik sebagian maun keseluruhan.
(4) Selama demonstrasi berlansung anda dapat mempertanyakan pada diri sendiri apakah:
(a) Keterangan-keterangan itu dapat didengar dengan jelas oleh murid-murid.
(b) Kedudukan alat atu kedudukan anda sendiri sudah cukup baik sehingga murid dapat melihatnya dengan jelas.
(c) Terdapat cukup waktu dan kesempatan untuk membuat catatan seperlunya bgi murid-murid.
(5) Mempertimbangkan penggunaan alat bantu pengajaran lainnya, sesuai dengan luasan makna dan isi dari demonstrasi. Untuk itu dapat kita pertanyakan hal-hal berikut:
(a) Adakah pokok-pokok masalah, gagasan,dan istilah-istilah yang harus diterapkan pada papan tulis atau disiapkan pada kertas lembaran kerja murid.
(b) Adakah anda menyimpulkan kegiatan dari setiap langkah-langkah pokok demonstrasi itu dipapan tulis.
(c) Bagaimana dan kapan akan anda laksanakan semua hal-hal itu,sebelum, sesudah atau selama demonstrasi itu berlansung.
(6) Meneapkan rencana untuk menilai kemajuan murid. Seringkali perlu terlebih dahulu dilakukan diskusi-diskusi dan murid mencoba lagi demonstrasi atau mengadakan demonstrasi ulangmemperoleh kecekatan yang lebih baik.
Setelah melihat beberapa keuntngan dari demonstrasi, maka dalam bidang studi agama Islam sangat banyak yang biasa didemonstrasikan, terutama dalam bidang pelaksanan ibadah, seperti pelaksanaan shalat, zakat, rukun haji dan lain-lain.
Apabila dalam teori menjalankan sahlat yang betul dan baik telah dimiliki oleh anak didik, maka guru harus mencoba mendemonstrasikan di depan para murid. Atau dapat juga dilakukan, guru memilih seorang murid. Yang paling terampil, kemudian dibawa bimbingan guru disurhmendemonstrasikan cara shalst yang baik didepan teman teman-temannya yang lain.
Pada saat anak didik mendemonstrasikan shalat,guru harus mengamati langkah demi lanngkah setiap gerak-gerik murid tersebut, ssehingga jika ada segi-segi yang kurang, guru berkewajiban memperbaikinya. Guru memberi contoh lagi tentang pelaksanaan yang baik dan betul pada bagian-bagian yang masih kurang dianggap baik.
Tindakan mengamati segi-segi yang kurang baik lalu memperbaikinya, akan memberikan kesan yang mendalam pada diri anak dadik, baik bagi anak didik yang menjalankan demonstrasi ataupun bagi yang menyaksikannya.
Dengan tambahan pengamalan ini akan menjadi dasar pengembangan kecakapan dan keterampilan dari anak didik yang kita asuh. Dibidang umum, studi olaragalah yang paling tepat menggunakan metode demonstrsi, yaitu murid yang dianggap terampi mendemonstraikan loncat tinggi,loncat jauh dan juga lempar lembing dan lai sebagainya.
C. kesimpulan
Istilah demonstrasi dalam pengajaran dipskai untuk mengambarkan suatu cara mengajar yang pada umumnya mengabungkan penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoprasian peralatan, barang atau benda. Kerja fisik itu telah dilakukan atau peralatan itu telah dicoba lebih dahulu sebelum di demostasikan. Orang yang mendemonstrasikan (guru, murid, atau orang luar yang bias mendemonstrasikannya) mempertunjukan sambil menjelaskan tentang:
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan menerangkan atau mempertunjukkan kepada peserta didik tentang suatu proses, situasi atau benda trtentu yang sedang dipelajari, baik yang sebenarnya maupun tiruannya.
Dalam suatu Hadis pernah Nabi Muhammad menerangkan kepada umatnya: sabda nya yang mana artinya sebagai berikut.
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
D. Daftar Kepustakaan
Dr. Zakiah Daradjat, (2008). Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Dr. Zakiah Daradjat, (2008). Metodologi Khusus Pengajaran Agama Islam,
Abuddin Nata, (2009). Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana
Senin, 19 Desember 2011
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH
BAB II
Pembahasan
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN AL-QABISI
A. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah:
1. al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6. al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. al-jami’
9. al-Syiar (tentang aturan hidup)
10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
15. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)
16. al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
17. Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)).
18. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih
Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1) Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2) Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.
C. Metode Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1) Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2) Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4) Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.
D. Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
E. Hubungan Pendidik Dan Subjek Didik
1. Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
2. Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).
F. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*].
[*] inilah do’a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.
G. Riwayat singkat Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
H. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
1. 2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3). Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4). Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5). Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
KESIMPULAN
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Sedangkan Rasyid Ridha lebih menekankan kurikulum pada aspek muatan kurikulum ilmu agama dan umum, Implementasi dari kurikukum yang ia terapkan di Madrasah tampaknya memilah antara ruang ilmu peribadatan yang wajib dilakukan pada setiap pelajar. Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-Ibnu-miskawaih/
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Pembahasan
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN AL-QABISI
A. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu’izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah:
1. al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6. al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. al-jami’
9. al-Syiar (tentang aturan hidup)
10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
13. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
15. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut diatas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)
16. al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
17. Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)).
18. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih
Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1) Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2) Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.
C. Metode Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1) Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2) Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4) Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.
D. Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
E. Hubungan Pendidik Dan Subjek Didik
1. Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
2. Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).
F. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*].
[*] inilah do’a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.
G. Riwayat singkat Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
H. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
1. 2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3). Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4). Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5). Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
KESIMPULAN
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Sedangkan Rasyid Ridha lebih menekankan kurikulum pada aspek muatan kurikulum ilmu agama dan umum, Implementasi dari kurikukum yang ia terapkan di Madrasah tampaknya memilah antara ruang ilmu peribadatan yang wajib dilakukan pada setiap pelajar. Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-Ibnu-miskawaih/
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISIY
BAB II
Pembahasan
KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISIY
A. Riwayat singkat Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
C. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2) Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3) Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4) Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5) Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
D. Relevansi
Pada dasarnya, konsep pemikiran Al-Qabisiy sangat bagus karena mencoba untuk mempertahankan nilai-nilai kemurnian agama dan mencakup ketiga ranah pendidikan sekaligus, yaitu; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akan tetapi, jika Al-Qabisiy mengatakan akan mempertahankan nilai-nilai kemurnian agama, disini ada yang kurang tepat, yakni pola “co education class”, yang merupakan budaya asing (non-Islam). Namun, bertahan hingga sekarang.
Al-Qabisiy juga melakukan sebuah pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dalam hal ilmu pengetahuan. Anak-anak perempuan tidak diperbolehkan belajar kecuali ilmu agama saja. Dan sekarang sudah tidak terpakai lagi konsep yang demikian dengan adanya Emansipasi Wanita (Persamaan Gender).
KESIMPULAN
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Pembahasan
KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISIY
A. Riwayat singkat Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar ‘Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu‘ (merendah diri), wara‘ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta’allim wa Ahkam Mu’allimin wa al-Muta’allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur’an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
C. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi’I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur’an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur’an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur’an. Setelah mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur’an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur’an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-Qur’an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur’an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma‘had. Al-Qur’an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-Qur’an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang.
2) Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka.
3) Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar.
4) Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur’an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur’an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5) Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik.
D. Relevansi
Pada dasarnya, konsep pemikiran Al-Qabisiy sangat bagus karena mencoba untuk mempertahankan nilai-nilai kemurnian agama dan mencakup ketiga ranah pendidikan sekaligus, yaitu; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akan tetapi, jika Al-Qabisiy mengatakan akan mempertahankan nilai-nilai kemurnian agama, disini ada yang kurang tepat, yakni pola “co education class”, yang merupakan budaya asing (non-Islam). Namun, bertahan hingga sekarang.
Al-Qabisiy juga melakukan sebuah pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dalam hal ilmu pengetahuan. Anak-anak perempuan tidak diperbolehkan belajar kecuali ilmu agama saja. Dan sekarang sudah tidak terpakai lagi konsep yang demikian dengan adanya Emansipasi Wanita (Persamaan Gender).
KESIMPULAN
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu’amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
KONSEP PENDIDIKAN IBNU SINA
1. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan pebedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersesut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu.
Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
• Mahmud al-Massah (ahli matematika)
• Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
• Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan dilanjutkan ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang i9lmu pengetahuan yang tieda dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian.
“ semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. “ ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- ‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Setelah itu ibnu sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan satra arab.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
1. Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan.
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnyat.
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.
Hikmahnya :
1.
1. untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala
2. khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.
Selanjutnya kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan meliha cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
1. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian diatas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil ( pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni:
1. uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan pengajaran.
2. setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
3. metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
4. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
_____________________________________
[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta, IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136
[3] Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III hal.75
[4] Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn Sina, Kitab As-Syiasah Fi attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906) hal.1076
[6] Prof. Dr. H. M. Yunus,SPI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal.81
[8] Prof. Dr. Azumardi Azra MA< Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal. 83
1. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan pebedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersesut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini termasuk daerah Persia.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu.
Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan ilmu yang teoritis.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
• Mahmud al-Massah (ahli matematika)
• Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
• Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan dilanjutkan ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang i9lmu pengetahuan yang tieda dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian.
“ semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. “ ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain al- ‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis buku al-Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik. Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke karkang yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu sina berkesempatan untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa, An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Setelah itu ibnu sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengatahuan, diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan satra arab.
Karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb. Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
1. Ilmu Akhlak
2. Ilmu cara mengatur rumah tangga
3. Ilmu tata negara
4. Ilmu tentang kenabian
Dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
1. Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan.
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnyat.
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar, baik dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.
Hikmahnya :
1.
1. untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala
2. khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.
Selanjutnya kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan meliha cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
1. Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian diatas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil ( pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni:
1. uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan pengajaran.
2. setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
3. metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
4. metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
_____________________________________
[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta, IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136
[3] Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III hal.75
[4] Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn Sina, Kitab As-Syiasah Fi attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906) hal.1076
[6] Prof. Dr. H. M. Yunus,SPI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal.81
[8] Prof. Dr. Azumardi Azra MA< Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal. 83
Kepala Sekolah Sebagai Manajer dan Supervisor
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan.
Urgensi dan signifikansi fungsi dan peranan kepala sekolah didasarkan pada pemahaman bahwa keberhasilan sekolah merupakan keberhasilan kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah perlu memiliki kompetensi yang disyaratkan agar dapat merealisasikan visi dan misi yang diemban sekolahnya. Dalam kerangka ini direkomendasikan mereaktualisasi fungsi dan peranan kepala sekolah selaku EMASLIM-F dalam wujud good school governance untuk menyukseskan program yang sedang digulirkan pemerintah seperti desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, MBS, KTSP, benchmarking, broad basic education, life skill, contextual learning, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dan lain sebagainya.
Untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan di tingkat satuan pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan kepala sekolah yang handal dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Sejumlah pakar sepakat bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator dan supervisor, yang disingkat EMAS. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai leader, inovator dan motivator di sekolahnya. Dengan demikian, dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator, disingkat EMASLIM.
Dalam makalah yang kami buat ini, kami memfokuskan kepada peran kepala sekolah sebagai manajer dan supervisor pendidikan. Bagaimana seharusnya seorang kepala sekolah menjalankan tugasnya sebagai manajer dan supervisor pendidikan itulah yang menjadi pokok bahasan pada makalah kami ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepala Sekolah Sebagai Suvervisor
1. Definisi Supervisi
Secara semantik Supervisi pendidikan adalah pembinaan ke arah perbaikan situasi pendidikan. Pembinaan yang dimaksud berupa bimbingan atau tuntunan (tut wuri handayani) ke arah perbaikan situasi pendidikan, termasuk pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
Supervisi merupakan usaha untuk membantu dan melayani guru dalam meningkatkan kompetensinya. Supervisi tidak langsung diarahkan kepada siswa, tetapi kepada guru yang membina siswa itu. Supervisi tidak bersifat direktif tetapi lebih banyak bersifat konsultatif.
2. Tujuan Supervisi Pendidikan
Supervisi pendidikan mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Membantu guru agar dapat lebih mengerti/menyadari tujuan-tujuan pendidikan di sekolah dan fungsi sekolah dalam usaha mencapai tujuan pendidikan.
b. Membantu guru agar mereka lebih menyadari serta mengerti kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi siswanya; supaya dapat membantu siswanya itu lebih baik lagi.
c. Melaksanakan kepemimpinan efektif dengan cara yang demokratis dalam rangka meningkatkan kegiatan-kegiatan profesional di sekolah dan hubungan antara staf yang kooperatif untuk bersama-sama meningkatkan kompetensi masing-masing.
d. Menemukan kelebihan dan kekurangan tiap guru dan memanfaatkan serta mengembangkan kemampuan itu dengan memberikan tugas dan tanggungjawab yang sesuai dengan kemampuannya.
e. Membantu guru meningkatkan kemampuan penampilannya di depan kelas.
f. Membantu guru baru dalam masa orientasinya supaya cepat dapat menyesuaikan diri dengan tugasnya dan dapat memdayagunakan kemampuannya secara maksimal.
g. Membantu guru menemukan kesulitan belajar siswa-siswanya dan merencakan tindakan-tindakan perbaikannya.
h. Menghindari tuntutan-tuntutan terhadap guru yang di luar batas atau tidak wajar; baik tuntutan itu datangnya dari dalam maupun dari luar.
3. Prinsip-Prinsip Supervisi
Pelaksanaan supervisi harus diupayakan semaksimal mungkin tanpa adanya penyimpangan di dalamnya. Untuk itu, pelaksanaan supervisi harus memenuhi beberapa prinsip berikut, yaitu:
a. Supervisi harus konstruktif dan kreatif.
b. Supervisi harus lebih berdasarkan sumber kolektif dari kelompok daripada usaha-usaha supervisor sendiri.
c. Suprevisi harus didasarkan atas hubungan profesional, bukan atas dasar hubungan pribadi.
d. Supervisi harus dapat mengembangkan segi-segi kelebihan pada yang dipimpin.
e. Supervisi harus dapat memberikan perasaan aman pada anggota-anggota kelompoknya.
f. Supervisi harus progresif.
g. Supervisi harus didasarkan pada keadaan yang riil dan sebenarnya.
h. Supervisi harus sederhana dan informal dalam pelaksanaannya.
i. Supervisi harus obyektif dan sanggup mengadakan self evaluation.
4. Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Peran kepala sekolah sedemikian penting untuk menjadikan sebuah sekolah pada tingkatan yang efektif. Asumsinya adalah bahwa sekolah yang baik akan selalu memiliki kepala sekolah yang baik, artinya kemampuan profesional kepala sekolah dan kemauannya untuk bekerja keras dalam memberdayakan seluruh potensi sumber daya sekolah menjadi jaminan keberhasilan sebuah sekolah. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pekerjaannya dan dapat mendayagunakan seluruh potensi sumber daya yang ada di sekolah maka kepala sekolah harus memahami perannya.
Tiga hal penting yang menjiwai supervisi pendidikan, yaitu :
a. Supervisi pendidikan adalah suatu perbuatan yang telah diprogramkan secara resmi oleh organisasi. Jadi bukan perbuatan yang dilakukan tanpa perencanaan terlebih dahulu, tetapi direncanakan secara matang sebelumnya.
b. Supervisi pendidikan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh supervisor (kepala sekolah) dan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan profesional guru.
c. Supervisi pendidikan mempengaruhi kemampuan guru yang pada gilirannya meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik, sehingga tujuan sekolah dapat tercapai secara optimal.
Sebagai supervisor, kepala sekolah mempunyai beberapa peran penting, yaitu:
a. Melaksanakan penelitian sederhana untuk perbaikan situasi dan kondisi proses belajar mengajar.
b. Mengadakan observasi kelas untuk peningkatan efektivitas proses belajar mengajar.
c. Melaksanakan pertemuan individual secara profesional dengan guru untuk meningkatkan profesi guru.
d. Menyediakan waktu dan pelayanan bagi guru secara profesional dalam pemecahan masalah proses belajar mengajar.
e. Menyediakan dukungan dan suasana kondusif bagi guru dalam perbaikan dan peningkatan mutu proses belajar mengajar.
f. Melaksanakan pengembangan staf yang berencana dan terarah.
g. Melaksanakan kerjasama dengan guru untuk mengevaluasi hasil belajar secara komprehensif.
h. Menciptakan team work yang dinamis dan profesional.
i. Menilai hasil belajar peserta didik secara komprehensif.
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran (tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan), selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Kepala sekolah mempunyai tugas sebagai supervisor. Kepala sekolah sebagai supervisor dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap guru-guru dan personel lain untuk meningkatkan kinerja mereka. Kepala sekolah sebagai supervisor bertugas mengatur seluruh aspek kurikulum yang berlaku di sekolah agar dapat memberikan hasil yang sesuai dengan target yang telah ditentukan. Aspek-aspek kurikulum yang harus dikuasai oleh kepala sekolah sebagai supervisor adalah materi pelajaran, proses belajar mengajar, evaluasi kurikulum, pengelolaan kurikulum, dan pengembangan kurikulum.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa peran utama kepala sekolah sebagai supervisor adalah menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan serta memanfaatkan hasilnya yang diwujudkan dalam, program supervisi kelas, kegiatan ekstra kurikuler, serta peningkatan kinerja tenaga kependidikan dalam upaya pengembangan sekolah.
Sebagai supervisor, kepala sekolah mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Supervisi merupakan suatu proses yang dirancang secara khusus untuk membantu para guru dan supervisor mempelajari tugas sehari-hari di sekolah, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan layanan yang lebih baik pada orang tua peserta didik dan sekolah, serta berupaya menjadikan sekolah sebagai komunitas belajar yang lebih efektif.
Tugas kepala sekolah sebagai supervisor diwujudkan dalam kemampuannya menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan ekstra-kurikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboraturium dan ujian. Kemampuan melaksanakan program supervisi pendidikan diwujudkan dalam pelaksanaan program supervisi klinis dan dalam program supervisi kegiatan ekstra-kurikuler. Sedangkan kemampuan memanfaatkan hasil supervisi pendidikan diwujudkan dalam pemanfaatan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dan pemanfaatan hasil supervisi untuk mengembangkan sekolah.
Kepala sekolah sebagai supervisor perlu memperhatikan prinsip-prinsip: (1) hubungan konsultatif, kolegial dan bukan hirarkis; (2) dilaksanakan secara demokratis; (3) berpusat pada tenaga kependidikan; (4) dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kependidikan; dan (5) merupakan bantuan profesional.
Konsep-konsep yang perlu dimiliki kepala sekolah adalah:
1. Pengertian berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan supervisi pendidikan.
2. Tujuan berhubungan dengan apa yang ingin dicapai dengan melaksanakan supervisi pendidikan.
3. Prinsip berhubungan dengan bagaimana supervisi pendidikan harus dilakukan.
4. Metode dan teknik berhubungan dengan cara-cara supervisi pendidikan dilaksanakan.
Melalui kemampuan kepala sekolah melaksanakan supervisi diharapkan akan mampu mengidentifikasi para guru yang bermasalah atau yang kurang profesional dalam melaksanakan tugas, sehingga pada akhirnya diketahui titik kelemahan yang menghambat pencapaian tujuan pendidikan untuk selanjutnya segera dicarikan solusinya.
B. Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Ada tiga sudut pandang terhadap manajemen yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah sebagai seorang manajer. Yaitu: (Suryosubroto, 2004:182)
1. Manajemen Pendidikan di sekolah dilihat sebagai suatu gugusan substansi (wujud) problema yang meliputi
a. Bidang pengajaran;
b. Bidang kesiswaan;
c. Bidang personalia;
d. Bidang keuangan.;
e. Bidang peralatan pengajaran;
f. Gedung dan perlengkapan sekolah;
g. Bidang hubungan sekolah dengan masyarakat;
2. Manajemen dilihat sebagai proses kegiatan, sehingga ada kegiatan pimpinan (sebagai manajer) dan kegiatan pelaksana. Proses kegiatan pimpinan berjalan melalui lima tahap:
a. Perencanaan (planning);
b. Pengorganisasian (organizing);
c. Pengarahan (direction);
d. Pengkoordinasian (coordinating);
e. Pengawasan (controlling).
3. Manajemen ditinjau sebagai kepemimpinan (leadership), dalam hal ini masalahnya adalah bagaimana mengatur tata hubungan antara pemimpin dengan bawahan. Disini human relation sebagai factor utama.
Karena itu, kepala sekolah sebagai seorang yang bertugas membina lembaganya agar berhasil mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan harus mampu mengarahkan dan mengkoordinasi segala kegiatan Menurut buku “Pedoman Administrasi dan Supervisi” dalam Suryosubroto (2004:183), disebutkan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah sebagai manajer adalah:
1. Menguasai Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP),
2. Bersama-sama guru menyusun program sekolah untuk satu tahun kegiatan,
3. Menyusun jadwal pelajaran,
4. Mengkoordinasi kegiatan penyusunan model satuan pelajaran,
5. Mengatur pelaksanaan evaluasi belajar dengan memperhatikan syarat-syarat dan norma-norma penilaian
6. Mencatat dan melaporkan hasil-hasil kemajuan kepada instansi atasan (dinas Pendidikan),
7. Melaksanakan penerimaan murid baru berdasar ketentuan dari dinas pendidikan,
8. Mengatur kegiatan program bimbingan penyuluhan (BP),
9. Meneliti dan mencatat kehadiran murid,
10. Mengatur program-program ko-kurikuler seperti UKS, kepramukaan dan sebagainya,
11. Merencanakan pembagian tugas guru
12. Mengusulkan formasi pengangkatan, kanaikan tingkat, dan mutasi guru,
13. Mengatur usaha-usaha kesejahteraan personal sekolah,
14. Memelihara pencatatan buku sekolah,
15. Merencanakan, mengembangkan dan memelihara alat pelajaran peraga,
16. Mengatur pemeliharaan gedung dan halaman sekolah,
17. Memelihara perlengkapan sekolah,
18. Mengatur dan bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan sekolah,
19. Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dan masyarakat,
20. Memelihara dan mengatur penyimpanan arsip kegiatan sekolah.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai manajer ini, kepala sekolah perlu berpedoman pada prinsip-prinsip manajemen pendidikan sekolah. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan manajemen sekolah antara lain adalah:
1. Perencanaan secara jelas, sederhana, fleksibel, dan seimbang,
2. Organisasi tegas dan memiliki asas-asas:
a. Adanya kesatuan komando
b. Adanya pengawasan yang terus menerus
c. Adanya pembagian tanggung jawab yang seimbang
d. Adanya pembagian tugas yang logis dengan memperhatikan usia, masa kerja, pangkat dan kemampuan.
3. Staffing secara tepat: the right man on the right place
4. Pengarahan secara terus menerus oleh setiap unsure pimpinan kepada bawahan
5. Koordinasi yang menimbulkan suasana kerja dan kerja sama secara harmonis
6. Pengawasan secara cermat sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan kegiatan
7. Pelaporan yang dapat dimanfaatkan untuk memelihara dan mengembangkan hal-hal yang baik dan mungkin dari terhalangnya kegagalan
8. Pembiayaan yang hemat dan merata dan dapat dipertanggung jawabkan
9. Pelaksanaannya berlangsung secara tertib, lengkap, tepat dan cepat sehingga siap pakai
10. Peka terhadap pembaharuan agar dapat melayani proses pembaharuan pendidikan.
PENDAHULUAN
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan.
Urgensi dan signifikansi fungsi dan peranan kepala sekolah didasarkan pada pemahaman bahwa keberhasilan sekolah merupakan keberhasilan kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah perlu memiliki kompetensi yang disyaratkan agar dapat merealisasikan visi dan misi yang diemban sekolahnya. Dalam kerangka ini direkomendasikan mereaktualisasi fungsi dan peranan kepala sekolah selaku EMASLIM-F dalam wujud good school governance untuk menyukseskan program yang sedang digulirkan pemerintah seperti desentralisasi penyelenggaraan pendidikan, MBS, KTSP, benchmarking, broad basic education, life skill, contextual learning, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dan lain sebagainya.
Untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan di tingkat satuan pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan kepala sekolah yang handal dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Sejumlah pakar sepakat bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator dan supervisor, yang disingkat EMAS. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai leader, inovator dan motivator di sekolahnya. Dengan demikian, dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator, disingkat EMASLIM.
Dalam makalah yang kami buat ini, kami memfokuskan kepada peran kepala sekolah sebagai manajer dan supervisor pendidikan. Bagaimana seharusnya seorang kepala sekolah menjalankan tugasnya sebagai manajer dan supervisor pendidikan itulah yang menjadi pokok bahasan pada makalah kami ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepala Sekolah Sebagai Suvervisor
1. Definisi Supervisi
Secara semantik Supervisi pendidikan adalah pembinaan ke arah perbaikan situasi pendidikan. Pembinaan yang dimaksud berupa bimbingan atau tuntunan (tut wuri handayani) ke arah perbaikan situasi pendidikan, termasuk pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
Supervisi merupakan usaha untuk membantu dan melayani guru dalam meningkatkan kompetensinya. Supervisi tidak langsung diarahkan kepada siswa, tetapi kepada guru yang membina siswa itu. Supervisi tidak bersifat direktif tetapi lebih banyak bersifat konsultatif.
2. Tujuan Supervisi Pendidikan
Supervisi pendidikan mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Membantu guru agar dapat lebih mengerti/menyadari tujuan-tujuan pendidikan di sekolah dan fungsi sekolah dalam usaha mencapai tujuan pendidikan.
b. Membantu guru agar mereka lebih menyadari serta mengerti kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi siswanya; supaya dapat membantu siswanya itu lebih baik lagi.
c. Melaksanakan kepemimpinan efektif dengan cara yang demokratis dalam rangka meningkatkan kegiatan-kegiatan profesional di sekolah dan hubungan antara staf yang kooperatif untuk bersama-sama meningkatkan kompetensi masing-masing.
d. Menemukan kelebihan dan kekurangan tiap guru dan memanfaatkan serta mengembangkan kemampuan itu dengan memberikan tugas dan tanggungjawab yang sesuai dengan kemampuannya.
e. Membantu guru meningkatkan kemampuan penampilannya di depan kelas.
f. Membantu guru baru dalam masa orientasinya supaya cepat dapat menyesuaikan diri dengan tugasnya dan dapat memdayagunakan kemampuannya secara maksimal.
g. Membantu guru menemukan kesulitan belajar siswa-siswanya dan merencakan tindakan-tindakan perbaikannya.
h. Menghindari tuntutan-tuntutan terhadap guru yang di luar batas atau tidak wajar; baik tuntutan itu datangnya dari dalam maupun dari luar.
3. Prinsip-Prinsip Supervisi
Pelaksanaan supervisi harus diupayakan semaksimal mungkin tanpa adanya penyimpangan di dalamnya. Untuk itu, pelaksanaan supervisi harus memenuhi beberapa prinsip berikut, yaitu:
a. Supervisi harus konstruktif dan kreatif.
b. Supervisi harus lebih berdasarkan sumber kolektif dari kelompok daripada usaha-usaha supervisor sendiri.
c. Suprevisi harus didasarkan atas hubungan profesional, bukan atas dasar hubungan pribadi.
d. Supervisi harus dapat mengembangkan segi-segi kelebihan pada yang dipimpin.
e. Supervisi harus dapat memberikan perasaan aman pada anggota-anggota kelompoknya.
f. Supervisi harus progresif.
g. Supervisi harus didasarkan pada keadaan yang riil dan sebenarnya.
h. Supervisi harus sederhana dan informal dalam pelaksanaannya.
i. Supervisi harus obyektif dan sanggup mengadakan self evaluation.
4. Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Peran kepala sekolah sedemikian penting untuk menjadikan sebuah sekolah pada tingkatan yang efektif. Asumsinya adalah bahwa sekolah yang baik akan selalu memiliki kepala sekolah yang baik, artinya kemampuan profesional kepala sekolah dan kemauannya untuk bekerja keras dalam memberdayakan seluruh potensi sumber daya sekolah menjadi jaminan keberhasilan sebuah sekolah. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pekerjaannya dan dapat mendayagunakan seluruh potensi sumber daya yang ada di sekolah maka kepala sekolah harus memahami perannya.
Tiga hal penting yang menjiwai supervisi pendidikan, yaitu :
a. Supervisi pendidikan adalah suatu perbuatan yang telah diprogramkan secara resmi oleh organisasi. Jadi bukan perbuatan yang dilakukan tanpa perencanaan terlebih dahulu, tetapi direncanakan secara matang sebelumnya.
b. Supervisi pendidikan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh supervisor (kepala sekolah) dan secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan profesional guru.
c. Supervisi pendidikan mempengaruhi kemampuan guru yang pada gilirannya meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik, sehingga tujuan sekolah dapat tercapai secara optimal.
Sebagai supervisor, kepala sekolah mempunyai beberapa peran penting, yaitu:
a. Melaksanakan penelitian sederhana untuk perbaikan situasi dan kondisi proses belajar mengajar.
b. Mengadakan observasi kelas untuk peningkatan efektivitas proses belajar mengajar.
c. Melaksanakan pertemuan individual secara profesional dengan guru untuk meningkatkan profesi guru.
d. Menyediakan waktu dan pelayanan bagi guru secara profesional dalam pemecahan masalah proses belajar mengajar.
e. Menyediakan dukungan dan suasana kondusif bagi guru dalam perbaikan dan peningkatan mutu proses belajar mengajar.
f. Melaksanakan pengembangan staf yang berencana dan terarah.
g. Melaksanakan kerjasama dengan guru untuk mengevaluasi hasil belajar secara komprehensif.
h. Menciptakan team work yang dinamis dan profesional.
i. Menilai hasil belajar peserta didik secara komprehensif.
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran (tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan), selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Kepala sekolah mempunyai tugas sebagai supervisor. Kepala sekolah sebagai supervisor dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap guru-guru dan personel lain untuk meningkatkan kinerja mereka. Kepala sekolah sebagai supervisor bertugas mengatur seluruh aspek kurikulum yang berlaku di sekolah agar dapat memberikan hasil yang sesuai dengan target yang telah ditentukan. Aspek-aspek kurikulum yang harus dikuasai oleh kepala sekolah sebagai supervisor adalah materi pelajaran, proses belajar mengajar, evaluasi kurikulum, pengelolaan kurikulum, dan pengembangan kurikulum.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa peran utama kepala sekolah sebagai supervisor adalah menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan serta memanfaatkan hasilnya yang diwujudkan dalam, program supervisi kelas, kegiatan ekstra kurikuler, serta peningkatan kinerja tenaga kependidikan dalam upaya pengembangan sekolah.
Sebagai supervisor, kepala sekolah mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Supervisi merupakan suatu proses yang dirancang secara khusus untuk membantu para guru dan supervisor mempelajari tugas sehari-hari di sekolah, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan layanan yang lebih baik pada orang tua peserta didik dan sekolah, serta berupaya menjadikan sekolah sebagai komunitas belajar yang lebih efektif.
Tugas kepala sekolah sebagai supervisor diwujudkan dalam kemampuannya menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan ekstra-kurikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboraturium dan ujian. Kemampuan melaksanakan program supervisi pendidikan diwujudkan dalam pelaksanaan program supervisi klinis dan dalam program supervisi kegiatan ekstra-kurikuler. Sedangkan kemampuan memanfaatkan hasil supervisi pendidikan diwujudkan dalam pemanfaatan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dan pemanfaatan hasil supervisi untuk mengembangkan sekolah.
Kepala sekolah sebagai supervisor perlu memperhatikan prinsip-prinsip: (1) hubungan konsultatif, kolegial dan bukan hirarkis; (2) dilaksanakan secara demokratis; (3) berpusat pada tenaga kependidikan; (4) dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kependidikan; dan (5) merupakan bantuan profesional.
Konsep-konsep yang perlu dimiliki kepala sekolah adalah:
1. Pengertian berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan supervisi pendidikan.
2. Tujuan berhubungan dengan apa yang ingin dicapai dengan melaksanakan supervisi pendidikan.
3. Prinsip berhubungan dengan bagaimana supervisi pendidikan harus dilakukan.
4. Metode dan teknik berhubungan dengan cara-cara supervisi pendidikan dilaksanakan.
Melalui kemampuan kepala sekolah melaksanakan supervisi diharapkan akan mampu mengidentifikasi para guru yang bermasalah atau yang kurang profesional dalam melaksanakan tugas, sehingga pada akhirnya diketahui titik kelemahan yang menghambat pencapaian tujuan pendidikan untuk selanjutnya segera dicarikan solusinya.
B. Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Ada tiga sudut pandang terhadap manajemen yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah sebagai seorang manajer. Yaitu: (Suryosubroto, 2004:182)
1. Manajemen Pendidikan di sekolah dilihat sebagai suatu gugusan substansi (wujud) problema yang meliputi
a. Bidang pengajaran;
b. Bidang kesiswaan;
c. Bidang personalia;
d. Bidang keuangan.;
e. Bidang peralatan pengajaran;
f. Gedung dan perlengkapan sekolah;
g. Bidang hubungan sekolah dengan masyarakat;
2. Manajemen dilihat sebagai proses kegiatan, sehingga ada kegiatan pimpinan (sebagai manajer) dan kegiatan pelaksana. Proses kegiatan pimpinan berjalan melalui lima tahap:
a. Perencanaan (planning);
b. Pengorganisasian (organizing);
c. Pengarahan (direction);
d. Pengkoordinasian (coordinating);
e. Pengawasan (controlling).
3. Manajemen ditinjau sebagai kepemimpinan (leadership), dalam hal ini masalahnya adalah bagaimana mengatur tata hubungan antara pemimpin dengan bawahan. Disini human relation sebagai factor utama.
Karena itu, kepala sekolah sebagai seorang yang bertugas membina lembaganya agar berhasil mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan harus mampu mengarahkan dan mengkoordinasi segala kegiatan Menurut buku “Pedoman Administrasi dan Supervisi” dalam Suryosubroto (2004:183), disebutkan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah sebagai manajer adalah:
1. Menguasai Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP),
2. Bersama-sama guru menyusun program sekolah untuk satu tahun kegiatan,
3. Menyusun jadwal pelajaran,
4. Mengkoordinasi kegiatan penyusunan model satuan pelajaran,
5. Mengatur pelaksanaan evaluasi belajar dengan memperhatikan syarat-syarat dan norma-norma penilaian
6. Mencatat dan melaporkan hasil-hasil kemajuan kepada instansi atasan (dinas Pendidikan),
7. Melaksanakan penerimaan murid baru berdasar ketentuan dari dinas pendidikan,
8. Mengatur kegiatan program bimbingan penyuluhan (BP),
9. Meneliti dan mencatat kehadiran murid,
10. Mengatur program-program ko-kurikuler seperti UKS, kepramukaan dan sebagainya,
11. Merencanakan pembagian tugas guru
12. Mengusulkan formasi pengangkatan, kanaikan tingkat, dan mutasi guru,
13. Mengatur usaha-usaha kesejahteraan personal sekolah,
14. Memelihara pencatatan buku sekolah,
15. Merencanakan, mengembangkan dan memelihara alat pelajaran peraga,
16. Mengatur pemeliharaan gedung dan halaman sekolah,
17. Memelihara perlengkapan sekolah,
18. Mengatur dan bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan sekolah,
19. Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dan masyarakat,
20. Memelihara dan mengatur penyimpanan arsip kegiatan sekolah.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai manajer ini, kepala sekolah perlu berpedoman pada prinsip-prinsip manajemen pendidikan sekolah. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan manajemen sekolah antara lain adalah:
1. Perencanaan secara jelas, sederhana, fleksibel, dan seimbang,
2. Organisasi tegas dan memiliki asas-asas:
a. Adanya kesatuan komando
b. Adanya pengawasan yang terus menerus
c. Adanya pembagian tanggung jawab yang seimbang
d. Adanya pembagian tugas yang logis dengan memperhatikan usia, masa kerja, pangkat dan kemampuan.
3. Staffing secara tepat: the right man on the right place
4. Pengarahan secara terus menerus oleh setiap unsure pimpinan kepada bawahan
5. Koordinasi yang menimbulkan suasana kerja dan kerja sama secara harmonis
6. Pengawasan secara cermat sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan kegiatan
7. Pelaporan yang dapat dimanfaatkan untuk memelihara dan mengembangkan hal-hal yang baik dan mungkin dari terhalangnya kegagalan
8. Pembiayaan yang hemat dan merata dan dapat dipertanggung jawabkan
9. Pelaksanaannya berlangsung secara tertib, lengkap, tepat dan cepat sehingga siap pakai
10. Peka terhadap pembaharuan agar dapat melayani proses pembaharuan pendidikan.
Rabu, 28 September 2011
BAB II
PEMBAHASAN
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohaniawan senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan hasan Al-Bashri dumulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh disana.
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia menjadi imam di bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang tang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadapa aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena mengingat Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Lebih jauh Hamkah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini:
- Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut .
- Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
- Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
- Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuak dan beberapa kali ditinggalkan matyi suaminya.
- Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
- Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
- Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat Islam, menyataka kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan berkuran dan kelalaian dirinya mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itusenada dengan sabda Nabi yang berbunyui, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senatiasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
B. AL-MUHASIBI
Al-Harits bi Asad Al-Muhasibi, menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-mazdhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniawian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasibi Tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi mengatakan ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasarkan pada kitab dan sunnah. Selaras dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan tentang dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya”. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
- Taat : awal kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan keciitaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebaguian orang. Mengekpresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata.
- Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
- Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
- Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’. Menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelasa berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut :
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Q.S. Adz-Dzariyyat, :5).
Raja’dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Baqarah, : 218)
C. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri mejelis gurunya dan dari gurunyalah Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), da mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farouq (wafat tahun 406 H). selain ityu ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayani (wafat tahun 418 H) dan menelaah karya-karya Al-Baqillani
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalilkan tasawuf keatas landasan doktrin ahlus sunnah, sebagaimana pernyataannya :
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip trasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus-sunnah, yang tak tertandingi dan tak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat ssuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatkan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Abu Muhammad Al-Jariri mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir kedalam jurang kehancuran”.
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan bathin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian lahiriyah.
Karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanya sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Dari uraian ini tampak jelasbahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin ahlus sunnah wal jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
D. AL-GHAZALI
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sutu kota di Khurasan , Iran . Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad . Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu, seraya berkata dalam wasiatnya :
“Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menuis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kuperoleh itu melalui kedua putraku ini”.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Di madrasah inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia belajar kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan retorika perdebatan.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad , yaitu kota tempat berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempak diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdeeebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran mnimbulkan pergolakan dalam diri Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan bathinnya. Ia pun memutuskan melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran . setelah menemukan kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak meninggalkan karya tulisnya
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlus sunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan As-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam kerya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin a, Ayyuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segalasesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, ytang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan adan di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taklid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di dalam rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah di bangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzaug rohani dan kasyf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawas auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sdangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah
menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat Allah. Di dalam kitab kimiya nya ‘As’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-Nya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terlatak pada mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang.
Langganan:
Postingan (Atom)