BAB I
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Istilah portofolio berasal dari kata kerja ‘potare’ berarti membawa dan kata benda bahasa latin ‘foglio’, yang berarti lembaran atau ‘kertas kerja’. Portofolio tempat berisikan benda pekerjaan, lembaran, nilai dan profesional. Porotofolio berisikan beragam tugas; disebut juga artefak, antara lain: draft mentah, nilai, makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan, lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah, jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara baru seperti: note book, multi media, disket, flashdisk, map lipat, dan file internet (Sharp, 2006:1).
Portofolio sebenarnya diartikan sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu proses sosial pedadogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya hasil tes awal (pre-test), tugas-tugas, catatan anekdot , piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes awal (post-test), dll. Sebagai suatu proses sosial pedadogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai adjective, pada umumnya disandingkan dengan konsep pembelajaran yang dikenal dengan istilah pembelajaran berbasis portofolio (portofolio based learning) dan dapat disandingkan dengan konsep penilaian yang dikenal dengan istilah penilaian berbasis portofolio (portofolio based assessment). Jadi Portofolio merupakan kumpulan hasil kerja siswa. Hasil kerja itu sering disebut artefak. Artefak-artefak itu dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam periode waktu tertentu. Artefak-artefak itu diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio.
Sebagai suatu inovasi, model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi dengan landasan pemikiran sebagai berikut: Empat pilar pendidikan
1. Learning to do, peserta didik harus diberdayakan agarmau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungan fisik, sosial maupun budaya.
2. Learning to know, peserta didik harus mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya.
3. Learning to be, peserta didik harus mampu membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya.
4. Learning to live together, kesempatan berinteraksi dengan kelompok yang bervariasi akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup.
2. Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP)
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio (MPBP) mengacu pada prinsip dasar pembelajaran, yaitu:
1. Prinsip belajar siswa aktif (student active learning)
Proses pembelajaran dengan menggunakan MPBP berpusat pada siswa dimana hampir seluruh aktivitas siswa dimulai dari fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan dan pelaporan.
2. Kelompok belajar kooperatif (cooperative learning)
Proses pembelajaran berbasis kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain, seperti orang tua siswa dan lembaga terkait.
3. Pembelajaran partisipatorik
Prinsip ini termasuk salah satu dari MPBP, sebab melalui model ini siswa belajar melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi.
4. Mengajar yang reaktif (reactive teaching)
MPBP ini mensyaratkan guru yang reaktif agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ciri guru yang reaktif adalah sebagai berikut :
• Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
• Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
• Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai suatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan.
• Segera mengenali materi dan metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui harus segera ditanggulanginya.
3. Langkah–Langkah pembelajaran
A. Mengidentifikasi masalah
Salah satu ciri warga negara yang baik adalah peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya. Untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap masalah, maka para guru menjadikan masalah sebagai sumber belajar.
B. Kegiatan kelompok kecil
Perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat kita. Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, seluruh siswa hendaknya membaca dan mendiskusikannya dengan membentuk kelompok-kelompok kecil kemudian membuat pertanyaan- pertanyaan yang akan diidentifikasi dan dianalisis.
C. Pekerjaan rumah
Untuk menentukan masalah mana yang akan dikaji di kelas, memerlukan informasi yang cukup, terutama mengenai kelayakan masalah tersebut untuk dikaji dan ketersediaan sumber-sumber infomasi yang akan dijadikan rujukan untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu para siswa diberi pekerjaan rumah yang terdiri dari dua hal yaitu: Pertama, menemukan lebih banyak masalah yang ada di masyarakat . Kedua, menemukan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah tersebut. Tugas pekerjaan rumah yang harus dilakukan meliputi tiga tugas pokok, yaitu tugas wawancara, tugas mencari informasi dari sumber-sumber media massa cetak, dan tugas mencari informasi melalui media massa elektronik.
D. Memilih masalah untuk kajian kelas
Apabila telah memiliki cukup informasi, kemudian pilih masalah yang akan dikaji dan pastikan informasi berkenaan dengan masalah tersebut dapat dikumpulkan untuk membuat sebuah portofolio yang baik.
E. Membuat daftar masalah,
Kira-kira satu kelas memiliki lima belas (15) kelompok kecil yang kemudian masing-masing kelompok menetapkan satu masalah sehingga kelas memiliki lima belas (15) masalah.
F. Melakukan pemungutan suara (voting), dilakukan dua tahap:
1 . Setiap siswa menentukan tiga pilihan secara terbuka
2. Setiap siswa diharapkan hanya memilih salah satu dari ketiga masalah yang paling banyak terpilih dari lima belas (15) masalah yang dimiliki.
G. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji oleh kelas
Kegiatan kelas: Mengidentifikasi sumber-sumber informasi. Setelah terpilih masalah yang akan diidentifikasi maka dibuatlah daftar sejumlah sumber informasi kemudian dibuat tim peniliti yang hendak mengumpulkan informasi dari sumber yang telah terdaftar .
Contoh-contoh sumber informasi:
Perpustakaan
Kantor penerbit surat kabar
Biro klipping
Pakar diperguruan tinggi
Pakar hukum dan hakim
Kepolisian
Kantor legislatif
Kantor pemerintah daerah
Organisasi kemasyarakatan dan kelompok
Jaringan informasi elektronik
H. Tugas pekerjaan rumah
Setelah kelas memutuskan sumber-sumber informasi yang akan digunakan hendaknya dibagi dalam tim peniliti yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan inf ormasi dari sumber yang berbeda.
Sebelum mengumpulkan informasi dari berbagai sumber sebaiknya dibuat terlebih dahulu format dokumentasinya agar lebih memudahkan para siswa dalam bertanya sehingga tidak membebani orang yang dimintai informasi tersebut. Salah satu contoh format dokumentasi adalah seperti berikut ini:
Format Dokumentasi Informasi dari Penerbitan
Nama anggota tim
:………………………………………
Tanggal
:………………………………………
Masalah
:………………………………………
Nama penerbitan
:………………………………………
Tanggal penerbitan
:………………………………………
Pokok berita pada artikel :………………………………………
Pertanyaan mengenai masalah, misal Masalah Tawuran Pelajar
1. Pandangan yang dianut dalam artikel berkenaan dengan masalah
………………………………………………………………
2. Hal- hal yang penting dari pandangan tersebut
………………………………………………………………
3. Jika ada kebijakan, menurut sumber tersebut, maka kebijakan apakah yang harus ditangani pemerintah berkenaan dengan masalah tersebut ?
………………………………………………………………
Ji ka ada,
a) Apa keuntungan dan kerugiannya ?
…………………………………………………………
b) Bagaimana kebijakan tersebut dapat diperbaiki ?
………………………………………………………….
c)Dll.
4. Keuntungan-Keuntungan Penilaian Portofolio
a. Bagi Siswa:
Penilaian portofolio. merupakan penilaian yang sistematik terhadap keseluruhan aspek perkembangan belajar siswa. Penilian demikian bukan sekedar mencakup penilaian terhadap perkembangan aspek kognitif atau aspek akademik, tetapi juga mencakup aspek psiko-motor, sosial-emosional dan aspek perkembangan intelektual–bahasa. Penilian seperti ini lebih authentik dan karenanya lebih informatif, relevan dan meaningful daripada test yang distandarisasikan. Dalam penyelenggaraan Portofolio, siswa sesungguhnya didorong untuk lebih banyak berperan baik sebagai subjek penilaian, sumber informasi, penilaian yang mengkritik sendiri kemajuan belajarnya ataupun sebagai seseorang yang mengambil manfaat dari informasi yang tersedia.
b. Bagi Guru:
Guru adalah penilai dan pengguna informasi penilaian pendidikan siswa. Portofolio menyediakan guru suatu pandangan yang menyeluruh mengenai perkembangan belajar siswa. Portofolio menantang guru menjadi reflektif dan teruji mengenai cara mengajarnya dan strategi penilaian yang dilakukannya. Kemajuan siswa dalam satu periode waktu tertentu divalidasi oleh pengetahuan dan usaha-usaha yang dilakukan guru. Biasanya guru membutuhkan banyak waktu baik dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan Pengajarannya tetapi sedikit atau kehilangan waktunya untuk melakukan penialian yang sistematis mengenai penampilan mengajarnya. Portofolio sangat membantu guru mendokumentasikan kefektivan mengajarnya baik dari segi proses ataupun hasil-hasilnya. Portofolio juga memfasilitasi perencanaan pengajaran yang lebih diindividualisasikan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa. Biasanya guru membuat rencana pengajaran untuk kondisi kelompok siswa; tetapi Portofolio membantu penyelesaian persoalan, mengembangkan rencana Pengajaran yang personalized.
c. Bagi Masyarakat/Pihak Pembaca Lainnya:
Masyarakat/pihak pembaca lainnya merupakan pihak yang dapat menerima sekaligus mempelajari hasil penilaian pendidikan siswa. Sebenarnya masyarakat/pihak pembaca lain memungkinkan menyediakan informasi yang mendukung atau sama sekali memberikan informasi yang tidak bernilai bagi pengembangan program pendidikan siswa. Akan tetapi, portofolio menyediakan informasi yang lebih kaya mengenai keadaan yang sedang berlangsung berkaitan dengan perkembangan siswa. Portofolio memperlihatkan contoh spesifik mengenai bagaimana siswa memperoleh kemajuan dalam suatu periode waktu tertentu. Kemajuan-kemajuan itu didukung oleh contoh-contoh pekerjaan mereka dan catatan hasil obervasi secara deskriptif dari guru, sehingga masyarakat/pihak pembaca benar-benar mengerti keadaan siswanya. Pada tempatnyalah Portofolio menjembatani terbentuknya suatu jalinan, dialog dan interaksi yang baik/positif antara masyarakat luas dan guru. Informasi dalam Portofolio dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program pembentukan academic atmosphere, kelompok masyarakat dan dalam kegiatan fungsi sosial lainnya.
d. Bagi Para Praktisi Pendidikan Lainya:
Data yang ada dalam portofolio siswa dapat menunjukkan sejumlah pemahaman baru mengenai peran dan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar. Bukti demikian memungkinkan untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam membantu siswa dan memfasilitasi strategi yang kolaboratif dalam perspekstif tanggung jawab yang diambil untuk pendidikan siswa.
Untuk itu semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan siswa, misalnya para praktisi pendidikan, kepala sekolah, guru, petugas BP, pengembang program pendidikan, para pendidik, petugas sosial, psikolog, dan lain-lain dapat mengambil manfaat dari portofolio.
e. Bagi Pengembangan Program Pendidikan:
Portofolio dapat memfasilitasi penilaian sumatif di akhir tahun ajaran. Pada saat suatu portofolio direviu secara sistematik dan kemajuan setiap individu siswa diidentifikasi baik secara kuantitatif ataupun secara kualitatif, portofolio sesungguhnya memberikan gambaran tentang jaminan pencapaian tujuan program pendidikan. Hal ini amat bermanfaat untuk memonitor efektivitas program dan agenda perubahan yang diperlukan. Bukankah administrator dituntut untuk menyediakan sumber keuangan yang mencukupi dan kebijakan yang kondusif bagi terjadinya peningkatan mutu pengalaman belajar siswa tersebut.
5. Prinsip-prinsip Penilaian Portofolio
Dalam proses pelaksanaan evaluasi dengan sistem penilaian portofolio terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu :
1. Saling Percaya
Penilaian portofolio adalah penilaian yang melibatkan siswa secara aktif sebagai pihak yang dievaluasi. Antara guru sebagai evaluator dan siswa sebagai pihak yang dievaluasi harus saling percaya bahwa bukan semata-mata untuk menilai hasil pekerjaannya akan tetapi sebagai upaya pemberian umpan balik untuk meningkatkan hasil belajar.
2. Keterbukaan
Portofolio adalah penilaian yang dilaksanakan secara terbuka, artinya suru sebagai evaluator bukan hanya berperan sebagai orang yang memberi nilai atau kritik, akan tetapi siswa yang dievaluasi perlu memahami mengapa kritik itu muncul, oleh sebab itu guru harus terbuka melalui argumentasi yang tepat dalam setiap memberikan penilaian.
3. Kerahasiaan
Sebelum dilaksanakan pameran, kerahasiaan dokumen (evidence) setiap siswa perlu dijaga. Hal ini untuk menjaga perasaan siswa, jangan sampai ada kesan siswa merasa direndahkan dan dipermalukan didepan teman-temannya, apalagi kalau komentar itu menyangkut kemampuan dan pribadi siswa yang bersangkutan. Demikian juga komentar untuk siswa yang dianggap baik, tidak perlu diinformasikan pada yang lain. Hal ini untuk menjaga agar siswa yang bersangkutan tidak merasa paling hebat diantara teman-teman lainnya.
4. Milik Bersama
Guru dan peserta didik harus merasa bahwaevidence portofolio adalah milik bersama, oleh karena itu semua pihak harus menjaganya secara baik. Hal ini akan mempermudah manakala siswa atau guru memerlukannya.
5. Kepuasan dan Kesesuaian
Hasil akhir dari penilaian portofolio adalah ketercapaian kompetensi seperti yang dirumuskan dalam kurikulum. Guru dan siswa akan merasa puas manakala kompetensi itu telah tercapai. Oleh karena itu, terkumpulnyaevidence merupakan kepuasan baik bagi guru maupun bagi siswa.
6. Budaya Pembelajaran
Penilaian portofolio harus dapat mengembangkan budaya belajar. Sebab penilaian portofolio itu sendiri pada dasarnya mengandung proses pembelajaran. Unjuk kerja yang tergambar pada setiap
evidence pada dasarnya adalah proses pembelajaran.
7. Refleksi
Penilaian portofolio harus memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk melakukan refleksi tentang proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Melalui refleksi, siswa dapat menghayati tentang proses berpikir mereka sendiri, kemampuan yang telah mereka peroleh, serta pemahaman mereka tentang kompetensi yang telah dimilikinya.
8. Berorientasi pada Proses dan Hasil
Penilaian portofolio bertumpu pada dua sisi yang sama pentingnya, yakni sisi proses dan hasil belajar secara seimbang. Penilaian portofolio mengikuti setiap aspek perkembangan siswa, bagaimana cara belajar siswa, bagaimana motivasi belajar, sikap, minat, kebiasaan, dan lain sebagainya dan pada akhirnya menilai bagaimana hasil belajar yang diperoleh siswa.
6. Keunggulan dan Kelemahan Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan sistem penilaian yang biasa dilakukan misalnya dengan tes. Tes biasa digunakan untuk menilai kemampuan penguasaan materi pembelajaran atau perkembangan intelektual siswa, oleh sebab itu tes biasanya dilaksanakan pada akhir selesainya pelaksanaan program pembelajaran misalnya pada akhir caturwulan atau semester. Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai setiap aspek perkembangan siswa termasuk perkembangan minat, sikap, dan motivasi. Oleh sebab itu, penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh.
Sebagai suatu teknik penilaian portofolio memiliki keunggulan diantaranya :
1. Penilaian portofolio dapat menilai kemampuan siswa secara menyeluruh.
2. Penilaian portofolio dapat menjamin akuntabilitas (pertanggung-jawaban).
3. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang bersifat individual.
4. Penilaian portofolio merupakan penilaian yang terbuka.
5. Penilaian portofolio bersifat self evaluation.
Disamping kelebihan, penilaian portofolio juga memiliki kelemahan diantaranya :
1. Memerlukan waktu dan kerja keras.
2. Penilaian portofolio memerlukan perubahan cara pandang.
3. Penilaian portofolio memerlukan perubahan gaya belajar.
4. Penilaian portofolio memerlukan perubahan sistem pembelajaran.
7. Format Portofolio
Nama : …………………… Kelas/No. : ............. / ...........
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
7. Memahami saling ketergantungan dalam ekosistem. 7.2 Mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman mahluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Membuat tulisan (Majalah dinding, “leaflet”, artikel) beserta foto/gambarnya, memperkenalkan jenis, bentuk, dan manfaat tumbuhan/hewan langka yang dilindungi.
Mendeskripsikan usahausaha yang dapat dilakukan manusia untuk pelestarian keanekaragaman hayati
Tugas Portofolio:
1. Menulis sebuah artikel yang berkaitan dengan sains. Misalnya, membuat artikel singkat mengenai jenis-jenis tumbuhan dan hewan langka yang dilindungi, dengan melengkapkan bentuk/ciri khusus dan manfaat tiap jenis tumbuhan atau hewan langka ini. Tuliskan pula cara atau langkah perlindungan dan pelestarian yang dilakukan pemerintah terhadap hewan dan tumbuhan langka.
2. Buat laporan untuk kegiatan ini beserta:
• Bukti referensi (copy, printed/repro)
• Jadwal pelaksanaan kegiatan pengumpulan
• Data pengumpulan etiket (hari, tanggal, tempat pengambilan, dan sebagainya)
• Lain-lain yang dianggap penting untuk disertakan sebagai bukti/informasi.
3. Laporan dikumpulkan paling lambat?
Jadwal kegiatan pelaksanaan penyusunan portofolio: (disusun bersama oleh guru dan kelompok siswa untuk: (1) memonitor pelaksanaan kegiatan; (2) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan)
No
Kegiatan Maret (minggu ke) April (minggu ke)
Keterangan
3 4 1 2 3 4
1 Mendapat tugas x
2 Merencanakan kegiatan x
3 Monitoring ke 1 X Melaporkan hasil pengumpulan tahap pertama.
4 Monitoring ke 2 x Melaporkan hasil pengumpulan tahap pertama.
5 Pengecekan kelengkapan data dan bukti x
6 Penyusunan laporan x
7 Penjilidan laporan x
8 Penyerahan laporan x
Penilaian:
Nama siswa : ………………… Kelas/No. : …………. / …………
Tanggal : …………………
No. Aspek yang Dinilai Portofolio ke
1 2 3
1. Latar Belakang Masalah/ pendahuluan
2. Kajian Pustaka
3. Ketajaman pembahasan/ analisis
4. Penyimpulan/penutup
5. Tata tulis dan bahasa
Skor Total
Keterangan: *) Skor maksimum untuk tiap aspek yang dinilai adalah:
1. Latar belakang masalah, skor maksimum 10, dengan rincian:
- Dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang runtut/redaksinya benar (2,5)
- Menunjukkan pentingnya masalah (7,5)
2. Pengkajian pustaka, skor maksimum 15, dengan rincian:
- Isi relevan dengan permasalahan yang ada (5)
- Dipungut/diambil dari sumber yang benar/dibenarkan (5)
- Dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang runtut (2)
- Cara penulisannya benar (3)
3. Pembahasan, skor maksimum 25, dengan rincian:
- Mampu menafsirkan / menganalisis data yang ada (10)
- Menghubungkan antara data dengan pustaka sebagai referensi (10)
- relevan dengan tujuan (5)
4. Rumusan simpulan, skor maksimum 10, dengan rincian:
- Relevan dengan permasalahan/tujuan (2,5)
- Relevan dengan data dan pembahasannya (7,5)
5. Tata tulis dan Bahasa
- Tata tulis benar (15)
- Bahasa menggunakan bahasa Indonesia Baku (10)
(Total skor (maksimum) 90)
Nama :
Kelas : Guru :
Tanggal :
Isi dari portofolio :
Kompetensi yang berkembang :
Komentar Guru :
Tanda tangan guru
……………………..
Lembar Penilaian Diri
Nama :
Kelas : Mata Pelajaran :
Tanggal :
Sejauh ini saya belajar banyak tentang :
Saya ingin tahu lebih banyak tentang :
Besok saya akan belajar :
Saya senang belajar dengan cara :
Saya sulit memahami :
Di kelas saya termasuk :
Mengetahui Orang Tua/Wali Tanda tangan dan nama siswa
.................................................. ...................................................
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. “Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio”, PT. Genesindo, Bandung 2002.
http://www.scribd.com/doc/2466834/Model-Pembelajaran-dan-Penilaian-Portofolio
http://id.wikipedia.org/wiki/Portofolio
sertifikasiguruipa.blogspirit.com/.../bbd4d1be91f3901d58745ab3ed5d2857.doc
mediaindonesia.co.cc/.../penilaian,+pengertian,+manfaat+portofolio -
Rabu, 01 Desember 2010
KONSEP PENDIDIKAN IKHWAN AS-SHAFA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains).
B. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
A. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
B. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c. Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d. Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f. Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.
4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
BAB III
PENUTUP
A. Komentar Penulis.
Ikhwan al-shafa adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan akan dirasa berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi, organisasi ini lebih ke batiniyah. Masa sekarang, orang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa agama tidak ada hubungan sama sekali dengan ilmu pengetahuan sehingga banyak orang yang otaknya pintar, namun moralnya hancur. Dengan sistem ikhwan al shafa ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan spiritual.
B. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
C. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan 2003)
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985),
www.ikaari.multiply.com
www.telagahikmah.org.
www.telagahikmah.org.
www.mindarakyat2.tripod.com.
www.Samuderailmufortuna.blogspot.com.
www.wikipedia.org.
PENDAHULUAN
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains).
B. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
A. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1. Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
B. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu. Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c. Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d. Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f. Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.
4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
BAB III
PENUTUP
A. Komentar Penulis.
Ikhwan al-shafa adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan akan dirasa berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi, organisasi ini lebih ke batiniyah. Masa sekarang, orang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa agama tidak ada hubungan sama sekali dengan ilmu pengetahuan sehingga banyak orang yang otaknya pintar, namun moralnya hancur. Dengan sistem ikhwan al shafa ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan spiritual.
B. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
C. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan 2003)
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985),
www.ikaari.multiply.com
www.telagahikmah.org.
www.telagahikmah.org.
www.mindarakyat2.tripod.com.
www.Samuderailmufortuna.blogspot.com.
www.wikipedia.org.
KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS
BAB I PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam. Banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari dunia Barat
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Syed Naquib al-Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.
B. Corak pemikiran pendidikan Al-Attas
SELAIN dikenal sebagai tokoh pendidikan, Syed Naquib al-Attas juga diakui sebagai seorang pemikir sastra dan kebudayaan. Ia tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan nternasional. Salah satu gagasannya yang cukup menarik adalah menawarkan term ta`dib sebagai dasar konsep pendidikan Islam. Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Ia menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan pendidikan Islam.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti ungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ nilai adab (Kholiq, at. al., 1999: 275). Al-Attas berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah penggunaan istilah tarbiyah, sebagaimana yang dipakai sebagian pakar pedagogis Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Kerangka dasar ini yang membedakan konsep al-Attas dengan konsep tarbiyah. Bahwa manusia adalah subjek yang dapat dididik, bukan binatang atau pun tumbuhan. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281). Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu.
Al-Attas ingin menampilkan pendidikan yang terpadu, yakni antara dimensi Abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardl. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
C. Relevansi pendidikan Islam masa kini
Sebagaimana pemilihan sekaligus tawaran al-Attas mengenai konsep ta’dib, bahwa akhir-akhir ini sepertinya mempunyai relevansinya. Hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Karena itu, gagasan al-Attas tentunya mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan (equiliberium), bercorak moral dan rilegius. Secara ilmiah at-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang jelas. Dengan demikian, ia telah berusaha menampilkan ide-idenya itu dengan sejumlah alasan yang cukup kuat.
Gagasan ini bisa ditempatkan sebagai paradigma masa depan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Jika dipandang secara filofosis, kerangka metodologisnya memang memiliki signifikasi yang sangat jelas. Secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis term ta’dib memiliki kekokohan makna yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan term yang lain, ta’dib lebih memiliki jangkauan yang lebih luas dan mencapai sasaran yang jelas. Semakin bisa dirisakan bahwa pendidikan masa kini mengalami orientasi yang bias. Aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya. Dengan mengembangkan term ta’dib, diharapkan pendidikan Islam dapat tercipta keutuhan sebagaimana yang dicita-citakan ajaran agama itu sendiri, selain harapan semua manusia.
Dengan menggunakan ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercaver di dalam sistem pendidikan. Jadi pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan serta menjawab tuntutan kemoderenan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islam dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I, Jakarta.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
http://mpiuika.wordpress.com/2010/03/01/pemikiran-pendidikan-menurut-s-m-naquib-al-attas/
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam. Banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari dunia Barat
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Singkat Syed Naquib al-Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.
B. Corak pemikiran pendidikan Al-Attas
SELAIN dikenal sebagai tokoh pendidikan, Syed Naquib al-Attas juga diakui sebagai seorang pemikir sastra dan kebudayaan. Ia tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan nternasional. Salah satu gagasannya yang cukup menarik adalah menawarkan term ta`dib sebagai dasar konsep pendidikan Islam. Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, sesuatu tidak bisa disebut sebagai proses kegiatan pendidikan, jika tidak ada penanaman adab. Ia menekankan pendidikan adab dalam proses pendidikan. Ia kurang setuju terhadap beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" seperti kata tarbiyah. Alasannya, karena konsep itu merupakan cerminan dari konsep pendidikan Barat, yang berarti tidak menggambarkan pendidikan pendidikan Islam.
Sekalipun istilah tarbiyah telah mengakar dan mempopuler dikalangan masyarakat, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti ungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ nilai adab (Kholiq, at. al., 1999: 275). Al-Attas berargumentasi bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan langsung dengan umatnya. Dengan menggunakan term ta’dib tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabda Rasul “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah saluran penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis (manfaat) bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktifitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah penggunaan istilah tarbiyah, sebagaimana yang dipakai sebagian pakar pedagogis Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Kerangka dasar ini yang membedakan konsep al-Attas dengan konsep tarbiyah. Bahwa manusia adalah subjek yang dapat dididik, bukan binatang atau pun tumbuhan. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281). Dilihat dari tujuannya, Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping tujuan yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga tidak mengabaikan terbentuknya masyarakat ideal. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai `Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu.
Al-Attas ingin menampilkan pendidikan yang terpadu, yakni antara dimensi Abdullah dengan dimensi Khalifah fi al-Ardl. Manusia yang seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Dalam konsep inilah tujuan pendidikan Islam mengarah pada terbentuknya manusia universal (insal kamil). Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam harus mengacu kepada aspek moral-transental (afektif), tampa harus menuinggalkan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
C. Relevansi pendidikan Islam masa kini
Sebagaimana pemilihan sekaligus tawaran al-Attas mengenai konsep ta’dib, bahwa akhir-akhir ini sepertinya mempunyai relevansinya. Hampir sebagian besar pendidikan masa kini banyak mengalami krisis orientasi. Salah satu sebab di antara sekian penyebabnya adalah penggunaan term pendidikan yang kurang tepat. Karena itu, gagasan al-Attas tentunya mempunyai daya signifikansi yang amat tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai sebuah solusi alternatif yang dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan Islam pada konteks sekarang.
Dasar argumentasinya adalah untuk mencegah adanya dikotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan (equiliberium), bercorak moral dan rilegius. Secara ilmiah at-Attas telah mengemukakan preposisi-preposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang jelas. Dengan demikian, ia telah berusaha menampilkan ide-idenya itu dengan sejumlah alasan yang cukup kuat.
Gagasan ini bisa ditempatkan sebagai paradigma masa depan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Jika dipandang secara filofosis, kerangka metodologisnya memang memiliki signifikasi yang sangat jelas. Secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis term ta’dib memiliki kekokohan makna yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan term yang lain, ta’dib lebih memiliki jangkauan yang lebih luas dan mencapai sasaran yang jelas. Semakin bisa dirisakan bahwa pendidikan masa kini mengalami orientasi yang bias. Aspek naluri kependidikan hampir tidak menyentuh dimensi kemanusiaanya. Dengan mengembangkan term ta’dib, diharapkan pendidikan Islam dapat tercipta keutuhan sebagaimana yang dicita-citakan ajaran agama itu sendiri, selain harapan semua manusia.
Dengan menggunakan ta’dib, pendidikan Islam akan mengintegrasikan antara nilai keislaman, kemoderenan, dan menghargai kultur lokal. Cita-cita pendidikan Islam akan semakin terwujud manakala ketiga nilai di atas tercaver di dalam sistem pendidikan. Jadi pendidikan agama yang dibangun dengan landasan keislaman dan keilmuan serta menjawab tuntutan kemoderenan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
B. Kritik dan Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi bahan-bahan yang kami berikan maupun dari penyajian kami dalam persentasi. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang selanjutnya menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islam dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I, Jakarta.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
http://mpiuika.wordpress.com/2010/03/01/pemikiran-pendidikan-menurut-s-m-naquib-al-attas/
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/gagasan-pendidikan-syed-naquib-al-attas.html
Jumat, 27 Agustus 2010
Fungsi, Tujuan Dan Kegunaan Evaluasi
BAB I
FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN
A. Fungsi Evaluasi Pendidikan
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok, yaitu (1) mengukur kemajuan, (2) mennunjang penyusunan rencana, (3) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. (Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. Hal:7)
Seperti telah dikemukakan terdahulu, evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai, sampai di manakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Apabila tujuan yang telah dirumuskan itu direncanakan untuk dicapai secara bertahap, maka dengan evaluasi yang berkesinambungan akan dapat dipantau, tahapan manakah yang sudah dapat diselesaikan, dan mana pula tahapan yang mengalami kendala dalam pelaksanaannya.
Setidak-tidaknya ada dua macam kemungkinan hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi; yaitu;
1) Hasil evaluasi itu ternyata menggembirakan, sehingga dapat memberikan rasa lega bagi evaluator, sebab tujuan yang telah ditentukan telah dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan.
2) Hasil evaluasi itu ternyata tidak menggembirakan atau bahkan mengkhawatirkan, dengan alasan bahwa berdasar hasil evaluasi ternyata dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan, hambatan atau kendala, sehingga mengharuskan evaluator untuk bersikap waspada. Sehingga membuat ia harus mengkaji kembali rencana yang telah disusun, atau mengubah dan memperbaiki cara pelaksanaannya.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evaluasi itu memiliki fungsi: menunjang penyusunan rencana.
Evaluasi yang dilakukan secara berkesinambungan, akan membuka peluang bagi evaluator untuk membuat perkiraan (estimations), apakah tujuan yang telah dirumuskan akan dapat dicapai pada waktu yang telah ditentukan, ataukah tidak. Apabila berdasar hasil evaluasi itu diperkirakan bahwa tujuan tidak akan dapat dicapai sesuai dengan rencana, maka evaluator akan berusaha untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebabnya, serta mencari dan menemukan jalan keluar atau cara-cara pemecahannya. Jadi kegiatan evaluasi pada dasarnya juga dimaksudkan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan usaha. Perbaikan usaha tanpa didahului oleh kegiatan evaluasi adalah tidak mungkin; sebab untuk mengadakan perbaikan terlebih dahulu harus diketahui apa yang harus diperbaiki, dan mengapa hal itu perlu diperbaiki.
Adapun secara khusus, fungsi evaluasi dalam dunia pendidikan dapat ditilik dari tiga segi, yaitu:
1) Segi Psikologis
2) Segi Didaktik
3) Segi Administratif.
Secara psikologis, kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan disekolah dapat disoroti dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik.
Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan bathin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah kelompok atau kelasnya. Dengan dilakukannya evaluasi terhadap hasil belajar siswa misalnya, maka para siswa akan mengetahui apakah dirinya termasuk siswa yang berkemampuan tinggi, berkemampuan rata-rata, ataukah berkemampuan rendah.
Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada diri pendidik tersebut, sudah sejauh manakah kiranya usaha yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga ia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan bathin yang pasti guna menentukan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya.
Bagi peserta didik, secara didaktik evaluasi pendidikan (khususnya evaluasi hasil belajar) akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya.
Bagi pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu:
1. Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah dicapai oleh peserta didiknya.
2. Memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
3. Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik
4. memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya
5. memberikan petunjuk tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah ditentukan telah dapat dicapai.
Adapun secara administratif, evaluasi pendidikan setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi, yaitu:
1. Memberikan Laporan
Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik itu pada umumnya tertuang dalam bentuk Buku Laporan Kemajuan Belajar Siswa, yang lebih dikenal dengan istilah Rapor (untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah), atau Kartu Hasil Studi (KHS) bagi peserta didik di lembaga pendidikan tinggi, yang selanjutnya disampaikan kepada para orang tua peserta didik tersebut pada setiap akhir catur wulan atau akhir semester.
2. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan pendidikan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat. Dalam hubungan ini, nilai-nilai hasil belajar peserta didik yang diperoleh dari kegiatan evaluasi, adalah merupakan data yang sangat penting untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan dan lembaga pendidikan: apakah seseorang peserta didik dapat dinyatakan tamat belajar, dapat dinyatakan naik kelas, tinggal kelas, lulus ataukah tidak lulus, dan sebagainya.
3. Memberikan Gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta didik setelah dilakukannya evaluasi hasil belajar. Dari kegiatan evaluasi hasil belajar yang telah dilakukan untuk berbagai jenis mata pelajaran misalnya, akan dapat tergambar bahwa dalam mata pelajaran tertentu, pada umumnya kemampuan peserta didik masih sangat memprihatinkan, dan pada mata pelajaran tertentu kemampuan peserta didik sangat menggembirakan. Gambaran tentang kualitas hasil belajar peserta didik juga dapat diperoleh berdasar data yang berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan lain-lain.
Dengan mengetahhui makna penilaian ditinjau dari berbagai segi pendidikan, maka dengan cara lain dapat dikatakan bahwa tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa hal. (Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Hal:10)
1. Peniilaian berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.
2. Penilaian berfungsi diagnostik
Apabila alat yang digunakan dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengetahhui kelemahan siswa. Di samping itu, diketahui pula sebab musabab kelemahan itu. Jadi dengan melakukan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnosis kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya.
3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan
Pendekatan yang lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan dalam dunia pendidikan, adalah pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan dengan pasti di kelompok mana seorang siswa harus ditempatkan, digunakan suatu penilaian. Sekelompok siswa yang mempunyai hasil penilaian yang sama, akan berada dalam kelompok yang sama dalam belajar.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan
Fungsi ke empat dari penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana, dan sistem administrasi.
BAB II
TUJUAN DAN KEGUNAAN EVALUASI
B. Tujuan Evaluasi Pendidikan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu:
a. Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain tujuan umum dari evaluasi dalam pendidikan adalah untuk memperoleh data pembuktian, yang akan menjadi petunjuk samapi damana tingkat kemampuan dan tingkat keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
b. Untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu. Jadi tujuan umum yang kedua dari evaluasi dalam pendidikan adalah untuk mengukur dan menilai sampai dimanakah efektivitas mengajar dan metode-metode mengajar yang telah diterapkan atau dilaksanakan oleh pendidik, serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik.
2. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evaluasi pendidikan adalah:
a. Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
b. Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.
C. Kegunaan Evaluasi Pendidikan
Di antara kegunaan yang dapat dipetik dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
a. Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pemdidikan.
b. Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan, dengan tujuan yang hendak dicapai.
c. Terbukanya kemungkinan untuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan program pendidikan yang dipandang lebih berdaya dan berhasil, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang sebaik-baiknya.
FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN
A. Fungsi Evaluasi Pendidikan
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok, yaitu (1) mengukur kemajuan, (2) mennunjang penyusunan rencana, (3) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. (Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. Hal:7)
Seperti telah dikemukakan terdahulu, evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai, sampai di manakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Apabila tujuan yang telah dirumuskan itu direncanakan untuk dicapai secara bertahap, maka dengan evaluasi yang berkesinambungan akan dapat dipantau, tahapan manakah yang sudah dapat diselesaikan, dan mana pula tahapan yang mengalami kendala dalam pelaksanaannya.
Setidak-tidaknya ada dua macam kemungkinan hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi; yaitu;
1) Hasil evaluasi itu ternyata menggembirakan, sehingga dapat memberikan rasa lega bagi evaluator, sebab tujuan yang telah ditentukan telah dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan.
2) Hasil evaluasi itu ternyata tidak menggembirakan atau bahkan mengkhawatirkan, dengan alasan bahwa berdasar hasil evaluasi ternyata dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan, hambatan atau kendala, sehingga mengharuskan evaluator untuk bersikap waspada. Sehingga membuat ia harus mengkaji kembali rencana yang telah disusun, atau mengubah dan memperbaiki cara pelaksanaannya.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evaluasi itu memiliki fungsi: menunjang penyusunan rencana.
Evaluasi yang dilakukan secara berkesinambungan, akan membuka peluang bagi evaluator untuk membuat perkiraan (estimations), apakah tujuan yang telah dirumuskan akan dapat dicapai pada waktu yang telah ditentukan, ataukah tidak. Apabila berdasar hasil evaluasi itu diperkirakan bahwa tujuan tidak akan dapat dicapai sesuai dengan rencana, maka evaluator akan berusaha untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebabnya, serta mencari dan menemukan jalan keluar atau cara-cara pemecahannya. Jadi kegiatan evaluasi pada dasarnya juga dimaksudkan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan usaha. Perbaikan usaha tanpa didahului oleh kegiatan evaluasi adalah tidak mungkin; sebab untuk mengadakan perbaikan terlebih dahulu harus diketahui apa yang harus diperbaiki, dan mengapa hal itu perlu diperbaiki.
Adapun secara khusus, fungsi evaluasi dalam dunia pendidikan dapat ditilik dari tiga segi, yaitu:
1) Segi Psikologis
2) Segi Didaktik
3) Segi Administratif.
Secara psikologis, kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan disekolah dapat disoroti dari dua sisi, yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik.
Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan bathin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing di tengah-tengah kelompok atau kelasnya. Dengan dilakukannya evaluasi terhadap hasil belajar siswa misalnya, maka para siswa akan mengetahui apakah dirinya termasuk siswa yang berkemampuan tinggi, berkemampuan rata-rata, ataukah berkemampuan rendah.
Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketetapan hati kepada diri pendidik tersebut, sudah sejauh manakah kiranya usaha yang telah dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga ia secara psikologis memiliki pedoman atau pegangan bathin yang pasti guna menentukan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya.
Bagi peserta didik, secara didaktik evaluasi pendidikan (khususnya evaluasi hasil belajar) akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya.
Bagi pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memiliki lima macam fungsi, yaitu:
1. Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah dicapai oleh peserta didiknya.
2. Memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
3. Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik
4. memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya
5. memberikan petunjuk tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah ditentukan telah dapat dicapai.
Adapun secara administratif, evaluasi pendidikan setidak-tidaknya memiliki tiga macam fungsi, yaitu:
1. Memberikan Laporan
Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan disajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik itu pada umumnya tertuang dalam bentuk Buku Laporan Kemajuan Belajar Siswa, yang lebih dikenal dengan istilah Rapor (untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah), atau Kartu Hasil Studi (KHS) bagi peserta didik di lembaga pendidikan tinggi, yang selanjutnya disampaikan kepada para orang tua peserta didik tersebut pada setiap akhir catur wulan atau akhir semester.
2. Memberikan Bahan-bahan Keterangan (Data)
Setiap keputusan pendidikan harus didasarkan kepada data yang lengkap dan akurat. Dalam hubungan ini, nilai-nilai hasil belajar peserta didik yang diperoleh dari kegiatan evaluasi, adalah merupakan data yang sangat penting untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan dan lembaga pendidikan: apakah seseorang peserta didik dapat dinyatakan tamat belajar, dapat dinyatakan naik kelas, tinggal kelas, lulus ataukah tidak lulus, dan sebagainya.
3. Memberikan Gambaran
Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta didik setelah dilakukannya evaluasi hasil belajar. Dari kegiatan evaluasi hasil belajar yang telah dilakukan untuk berbagai jenis mata pelajaran misalnya, akan dapat tergambar bahwa dalam mata pelajaran tertentu, pada umumnya kemampuan peserta didik masih sangat memprihatinkan, dan pada mata pelajaran tertentu kemampuan peserta didik sangat menggembirakan. Gambaran tentang kualitas hasil belajar peserta didik juga dapat diperoleh berdasar data yang berupa Nilai Ebtanas Murni (NEM), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan lain-lain.
Dengan mengetahhui makna penilaian ditinjau dari berbagai segi pendidikan, maka dengan cara lain dapat dikatakan bahwa tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa hal. (Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Hal:10)
1. Peniilaian berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.
2. Penilaian berfungsi diagnostik
Apabila alat yang digunakan dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengetahhui kelemahan siswa. Di samping itu, diketahui pula sebab musabab kelemahan itu. Jadi dengan melakukan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnosis kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya.
3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan
Pendekatan yang lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan dalam dunia pendidikan, adalah pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan dengan pasti di kelompok mana seorang siswa harus ditempatkan, digunakan suatu penilaian. Sekelompok siswa yang mempunyai hasil penilaian yang sama, akan berada dalam kelompok yang sama dalam belajar.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan
Fungsi ke empat dari penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana, dan sistem administrasi.
BAB II
TUJUAN DAN KEGUNAAN EVALUASI
B. Tujuan Evaluasi Pendidikan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu:
a. Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain tujuan umum dari evaluasi dalam pendidikan adalah untuk memperoleh data pembuktian, yang akan menjadi petunjuk samapi damana tingkat kemampuan dan tingkat keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikuler, setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
b. Untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu. Jadi tujuan umum yang kedua dari evaluasi dalam pendidikan adalah untuk mengukur dan menilai sampai dimanakah efektivitas mengajar dan metode-metode mengajar yang telah diterapkan atau dilaksanakan oleh pendidik, serta kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik.
2. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evaluasi pendidikan adalah:
a. Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
b. Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.
C. Kegunaan Evaluasi Pendidikan
Di antara kegunaan yang dapat dipetik dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
a. Terbukanya kemungkinan bagi evaluator guna memperoleh informasi tentang hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pelaksanaan program pemdidikan.
b. Terbukanya kemungkinan untuk dapat diketahuinya relevansi antara program pendidikan yang telah dirumuskan, dengan tujuan yang hendak dicapai.
c. Terbukanya kemungkinan untuk dapat dilakukannya usaha perbaikan, penyesuaian dan penyempurnaan program pendidikan yang dipandang lebih berdaya dan berhasil, sehingga tujuan yang dicita-citakan, akan dapat dicapai dengan hasil yang sebaik-baiknya.
Sumber Jiwa Agama Dan Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap Maha Kuasa memiliki sejarah yang panjang. Hal ini dapat diketahui dari pendapat para ahli agama, baik melalui penelitian, dokumen kuno maupun kitab suci.
Dalam masyarakat kuno telah dikenal berbagai kepercayaan, seperti dinamisme, animisme, politheisme, dan berpuncak pada monotheisme. Hal ini dapat dibuktikan melalui situs-situs kuno peninggalan peradapan Yunani Kuno, peradaban Mesir Kuno, peradaban China Kuno, peradaban sungai Eufrat dan Tigris dan banyak lagi. Satu hal yang pasti, manusia sejak zaman dahulu telah mengenal adanya Yang Maha. Dalam kitab suci, hubungan ini dikenal sebagai hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya. Dan hubungan ini ada mulai manusia pertama kali ada, yaitu nabi Adam as.
Hingga sekarang, manusia tetap memiliki keyakinan pada Tuhan. Besar kecilnya keyakinan itu tergantung dari berbagai hal. Misalnya sedikit banyaknya informasi keagamaan yang diterima, kebiasaan sejak usia dini, lingkungan keluarga, masyarakat d sekolah, pengalaman agama dan lainnya. Walaupun keyakinan terhadap Tuhan dipengaruhi berbagai faktor, tetap saja ada (walaupun sedikit) keyakinan manusia pada Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Jiwa Agama Menurut Para Ahli
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan . Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini antar lain:
a. Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia butuh atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c. Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah faktor non rasional yang dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous) sebagai perasaan takjub, kagum yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”. Perasaan ini diistilahkan sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan menarik.
d. Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama adalah libido sexual. Ide ini berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan Dedipoes pada ayahnya karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu timbul perasaan bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan, sebagai bentuk awal kepercayaan pada Tuhan.
2. Teori Fakulty.
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah konflik batin. Dalam kehidupan manusia terus didera berbagai masalah yang membuat batin mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika perasaan ini telah memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari pertolongan pada “Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b. Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui agama.
c. W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman. Kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
B. Sumber Jiwa Agama Menurut Islam
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha. Menurut Nurcholis Majid, agama merupakan fitrah munazal yang diturunkan Allah untuk menguatkan fitrah yang telah ada secara alami. Dengan fitrah ini manusia tergerak untuk melakukan kegiatan atau ritual yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, yang berbentuk upacara ritual, kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir dll. Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
Menurut Quraish Shihab , sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa kebenaran, keindahan d kebaikan. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Ketika manusia memperhatikan keindahan alam, maka akan timbul kekaguman. Kemudian menemukan kebaikan pada alam semesta yang diciptakan untuk manusia. Kemudian manusia mencari apa yang paling indah, paling benar d paling baik yang pada akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Tuhan.
C. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
D. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
E. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a) Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b) Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c) Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d) Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
F. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
G. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.
Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak. Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
• Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
• Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
• Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiridengan membaca Hamdalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sumber jiwa agama menurut ahli dibagi dua:
a. Teori monistik: bahwa sumber jiwa agama berasal dari sesuatu yang tunggal yang dapat berupa rasa ketergantungan, akal, libido sexuli dll.
b. Teori fakulty: bahwa sumber jiwa agama berasal dari beberapa unsur terutama cipta, rasa, karsa
2. Sumber jiwa agama menurut Islam berasal dari fitrah manusia yang berasal dari Allah
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap Maha Kuasa memiliki sejarah yang panjang. Hal ini dapat diketahui dari pendapat para ahli agama, baik melalui penelitian, dokumen kuno maupun kitab suci.
Dalam masyarakat kuno telah dikenal berbagai kepercayaan, seperti dinamisme, animisme, politheisme, dan berpuncak pada monotheisme. Hal ini dapat dibuktikan melalui situs-situs kuno peninggalan peradapan Yunani Kuno, peradaban Mesir Kuno, peradaban China Kuno, peradaban sungai Eufrat dan Tigris dan banyak lagi. Satu hal yang pasti, manusia sejak zaman dahulu telah mengenal adanya Yang Maha. Dalam kitab suci, hubungan ini dikenal sebagai hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya. Dan hubungan ini ada mulai manusia pertama kali ada, yaitu nabi Adam as.
Hingga sekarang, manusia tetap memiliki keyakinan pada Tuhan. Besar kecilnya keyakinan itu tergantung dari berbagai hal. Misalnya sedikit banyaknya informasi keagamaan yang diterima, kebiasaan sejak usia dini, lingkungan keluarga, masyarakat d sekolah, pengalaman agama dan lainnya. Walaupun keyakinan terhadap Tuhan dipengaruhi berbagai faktor, tetap saja ada (walaupun sedikit) keyakinan manusia pada Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Jiwa Agama Menurut Para Ahli
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan . Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini antar lain:
a. Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia butuh atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c. Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah faktor non rasional yang dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous) sebagai perasaan takjub, kagum yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”. Perasaan ini diistilahkan sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan menarik.
d. Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama adalah libido sexual. Ide ini berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan Dedipoes pada ayahnya karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu timbul perasaan bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan, sebagai bentuk awal kepercayaan pada Tuhan.
2. Teori Fakulty.
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah konflik batin. Dalam kehidupan manusia terus didera berbagai masalah yang membuat batin mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika perasaan ini telah memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari pertolongan pada “Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b. Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui agama.
c. W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman. Kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
B. Sumber Jiwa Agama Menurut Islam
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha. Menurut Nurcholis Majid, agama merupakan fitrah munazal yang diturunkan Allah untuk menguatkan fitrah yang telah ada secara alami. Dengan fitrah ini manusia tergerak untuk melakukan kegiatan atau ritual yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, yang berbentuk upacara ritual, kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir dll. Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
Menurut Quraish Shihab , sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa kebenaran, keindahan d kebaikan. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Ketika manusia memperhatikan keindahan alam, maka akan timbul kekaguman. Kemudian menemukan kebaikan pada alam semesta yang diciptakan untuk manusia. Kemudian manusia mencari apa yang paling indah, paling benar d paling baik yang pada akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Tuhan.
C. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
D. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
E. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a) Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b) Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c) Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d) Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
F. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
G. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.
Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak. Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
• Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
• Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
• Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiridengan membaca Hamdalah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sumber jiwa agama menurut ahli dibagi dua:
a. Teori monistik: bahwa sumber jiwa agama berasal dari sesuatu yang tunggal yang dapat berupa rasa ketergantungan, akal, libido sexuli dll.
b. Teori fakulty: bahwa sumber jiwa agama berasal dari beberapa unsur terutama cipta, rasa, karsa
2. Sumber jiwa agama menurut Islam berasal dari fitrah manusia yang berasal dari Allah
Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata “pendidikan” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna : Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan (A.W. Munawwir, 1997 : 470).
Dalam Alquran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَـانِى صَغِيْرًا
Artinya :
Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah membimbing aku waktu kecil (Q.S. 17 : 24). Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْـنَا مِنْ عُمْرِكَ سِنِيْنَ
Artinya :
Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. 26 : 18).
إِنَّـهُ رَبِِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ
Artinya :
Sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik (Q.S.12: 23).
Pengertian pendidikan yang kita pahami sekarang belum terdapat pada zaman Rasulullah saw. Namun usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan usaha dakwahnya memberi contoh dan melatih keterampilan berbuat kebajikan, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Hal ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam”. Apa yang beliau lakukan dalam mendidik manusia kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Cirinya ialah perubahan tingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Adapun pendidikan dalam pemahaman Islam ialah pertumbuhan yang seimbang antara pertumbuhan jasad, akal, dan ruh (Muhammad Imarah, 1992 : 63).
Selain pengertian di atas juga terdapat definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa: Pendidikan Islam bagi saya ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Ahmad Tafsir, 1992 : 32).
Di samping pengertian-pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Namun cukup dimengerti bahwa dari pengertian yang mereka kemukakan dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya dengan tujuan membimbing ke arah yang lebih sempurna yakni dengan menggunakan sarana atau alat belajar dan berlangsung pada suatu tempat tertentu.
B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak aspek yang ikut terlibat, baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun ruang lingkup pendidikan Islam adalah :
1) Perbuatan Mendidik
2) Anak Didik
3) Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
4) Pendidik
5) Materi Pendidikan
6) Metode Pendidikan
7) Alat Pendidikan
8) Evaluasi Pendidikan
9) Lingkungan Pendidikan (Nur Uhbiyati, 1997 : 16).
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa aspek di atas yang merupakan ruang lingkup dari pendidikan tersebut.
1. Perbuatan Mendidik
Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan tahzib.
2. Anak Didik
Anak didik merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena semua upaya yang dilakukan adalah demi menggiring anak didik ke arah yang lebih sempurna.
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam yaitu ke arah mana anak didik itu akan dibawa.
4. Pendidik
Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan Islam. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan banyak ditentukan oleh mereka.
5. Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepadaanak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan Islam sering disebut dengan Maddatut Tarbiyah.
6. Metode
Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya.. Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik.
7. Evaluasi Pendidikan
Cara-cara mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hasil belajar anak didik. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran.
8. Alat-alat Pendidikan
Alat-alat pendidikan yaitu semua alat yang digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam agar tujuan pendidikan Islam tercapai.
9. Lingkungan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan Islam di sini ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam. Lingkungan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak didik, olehnya itu hendaklah diupayakan agar lingkungan belajar senantiasa tercipta sehingga mendorong anak didik untuk lebih giat belajar.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata “pendidikan” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna : Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan (A.W. Munawwir, 1997 : 470).
Dalam Alquran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَـانِى صَغِيْرًا
Artinya :
Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah membimbing aku waktu kecil (Q.S. 17 : 24). Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْـنَا مِنْ عُمْرِكَ سِنِيْنَ
Artinya :
Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. 26 : 18).
إِنَّـهُ رَبِِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ
Artinya :
Sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik (Q.S.12: 23).
Pengertian pendidikan yang kita pahami sekarang belum terdapat pada zaman Rasulullah saw. Namun usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan usaha dakwahnya memberi contoh dan melatih keterampilan berbuat kebajikan, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Hal ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam”. Apa yang beliau lakukan dalam mendidik manusia kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Cirinya ialah perubahan tingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Adapun pendidikan dalam pemahaman Islam ialah pertumbuhan yang seimbang antara pertumbuhan jasad, akal, dan ruh (Muhammad Imarah, 1992 : 63).
Selain pengertian di atas juga terdapat definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa: Pendidikan Islam bagi saya ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Ahmad Tafsir, 1992 : 32).
Di samping pengertian-pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Namun cukup dimengerti bahwa dari pengertian yang mereka kemukakan dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya dengan tujuan membimbing ke arah yang lebih sempurna yakni dengan menggunakan sarana atau alat belajar dan berlangsung pada suatu tempat tertentu.
B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak aspek yang ikut terlibat, baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun ruang lingkup pendidikan Islam adalah :
1) Perbuatan Mendidik
2) Anak Didik
3) Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
4) Pendidik
5) Materi Pendidikan
6) Metode Pendidikan
7) Alat Pendidikan
8) Evaluasi Pendidikan
9) Lingkungan Pendidikan (Nur Uhbiyati, 1997 : 16).
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa aspek di atas yang merupakan ruang lingkup dari pendidikan tersebut.
1. Perbuatan Mendidik
Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan tahzib.
2. Anak Didik
Anak didik merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena semua upaya yang dilakukan adalah demi menggiring anak didik ke arah yang lebih sempurna.
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam yaitu ke arah mana anak didik itu akan dibawa.
4. Pendidik
Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan Islam. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan banyak ditentukan oleh mereka.
5. Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepadaanak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan Islam sering disebut dengan Maddatut Tarbiyah.
6. Metode
Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya.. Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik.
7. Evaluasi Pendidikan
Cara-cara mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hasil belajar anak didik. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran.
8. Alat-alat Pendidikan
Alat-alat pendidikan yaitu semua alat yang digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam agar tujuan pendidikan Islam tercapai.
9. Lingkungan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan Islam di sini ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam. Lingkungan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak didik, olehnya itu hendaklah diupayakan agar lingkungan belajar senantiasa tercipta sehingga mendorong anak didik untuk lebih giat belajar.
Senin, 07 Juni 2010
ADAB KREDITUR DAN DEBITUR
BAB I
MEMENUHI TAGIHAN DENGAN BAIK
1. ADAB-ADAB KREDITUR
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam. Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:
A. Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.
Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta'ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)
Telah dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan. Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: "Nulung tapi mentung." Saudaraku! dalam hukum syari'ah perbuatan "nulung tapi mentung" yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)
Saudaraku, para ulama' tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
B. Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama', terutama para penganut Mazhab As Syafi'i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
C, Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta'ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah 'Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar. Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta'ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا - قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا - قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه
"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?' 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.' (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: 'Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.' Kemudian Allah berfirman: 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'" (Muttafaqun 'alaih)
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
"Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula." (Qs. Ar Rahman: 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama' terdahulu:
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
"Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan."
2. ADAB-ADAB DEBITUR
Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula. Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:
Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.
Diantara syari'at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap "besar pasak daripada tiang."
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. Al Furqan: 67)
Al Qurtuby Al Maliky berkata: "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha'i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama." Adapun maksud dari: "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama' tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur'an oleh Al Qurtuby 3/452).
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan. Bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama' adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama' salaf menyatakan
:مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
"Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali."
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه
"Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar." (Muttafaqun 'alaih)
Adab kedua: Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.
Syari'at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya. Diantara hal yang dilarang dalam syari'at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya. Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه
"Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya." (Muttafaqun 'alaih)
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري
"Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya." (Riwayat Al Bukhari)
Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya. Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62).
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah." (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani).
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:
1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
"Abu Rafi' radhiallahu 'anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Muttafaqun 'alaih)
3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
"Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk dapat melunasi utang.
Sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta'ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
"Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah."
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
"Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah."
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta'ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:
أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu." Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta'ala.
BAB II
JUAL BELI UNTA
”Jabir r.a. berkata ketika berpergian diastas unta yang sangat lelah payah, tiba-tiba Nabi SAW, berjalan maka dipukul untanya oleh Nabi SAW. Dan didoakan sehingga dapat berlari kencang,, tidak pernah lari sedemikian, kemudian Nabi SAW berkata, jualah kepadaku denga harga satu uqiyah. Aku menjawab, tidak ya Rasulullah. Tetapi Rasul mengulang; julah kepadaku. Maka aku jual unta iru kepada Nabi SAW dengan satu uqiyah, tetapi aku syaratkan untuk aku kendarai hingga sampai ke rumahku. Kemudian setelah sampai ke Madinah, aku bawa unta itu. Maka segera dibayaer tunai harganya. Kemudian Setelah itu, Nabi menyuruh seseorang memanggilku kembali. Lalu nabi SAW bersabda kepadaku; ”aku tidak akan mengambil untamu. Maka bawalah kembali untanu maka itu milikmu (HR. Bukhori dan Muslim)
1. JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
A. Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang. Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma"ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma" kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut "Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya". Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu", bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:
1. Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
2. Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: "Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda." Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan dengan tanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. Artikel www.pengusahamuslim.com
Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi Sumber : Alsofwah.or.id
MEMENUHI TAGIHAN DENGAN BAIK
1. ADAB-ADAB KREDITUR
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam. Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:
A. Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.
Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta'ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Qs. Al Insan: 8-9)
Telah dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan. Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: "Nulung tapi mentung." Saudaraku! dalam hukum syari'ah perbuatan "nulung tapi mentung" yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)
Saudaraku, para ulama' tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
B. Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama', terutama para penganut Mazhab As Syafi'i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
C, Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta'ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah 'Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar. Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta'ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا - قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا - قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه
"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?' 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.' (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: 'Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.' Kemudian Allah berfirman: 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'" (Muttafaqun 'alaih)
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
"Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula." (Qs. Ar Rahman: 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama' terdahulu:
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
"Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan."
2. ADAB-ADAB DEBITUR
Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula. Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:
Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.
Diantara syari'at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap "besar pasak daripada tiang."
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. Al Furqan: 67)
Al Qurtuby Al Maliky berkata: "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha'i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama." Adapun maksud dari: "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama' tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur'an oleh Al Qurtuby 3/452).
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan. Bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama' adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama' salaf menyatakan
:مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
"Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali."
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه
"Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?" Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar." (Muttafaqun 'alaih)
Adab kedua: Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.
Syari'at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya. Diantara hal yang dilarang dalam syari'at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya. Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه
"Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya." (Muttafaqun 'alaih)
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري
"Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya." (Riwayat Al Bukhari)
Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya. Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62).
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
"Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya." (Riwayat Bukhari)
Ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah." (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani).
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:
1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
"Abu Rafi' radhiallahu 'anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Muttafaqun 'alaih)
3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
"Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk dapat melunasi utang.
Sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta'ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
"Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah."
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
"Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah."
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta'ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:
أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu." Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta'ala.
BAB II
JUAL BELI UNTA
”Jabir r.a. berkata ketika berpergian diastas unta yang sangat lelah payah, tiba-tiba Nabi SAW, berjalan maka dipukul untanya oleh Nabi SAW. Dan didoakan sehingga dapat berlari kencang,, tidak pernah lari sedemikian, kemudian Nabi SAW berkata, jualah kepadaku denga harga satu uqiyah. Aku menjawab, tidak ya Rasulullah. Tetapi Rasul mengulang; julah kepadaku. Maka aku jual unta iru kepada Nabi SAW dengan satu uqiyah, tetapi aku syaratkan untuk aku kendarai hingga sampai ke rumahku. Kemudian setelah sampai ke Madinah, aku bawa unta itu. Maka segera dibayaer tunai harganya. Kemudian Setelah itu, Nabi menyuruh seseorang memanggilku kembali. Lalu nabi SAW bersabda kepadaku; ”aku tidak akan mengambil untamu. Maka bawalah kembali untanu maka itu milikmu (HR. Bukhori dan Muslim)
1. JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
A. Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang. Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma"ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma" kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut "Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya". Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu", bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:
1. Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
2. Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: "Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda." Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan dengan tanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. Artikel www.pengusahamuslim.com
Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi Sumber : Alsofwah.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)